Ava Seraphina Frederick (20) memiliki segalanya kekayaan, kekuasaan, dan nama besar keluarga mafia. Namun bagi Ava, semua itu hanyalah jeruji emas yang membuatnya hampa.
Hidupnya runtuh ketika dokter memvonis usianya tinggal dua tahun. Dalam putus asa, Ava membuat keputusan nekat, ia harus punya anak sebelum mati.
Satu malam di bawah pengaruh alkohol mengubah segalanya. Ava tidur dengan Edgar, yang tanpa Ava tahu adalah suami sepupunya sendiri.
Saat mengetahui ia hamil kembar, Ava memilih pergi. Ia meninggalkan keluarganya, kehidupannya dan juga ayah dari bayinya.
Tujuh tahun berlalu, Ava hidup tenang bersama dengan kedua anaknya. Dan vonis dokter ternyata salah.
“Mama, di mana Papa?” tanya Lily.
“Papa sudah meninggal!” sahut Luca.
Ketika takdir membawanya bertemu kembali dengan Edgar dan menuntut kembali benihnya, apakah Ava akan jujur atau memilih kabur lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Ava berjalan sedikit terhuyung saat masuk ke dalam kontrakan kecilnya. Ia berhenti dan menarik napas dalam-dalam.
Ruangan itu terasa pengap dibandingkan ruang meeting mewah tempat ia baru saja berhadapan dengan masa lalunya.
Lily dan Luca sudah masuk lebih dulu, dan keheningan di rumah itu terasa tak seperti biasanya.
“Kalian membuat Mama hampir jantungan!” tegur Ava, melepas sepatu hak tingginya dan meletakkannya di sudut. Ia masih syok setelah adegan perpisahan emosional dengan Edgar.
“Luca sedang marah, Ma. Dia bilang kita tidak boleh mencari Papa, tapi dia juga tidak suka Papa meragukan kita,” jawab Lily dengan suara kecilnya.
Lily sedang duduk di ranjang, memeluk boneka beruangnya.
Ava menghela napas, berjalan ke ranjang tempat Luca tidur.
“Mama tahu. Luca memang seperti itu. Dia terlalu logis. Kita akan bicarakan ini besok, oke? Sekarang, saatnya makan malam—”
Tiba-tiba, Luca yang baru saja keluqr dari kamar mandi terkulai. Matanya terpejam, dan tubuh kecilnya meluncur ke samping.
Brugh!
Luca pingsan.
“Luca!” teriak Ava, reflek berteriak. Seluruh kepanikan yang ia tahan sejak tadi siang meledak.
Ava segera berlutut di samping Luca. Wajah Luca yang tadinya pucat kini tampak kebiruan, napasnya terdengar dangkal dan cepat.
“Luca! Sayang! Bangun!” Ava menepuk-nepuk pipi Luca dengan panik. Tangan Ava gemetar saat ia meraba dahi Luca.
Panas sekali. Demamnya tinggi, jauh lebih tinggi daripada kemarin.
“Ma… Mama, Luca kenapa?” Lily langsung menangis, ketakutan melihat kondisi kembarannya. Lily berlari memeluk Luca dengan tubuh bergetar.
“Tidak, Lily, jangan panik. Kita akan membawanya ke rumah sakit,” ujar Ava dengan nafas tercekat. Air mata Ava mengalir deras. Ia tahu, penyakit Luca selalu datang tiba-tiba, dan serangan kali ini tampak lebih parah.
Ava berusaha mengangkat Luca. Tubuh Luca terasa berat dan lemas. Ia harus segera membawanya ke unit gawat darurat.
Di tengah kepanikan itu, Ava menyadari realitas yang mengerikan, ia tidak punya mobil, uang tunainya nyaris habis, dan ia tidak punya asuransi kesehatan yang memadai untuk operasi mendadak.
“Mama akan panggil taksi!” Ava merogoh tasnya.
Ponselnya. Ia harus menelepon. Tapi ia harus menelepon siapa? Kenzo?
Kenzo pasti sedang dalam perjalanan pulang.
Saat Ava hampir mencapai pintu, Lily menarik ujung gaunnya. Wajah Lily yang basah oleh air mata menatapnya dengan pandangan penuh tekad yang tidak biasa.
“Mama, jangan panggil taksi. Telepon Papa!” seru Lily, suaranya penuh keputusasaan.
Ava menggeleng cepat.
“Tidak, Lily! Mama tidak bisa! Papa bukan urusan kita lagi! Mama akan urus Luca sendiri!”
“Bukan! Mama tidak mengerti!” bantah Lily, menangis lebih keras. “Paman Jeremy bilang Luca sakit! Papa tahu! Papa Edgar yang paling kaya, Papa Edgar pasti punya dokter terbaik! Papa bisa menyembuhkan Luca!”
Kata-kata Lily menusuk tepat ke inti masalah. Ava telah berusaha mati-matian menjadi ibu yang mandiri, ibu yang kuat, tapi malam ini, ia adalah ibu yang tak berdaya.
Harga dirinya bertarung sengit dengan nyawa putranya.
“Jika aku menghubungi Edgar, aku akan kehilangan kendali sepenuhnya. Dia akan mengambil segalanya.
Tapi jika aku tidak menghubungi Edgar, aku akan kehilangan Luca,” batin Ava bergelut sendiri.
Kenyataan pahit itu membuat Ava ambruk. Ia kembali berlutut di samping Luca, memeluk putranya erat-erat. Ia mencium kepala Luca yang panas.
“Mama tidak peduli dengan papa Lily tidak peduli! Tapi mama harus pikirkan Luca! Orang bilang papa kami hebat, kalau papa hebat, papa pasti datang!” pinta Lily, yang kini bertindak jauh lebih dewasa daripada usianya.
Ava memejamkan mata. Ia tahu Lily benar. Edgar memiliki sumber daya, koneksi, dan yang paling penting, Edgar sudah mengetahui keberadaan mereka. Bersembunyi tidak lagi relevan.
Dengan tangan gemetar, Ava mengambil ponselnya. Ia mencari nomor Kenzo, karena ia tidak punya nomor Edgar.
Drrt… Drrt…
Panggilan Kenzo tersambung.
“Kenzo, tolong aku,” suara Ava bergetar tak terkendali.
“Luca pingsan. Dia demam tinggi. Aku harus membawanya ke rumah sakit. Tapi aku tidak punya uang yang cukup.”
Di seberang telepon, Kenzo segera menangkap urgensi dalam suara Ava.
“Tenang, Ava! Jangan khawatir! Aku akan segera ke sana! Aku akan panggil ambulan tercepat, atau lebih baik, aku hubungi Edgar!”
“Ya! Hubungi Edgar! Dan katakan padanya, aku menerima tawarannya. Katakan juga Luca butuh dia. Cepat, Kenzo! Cepat!” seru Ava, memutus panggilan.
Ava merangkak kembali ke ranjang, memeluk kedua anaknya. Ia telah melanggar semua prinsipnya. Ia telah menyerahkan harga dirinya kepada Edgar demi kehidupan putranya.
“Papa pasti datang, Sayang. Mama janji,” bisik Ava pada Luca dan Lily, air matanya membasahi rambut Luca.
Semoga saja Kenzo segera menyampaikan kabar buruk ini kepada Edgar.
*
*
Sementara Edgar, yang akan menyeruput kopinya, tiba-tiba menjatuhkan cangkir itu hingga air panas mengenai lengannya.
“Tuan!” seru Jeremy.
“Jangan sentuh aku! Aku bisa menangani ini sendiri!” Edgar mengibaskan tangannya yang terasa panas. Tidak masalah karena kopi anas ini tak sebanding dengan rasa kesalnya pada Jeremy.
“Maafkan saya, Tuan. Lebih baik anda menghabisi saya daripada anda mendiamkan saya seperti ini,” ucap Jeremy.
Edgar terdiam. Bukan karena ucapan Jeremy melainkan ada gejolak aneh yang merambat di dadanya. Perasaannya berubah gelisah dan tak tenang.
“Siapkan mobil. Aku akan kembali ke mansion utama,” titahnya.
apa² jgn² kamu menyukai ivy...
kl iya tamat lah riwayat mu jeremy
untung edgar cocok y coba kl ava ataupun edgar tidak cocok... pastinya mereka disuruh memilik anak lagi🤔
lanjut thor semngat💪💪💪
semoga crazy up🤣