NovelToon NovelToon
Cinta Dibalik Heroin 2

Cinta Dibalik Heroin 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Obsesi / Mata-mata/Agen / Agen Wanita
Popularitas:280
Nilai: 5
Nama Author: Sabana01

Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam yang mencekam

Malam ini tidak membawa firasat buruk. Justru terlalu tenang. Feni duduk di tepi ranjang kamar tamu, menatap lampu meja yang menyala redup. Rumah Bunda Erlang terasa sunyi—sunyi yang berbeda dari apartemen, sunyi yang terlalu luas dan terlalu rapi. Jam dinding berdetak perlahan, seperti menghitung sesuatu yang tak ingin ia dengar.

Erlang sedang pergi.

Ia pamit tergesa satu jam lalu, ada urusan keamanan mendadak. Sejak itu, Feni merasa dadanya tak pernah benar-benar longgar. Tangannya berkali-kali menyentuh saku jaket yang tergantung di kursi. Di sana, tersembunyi benda kecil yang menjadi sumber dari semua kegelisahan itu.

Flashdisk berbentuk boneka.

Feni berdiri, berjalan ke jendela, mengintip halaman depan. Lampu taman menyala stabil. Gerbang tertutup. Tidak ada gerakan mencurigakan.

Namun nalurinya berteriak.

Ia baru saja menutup tirai ketika suara itu terdengar.

Klik.

Pelan. Singkat. Terlalu terlatih untuk disebut kebetulan.

Feni membeku.

Detik berikutnya, suara langkah kaki terdengar dari lantai bawah. Bukan langkah santai. Bukan langkah penghuni rumah. Ada ritme yang dingin, terukur, dan asing.

Ponselnya bergetar.

Nomor tak dikenal.

Kami di dalam. Jangan berteriak.

Napas Feni tercekat. Jarinya gemetar saat membaca pesan kedua.

Kami hanya ingin barang itu.

Flashdisk.

Jadi benar. Mereka datang untuknya.

Feni menoleh ke arah lorong. Pintu kamar Bunda Erlang ada di ujung sana. Tanpa berpikir panjang, ia berlari kecil, mengetuk pintu dengan cepat tapi tertahan.

“Bun,” bisiknya panik. “Bangun, Bun.”

Pintu terbuka. Wajah Bunda Erlang langsung menegang saat melihat ekspresi Feni.

“Mereka datang,” ujar Feni lirih.

Tidak ada teriakan. Tidak ada kepanikan. Bunda Erlang hanya menarik Feni masuk dan menutup pintu.

“Berapa orang?” tanyanya tenang.

“Aku nggak tahu.”

Langkah kaki kini terdengar jelas di tangga. Ada suara logam bersentuhan. Senjata.

Feni menelan ludah. Dalam hitungan detik, keputusan itu terbentuk—berat, menyesakkan, tapi terasa satu-satunya pilihan.

“Bun,” katanya cepat. “Kunci pintu ini.”

Bunda Erlang menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”

“Mereka cari aku.”

“Tidak,” Bunda Erlang menggeleng. “Kamu tetap di sini.”

Feni memegang gagang pintu kamar dari dalam. Tangannya bergetar, tapi suaranya tidak.

“Bun, dengar aku. Kalau mereka nemuin kita berdua, risikonya lebih besar. Aku nggak mau mereka menyentuh Bunda.”

Ketukan pertama terdengar dari luar kamar. Pelan. Mengancam.

“Buka,” suara pria terdengar. Datar. Tanpa emosi.

Feni menatap Bunda Erlang. Dadanya sesak.

“Kamu perempuan yang dicintai Erlang" katanya lirih, nyaris berbisik."Dan dirumah ini kamu sudah seperti anak Bunda sendiri”

Bunda Erlang terdiam. Matanya berkaca-kaca.

"Justru karena itu Bun,” lanjut Feni, suaranya bergetar tapi tegas. "Biar aku yang keluar”

Sebelum Bunda Erlang sempat berkata apa-apa, Feni mendorongnya masuk, lalu menutup pintu dan menguncinya dari luar

“Feni!” suara Bunda Erlang terdengar teredam. “Buka pintunya!”

Feni menempelkan dahi ke pintu sejenak. “Maaf, Bun,” bisiknya. “Tolong tetap di dalam.”

Ia berbalik.

Langkah kaki mendekat. Tiga pria berdiri di lorong, berpakaian gelap, wajah sebagian tertutup. Senjata tergenggam rendah—cukup untuk menunjukkan kendali penuh.

“Aku di sini,” kata Feni, suaranya bergetar tapi terdengar.

Salah satu pria menatapnya lama. “Kamu yang menyimpan barang itu.”

Feni mengangguk.

“Mana?”

Ia merogoh saku jaket, mengeluarkan boneka kecil itu. Tangannya gemetar saat menyerahkannya.

Pria itu mengambil, memeriksa cepat, lalu tersenyum tipis. “Bagus.”

Feni menahan napas. “Sekarang pergi. Jangan ganggu siapa pun di rumah ini.”

Pria itu tertawa pelan. “Kami belum selesai.”

Dua pria lain bergerak ke sampingnya. Salah satunya meraih lengan Feni dengan kasar.

“Apa—” Feni tersentak. “Kalian sudah dapat yang kalian mau!”

“Kami tidak meninggalkan saksi yang berpotensi bicara,” jawab pria pertama dingin.

“Erlang akan tahu aku hilang!” Feni melawan.

“Justru itu,” jawabnya singkat.

Tangan membekap mulut Feni. Bau kain dan logam memenuhi inderanya. Ia berusaha meronta, tapi tubuhnya kalah tenaga. Suara Bunda Erlang terdengar dari balik pintu kamar, memanggil namanya—putus, panik, tak berdaya.

Air mata Feni jatuh tanpa suara.

Ia diseret menuruni tangga, melewati ruang keluarga yang kini terasa asing. Pintu depan terbuka. Udara malam menyambut dingin dan kejam.

Tidak ada teriakan.

Tidak ada saksi.

Hanya suara pintu mobil yang terbuka, lalu tertutup.

Mesin menyala.

Feni didorong masuk ke dalam. Pintu dikunci. Gelap.

Mobil melaju.

Rumah yang semula menjadi tempat perlindungan menghilang di belakang mereka—bersama Bunda Erlang yang terkurung, bersama Erlang yang belum tahu apa pun.

Feni memejamkan mata.

Ia tidak tahu ke mana mereka membawanya.

Yang ia tahu hanya satu—

Malam itu, ia memilih melindungi.

Dan harga yang harus dibayar adalah kebebasannya sendiri.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!