Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.
Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.
Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
***
"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.
"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"
"Aku datang untukmu, Kak."
"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.
Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.
"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.
"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."
"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.
"Aku aset yang tidak patuh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Helena, yang sudah selesai dengan buburnya, meletakkan sendok dengan gerakan yang tenang.
Dia menatap Noa, senyum tipis dan cerah yang sering dia gunakan kini kembali, namun terasa jauh lebih tajam dan penuh perhitungan.
"Ngomong-ngomong, Tuan Ryder," ujar Helena, nadanya santai, seolah dia hanya mengajukan pertanyaan akademik ringan.
"Sebagai pewaris Ryder Group, kau terlalu santai. Kau terus berada jauh di Amerika, padahal fondasi bisnis keluarga kalian ada di Asia."
Noa, yang sedang menyesap kopi hitamnya, hanya mengangkat bahu.
"Boston memiliki kalkulasi yang lebih baik, Nona Nelson. Jauh dari birokrasi tua Asia."
"Tentu," balas Helena, suaranya mengandung ejekan yang lembut, lalu menjatuhkan bom.
"Atau," tambahnya, matanya menyipit puas.
"Apa kau sengaja menjauh dari Putri Ketiga Keluarga Winston?"
Seketika, Noa tersedak keras. Kopi hitam di mulutnya menyembur sedikit, nyaris mengenai serbet di pangkuannya.
Noa memukul dadanya dua kali, matanya terbelalak kaget.
Dia meraih gelas air kristal di meja dan meneguknya dengan cepat, berusaha mengendalikan batuk dan kepanikannya yang tiba-tiba.
Wajahnya, yang biasanya cuek dan santai, kini menjadi merah padam.
"Kau, kau tahu tentang itu?" desis Noa, suaranya parau.
Jelas, ini adalah titik kelemahan personal yang pria itu sendiri tidak ingin ingat, apalagi disiarkan di depan Aiden.
Kepala Noa langsung berdenyut sakit, mengingat Putri Ketiga Keluarga Winston, salah satu dari Lima Naga, yang menguasai pasar domestik.
Saat Noa berjuang memulihkan diri dari keterkejutannya, dia merasakan dua pasang mata tertuju padanya.
Aiden menatap Noa dengan tatapan dingin yang menyelidik, seolah-olah baru saja menemukan variabel bug dalam sistemnya.
'Winston Corporation, Sekutu Eoscar.'
Di hadapan Noa, Helena menyandarkan punggungnya di kursi, senyumnya kini berkilau penuh kemenangan yang cerah.
Suasana di meja makan berubah kaku.
Noa menyadari bahwa Helena, hanya dengan satu kalimat, telah memegang kendali atas dirinya dan aliansi Ryder-Aliston.
"Dari mana kau tahu?" tanya Noa dengan kesal, mengabaikan tatapan Aiden yang mematikan.
Helena hanya tersenyum simpul, menikmati keunggulannya, dan tidak menjawab.
"Jaringan, Tuan Ryder. Nelson selalu tahu siapa yang tidak ingin bersekutu dengan siapa."
Aiden, setelah mengamati interaksi keduanya, akhirnya angkat bicara, suaranya rendah dan penuh wibawa.
"Aku tidak peduli dengan masalah personalmu, Ryder," tekan Aiden, mengetuk meja dengan jarinya.
"Aku hanya peduli jika masalah itu adalah celah yang bisa dieksploitasi oleh Eoscar."
Noa menyadari bahwa Aiden tidak akan melepaskannya.
Dia kini harus mengungkapkan alasan strategis di balik pelariannya ke Boston.
"Ini hanyalah masalah pribadi," keluh Noa, menyeka sudut bibirnya.
"Riana Winston. Dia itu orang gila."
Mendengar nama itu, tawa Helena pecah. Itu adalah tawa yang riang, lepas, dan tidak tertahan.
Tawa yang belum pernah Aiden dengar dari tunangannya.
Perut Helena sedikit sakit dan air matanya keluar, membuat mata itu berkilau cantik, tawa riang yang sangat kontras dengan ketegangan di atas meja makan.
Aiden yang melihatnya menyukai tawa riang itu, menyukai kegembiraan Helena.
Itu adalah hadiah yang jauh lebih berharga daripada Macallan yang dia tolak tadi malam. Namun saat kembali melihat ke arah Noa tatapannya serius seperti biasa.
"Apa maksudmu, Ryder?" tanya Aiden, nada suaranya meminta data, bukan drama.
"Aku dulu bertemu wanita gila itu saat taman kanak-kanak," mulai Noa, suaranya lebih pelan dan sedikit bergidik.
"Aku pikir dia gadis kecil yang manis, dengan kepang yang rapi. Kami berteman dan bermain bersama."
Noa menghela napas, gesturnya menunjukkan beban masa lalu.
"Tapi aku salah. Dia itu psikopat."
"Dia mengklaim bahwa aku miliknya. Bukan main-main, Aliston. Dia menjauhiku dari orang-orang sekitar, terutama anak perempuan yang mendekat. Dia akan membuat mereka menangis, menghilangkan boneka mereka atau bahkan membakar tas ransel mereka."
"Aku selalu harus bersamanya, dan hanya melihatnya," Noa meringis,
"Dia terus mengejar dan menggangguku, seolah aku berutang jutaan dolar padanya, tanpa bisa ditebus."
Helena menyeka air matanya dan kembali menatap Noa dengan rasa simpati bercampur rasa geli yang tulus.
Aiden hanya menatap Noa, mencerna fakta bahwa salah satu sekutunya lari dari calon tunangan psikopat dari keluarga pesaing.
"Jadi kau lari dari calon tunanganmu?" tanya Aiden, suaranya datar.
"Sial, Aiden, kau berencana membunuhku!" seru Noa, tatapannya terkejut.
"Dari mana kau menyimpulkan calon tunangan? Dia itu penguntit!" jelas Noa tidak terima.
"Bertunangan dengan keluarga Winston, itu kesepakatan luar biasa, Tuan Ryder," ungkap Helena, kini kembali menganalisis situasi dengan nada bisnis.
"Kau sama saja dengan ayahku," balas Noa, frustrasi.
"Meskipun Winston adalah salah satu dari Lima Naga, tapi bertunangan dengan Riana hanya akan membuatku gila sepertinya. Kekayaan Winston tidak sebanding dengan kesehatan mentalku."
Helena mengangguk penuh pemahaman, lalu dengan usil menjatuhkan bom baru.
"Lalu bagaimana dengan putri kedua mereka, Nona Adeline Winston?"
Mendengar nama Adeline, seluruh energi Noa hilang. Ekspresi kaku di wajahnya berubah menjadi keengganan yang bercampur kerinduan yang tersembunyi.
Tatapannya kosong sejenak, seolah jiwanya terbang kembali ke Asia.
Tawa Helena kembali pecah. Dia benar-benar puas mengerjai Noa.
Noa menatap kesal, dia mengalihkan padangannya pada Aiden, namun bukannya membela, Aiden tersenyum tipis.
Senyum predator yang jarang dia tunjukkan, seolah tersadar akan kepahitan dan kelemahan tersembunyi Noa.
"Ryder, hubunganmu dengan keluarga Winston cukup menarik," ujar Aiden, matanya berkilat penuh rencana.
Aiden mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah, menjadi nada konspiratif.
"Kau tidak lari dari Winston, kau lari dari Riana," tekan Aiden, tatapannya menusuk.
"Dan lari dari perasaanmu sendiri."
Pengamatan tajam Aiden, yang menyentuh inti kerinduan Noa, terasa seperti serangan langsung.
Noa tersentak, wajahnya mengeras.
"Jadi bagaimana rencanamu, kau tidak bisa terus bersembunyi di Amerika," tekan Aiden, suaranya kini mengandung nada perintah yang tidak dapat dibantah.
"Winston adalah sekutu potensial terbesar Eoscar. Kita harus menutup celah itu, dan kau, Ryder, adalah kunci untuk membuka pintu Winston."
"Tidak," balas Noa singkat, suaranya dingin dan tegas.
Aiden mengerutkan alisnya. Penolakan Noa terhadap perintah strategis jarang terjadi.
"Aku tidak mau memanfaatkan Adeline," tegas Noa, matanya menunjukkan pertahanan yang kokoh, seolah Adeline Winston adalah batas etis terakhirnya.
"Kau hanya menembak dua burung dengan satu busur," cibir Aiden, tidak mengerti mengapa Noa menolak keuntungan yang jelas ini.
Noa tersenyum pahit, tawa hampa itu jauh lebih dingin daripada tawa sarkastisnya yang biasa.
"Aliston, tidak semua orang sepertimu. Perasaan dan bisnis itu berbeda," balas Noa, suaranya rendah dan sarat makna.
"Aku tidak akan menggunakan seseorang yang aku hormati untuk menstabilkan rantai pasokanku."
Pertahanan Noa benar-benar kokoh. Dia memilih integritas personal di atas efisiensi strategis.
Noa bangkit dari duduknya. Gerakannya cepat dan final, seperti menutup sebuah deal yang gagal.
Dia menatap Aiden, tatapan itu kini dipenuhi peringatan yang tulus alih-alih kekesalan.
"Aiden," ucapnya, suaranya penuh otoritas yang jarang dia gunakan.
"Jika kau selalu berpikir seperti ini, bahwa setiap emosi dan setiap hubungan bisa diubah menjadi keuntungan, di masa depan kau akan terjerat oleh talimu sendiri."
Aiden hanya menatap Noa, mencerna kalimat tersebut. Itu adalah peringatan filosofis, bukan ancaman.
Noa lalu menatap Helena, senyumnya kali ini lembut dan penuh persahabatan, namun matanya memancarkan peringatan serius.
"Helena, aku pergi," katanya.
"Nikmati waktu kencan kalian. Dan jaga kalkulator Aiden."
Noa mencondongkan tubuh sedikit ke arah Helena, merendahkan suaranya agar Aiden tidak mendengar detailnya.
"Di masa depan, kau harus berhati-hati, Helena," bisiknya.
"Dia tidak melihat batas antara hati dan kalkulasi. Jangan sampai kau menjadi variabel yang salah dihitung."
Noa berbalik dan melangkah cepat keluar dari restoran, meninggalkan sarapannya yang belum selesai.
Dia pergi bukan karena takut, tetapi karena dia telah mencapai batas moral dan personal dalam permainan Aiden.
Aiden dan Helena ditinggalkan sendirian di meja, di bawah sinar matahari pagi London yang disaring salju.
Helena merasakan perubahan suhu di sekitar meja itu.
Kepergian Noa adalah penarikan diri yang penuh makna.
Helena menyadari bahwa perdebatan sengit yang baru saja terjadi berawal dari usilnya sendiri.
Rasa bersalah yang tajam dan tidak nyaman menjalari dirinya.
Dia menatap Aiden. Pria itu masih duduk tegak, matanya yang dingin fokus pada titik di mana Noa baru saja berdiri. Wajahnya adalah topeng dari perhitungan yang intens.
"Maaf, Kak," bisik Helena, suaranya pelan dan tulus.
"Kurasa aku keterlaluan. Aku seharusnya tidak menjatuhkan bom pribadi seperti itu."
Aiden, yang tadinya menatap lurus ke depan, perlahan mengalihkan pandangannya ke Helena.
Tatapannya masih dingin, tetapi ada lapisan kelembutan yang sangat tipis di baliknya, sisa kehangatan dari malam badai salju.
Dia menggelengkan kepalanya sedikit, gerakan yang minimal namun meyakinkan.
"Tidak," jawab Aiden, suaranya rendah dan terkontrol.
"Bukan kesalahanmu."
Aiden meraih cangkir kopinya dan menyesapnya, kembali ke kendali penuh.
"Ryder terlalu emosional untuk melihat peluang di balik rintangan itu," lanjut Aiden, matanya kembali berkilat dengan perencanaan.