Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Xavier tersenyum kecil. Ia tidak menyangka dirinya kini sedang curhat pada sopirnya sendiri.
Padahal, sejak mengenal Helen, Xavier jadi mudah kehilangan harapan dan sering merasa sedih.
“Makasih ya, Pak, sudah mau mendengarkan curhatan saya. Saya jadi nggak enak sama Bapak.”
“Nggak apa-apa, Pak. Saya juga senang kok dengerin Bapak curhat. Lagian itu juga bagian dari pekerjaan saya.”
Xavier merasa bersalah karena seolah menambah beban para pegawainya.
Sesampainya di rumah, sopir berkata, “Kalau begitu saya pulang dulu, Pak. Kalau butuh apa-apa, bilang saja.”
Xavier tersenyum mendengar itu, walau sebenarnya ia tidak ingin membebani siapa pun lagi.
Setelah masuk ke dalam rumah, Xavier merasa hampa dan kesepian. Ia merasa tidak memiliki siapa pun yang benar-benar menyayanginya.
Dalam hal materi, Xavier menang. Namun tidak dalam pertemanan dan kehidupan sosial. Ia terlalu jauh dari semua itu.
Ia hanya bisa bekerja untuk melepaskan penat dari beban di pundaknya.
Di sisi lain, Helen yang masih merasa stres dan tidak tahu harus bercerita pada siapa akhirnya mengirim pesan kepada Xavier.
Namun, pesan itu tidak dibalas. Xavier sedang mabuk dan tidak sadarkan diri.
Ia merasa lebih baik sendirian daripada bersama orang lain tapi tidak dihargai dan hanya dimanfaatkan.
Keesokan paginya, Xavier terbangun dengan kepala yang sangat pusing.
“Pasti gara-gara semalam kebanyakan minum,” ucapnya sambil memegang kepala.
Ia mencari ponselnya yang entah tergeletak di mana. Setelah menemukannya, Xavier terkejut melihat pesan dari Helen.
Bukan perasaan senang yang muncul, melainkan kesal dan dongkol.
Baginya, Helen sudah berani memanfaatkan pria paling dingin di negara ini, sampai-sampai ia ingin mencari tahu lebih jauh tentang wanita itu.
Sesampainya di kantor, Xavier dihadapkan pada tumpukan pekerjaan.
Sekretarisnya ingin memberi informasi tentang Helen, tetapi Xavier langsung menolak.
“Pak, saya ada info tentang Nona Helen. Apakah Bapak mau mendengarnya?”
“Bacakan saja jadwal saya hari ini,” potong Xavier, mengalihkan pembicaraan.
Padahal jadwal hari ini tidak terlalu padat, namun Xavier sengaja memajukan beberapa agenda agar pikirannya sibuk dan tidak memikirkan Helen.
Sekretarisnya bingung. Kenapa setiap urusan yang berhubungan dengan wanita, bosnya selalu berubah seperti ini?
Setelah jadwal dibacakan, sekretaris merasa lega karena Xavier tidak marah.
“Kalau begitu, karena saya sudah sibuk, kamu boleh pulang setelah pekerjaanmu selesai. Tidak perlu menunggu saya.”
“Tapi, Pak, saya nggak enak kalau tidak menunggu. Nanti terkesan saya sekretaris yang tidak bertanggung jawab.”
Xavier menatap sekretarisnya tajam.
“Tidak apa-apa. Saya tahu kamu juga lelah. Jaga kesehatanmu.”
Sekretaris itu sedikit gugup, namun mengangguk.
Setelah keluar dari ruangan, Xavier kembali merasa penat.
Tak lama kemudian, sekretarisnya kembali membawa makanan.
Xavier terdiam. Ia tidak menyangka sekretarisnya selalu mengerti apa yang ia butuhkan.
“Karena saya melihat wajah Bapak pucat, akhirnya saya membawakan Bapak makanan yang sehat, dan juga makanan serta minuman penghangat kalau dibutuhkan.”
Apakah ketahuan sekali kalau bosnya itu sedang mabuk semalam, makanya diberi obat penghangat agar dirinya tidak mabuk kembali?
Xavier tidak menyangka kalau sekretarisnya benar-benar baik kepadanya.
“Emangnya kamu nggak butuh asisten, ya, buat bantuin kamu?”
Sekretarisnya mendengar itu merasa senang dan berpikir apakah bosnya mau menambahkan asisten untuknya.
“Emang boleh, Pak?”
“Boleh, tapi saya tetap maunya kamu yang jadi sekretaris saya, ya, walaupun kamu punya asisten.”
Sekretaris itu berpikir, untuk apa punya asisten kalau tetap dirinya yang paling dibutuhkan.
“Baik, Pak. Kalau begitu, tidak usah.”
Bosnya malah tertawa mendengar hal itu dan tidak menyangka kalau sekretarisnya benar-benar cepat menolak.
“Ya, saya cuma bercanda kok. Lagian kamu juga tahu kan, kalau saya merasa kamu kelihatan lelah bekerja sama saya. Makanya saya berpikir tidak ada salahnya kalau kamu punya asisten.”
Sekretarisnya berpikir, apakah bosnya ini sedang bercanda atau serius.
“Bapak serius atau bercanda sih, Pak?”
“Emangnya saya pernah bercanda kalau soal kerjaan?”
“Ya, sebenarnya saya butuh asisten sih, Pak. Tapi kalau misalkan Bapak nggak kasih, saya juga nggak bisa berkata apa-apa.”
“Kamu butuh berapa asisten?”
Saat sekretarisnya menceritakan itu, dirinya malah merasa tidak bisa berkata apa-apa. Takutnya bosnya hanya berbicara bohong dan tidak benar-benar serius.
“Saya butuhnya sih dua, tapi kalau Bapak nggak bisa kasih ya nggak apa-apa. Saya juga nggak berharap.”
“Ya sudah, kamu carilah. Minta ke tim HRD. Siapa tahu mereka bisa bantu cari asisten buat kamu.”
“Beneran?”
Bosnya hanya menganggukkan kepala dan tidak berkata banyak, karena dia merasa sekretarisnya juga butuh cuti atau libur.
“Baik, Pak. Kalau begitu nanti saya akan tanya HRD untuk mencarikan tim untuk saya sebagai asisten.”
“Ya sudah. Saya percaya sama tim HRD. Kalau mereka yang cari, pasti orang-orangnya bagus. Jadi kamu nggak perlu lapor ke saya lagi. Saya sudah percaya.”
Sekretarisnya hanya tersenyum dan berharap semua ini benar-benar terjadi, bukan sekadar wacana.
Tak lama kemudian, sekretaris itu memilih keluar tanpa berkata apa-apa lagi kepada bosnya. Karena terlalu banyak berbicara dengan bos justru membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
Xavier merasa dirinya sudah keterlaluan pada Helen hingga tidak membalas satu pun pesan darinya. Xavier ingin menghukum wanitanya agar Helen tahu bahwa rasa dicintai tidak bisa dimanfaatkan begitu saja.
Xavier mencoba tidak peduli lagi pada Helen dan memilih fokus bekerja. Ia bertekad untuk tidak mencintai lagi, walaupun itu terasa sulit karena wanitanya adalah Helen, bukan wanita lain.
Namun Xavier tetap mencoba sebaik mungkin demi dirinya sendiri, agar tidak terjerumus dalam cinta yang salah.
Tak terasa waktu sudah malam, tetapi tidak satu pun pesan dari Helen dibalas oleh Xavier.
Helen merasa penasaran. Kenapa Xavier hari ini menghilang tanpa kabar? Apakah Xavier marah karena dirinya tidak menjawab perasaan Xavier kemarin?
Helen merasa seperti sedang berhadapan dengan anak kecil yang tidak tahu apa-apa, padahal dirinya sendiri bingung harus bersikap seperti apa kepada Xavier.
Helen sudah mencoba sabar, tetapi tetap saja tidak mudah. Untungnya Xavier adalah bosnya, bukan orang lain.
Helen berniat berbicara langsung dengan Xavier di kantornya setelah Xavier selesai bekerja.
Setelah selesai kuliah, Helen ingin pergi ke kantor Xavier, tetapi langkahnya ditahan oleh Bobby.
“Helen, soal kemarin—”
“Nggak usah dibahas. Aku nggak mau bahas lagi, dan aku merasa itu sudah cukup.”
“Jangan begitu dong. Aku mau kita menyelesaikan ini baik-baik.”
“Aku nggak perlu menjelaskan apa-apa ke kamu, karena kamu sendiri sudah dengar hal itu.”
“Maafin aku kalau aku udah ngecewain kamu. Tapi bukan maksud aku seperti itu.”
Helen merasa apa pun yang dilakukan Bobby adalah tindakan yang tidak bisa dimaafkan.