"Aku tidak butuh uangmu, Pak. Aku hanya butuh tanggung jawabmu sebagai ayah dari bayi yang aku kandung!" tekan wanita itu dengan buliran air mata jatuh di kedua pipinya.
"Maaf, aku tidak bisa!" Lelaki itu tak kalah tegas dengan pendiriannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seno tahu
"Mama kalau ngomong sembarangan banget ya? Bikin mood aku makin buruk aja!" gerutu Axel seraya berlalu dari hadapan mereka.
"Ih, kok dia malah marah?" ujar mama heran.
"Ya marahlah, karena dugaan mama tidak benar," jawab Seno acuh.
"Soalnya tingkah abangmu itu sangat aneh. Ah entahlah, mama mau balik ke poli dulu. Oya, ini Sofia kok di tinggal sama Axel?"
"Nggak pa-pa Bu, nanti aku pulang sendiri saja," jawab Sofia sama sekali tidak keberatan bila pulang sendirian. Bahkan ia lebih nyaman bila tak bersama Axel.
"Nggak boleh, kamu nggak boleh pulang sendiri. Biar Seno yang anter kamu pulang bentar. Kamu bisa kan, Sen?" tanya mama pada Seno.
"Bisa, jam praktek aku udah selesai, cuma tinggal visit pasien yang ranap saja. Tapi itu bisa aku tunda sebentar."
"Ayo aku antar, Sof!" Ajak Seno.
Sofia mengangguk. "Aku pulang dulu ya, Bu," ucap Sofia seraya menyalami tangan dokter murni.
"Iya, hati-hati di jalan. Nanti sampai rumah langsung istirahat, nggak usah ngerjain apa-apa," pesan Bu dokter begitu baiknya.
Sofia hanya mengangguk patuh. sebenarnya ia sangat sungkan karena di perlakukan begitu baik oleh keluarga itu.
"Mau beli sesuatu?" tawar Seno saat melewati kantin yang ada di lobby RS.
"Nggak Dok, tadi udah di beliin sama pak Axel. Ini masih ada makanannya," jawab Sofia seraya menunjukkan jinjingannya.
"Sofia!" panggil seseorang membuat langkah Seno dan Sofia terhenti.
"Masih disini?" tanya Seno pada Axel.
"Iyalah, kan nungguin Sofia," jawabnya datar.
"Sofia biar aku yang antar," timpal Seno.
"Biar sama aku aja Sofia pulangnya. Udah sana kamu balik kerja. Aku tahu jam praktek kamu belum selesai kan?"
Seno menghela nafas pelan. Ia tidak ingin lagi berdebat, takut rekan kerjanya yang lain menatap aneh.
"Sof, kamu nggak pa-pa di antar Bang Axel 'kan?" tanya Seno pada Sofia yang sedari tadi hanya diam saja.
"Kenapa tidak dokter saja yang anterin aku?" tanya Sofia membuat raut wajah Axel seketika berubah rona.
"Aku masih ada kerjaan, dan kebetulan Abang juga mau pulang, jadi kamu sama dia aja ya? Kamu nggak perlu takut, dia sebenarnya baik kok, cuma kurang didikan aja," celetuk Seno.
BUGH!
"Kalimat belakangnya jangan kayak gitu!" Axel meninju bahu adiknya sangat geram.
"Hahaha... Ya habisnya Sofia tidak nyaman sama Abang, dia lebih nyaman sama aku, berarti aura ketampananku sangat menenangkan," kelakar pak dokter dengan kekehannya.
"Ck, pede banget jadi orang!" axel berlalu pergi.
Sementara itu Sofia masih berdiri disana, ia masih enggan mengikuti langkah Axel. Sadar sekali akan ada perdebatan bila bersama lelaki itu.
"Ayo sana pulang bareng bang Axel. Nggak pa-pa, dia sebenarnya sangat baik, tapi memang sedikit menjengkelkan," ucap Seno masih tersenyum menatap Sofia. Bukan tak ada alasan kenapa ia menyuruh Sofia bersama Axel, ia ingin tahu apakah kecurigaannya ini benar atau salah.
Sofia mengangguk pelan dengan senyum tipis. senyum itu menyimpan keraguan yang tak meyakinkan.
Axel yang sedari tadi sudah menunggu di mobil, hatinya kembali jengkel saat belum juga melihat batang hidung wanita itu.
Tak berselang lama Sofia datang dan membuka pintu mobil di samping kemudi. Melirik lelaki yang duduk di sampingnya dengan raut wajah tegang.
"Kenapa lama banget sih kamu?"
"Kebelet pipis," jawab Sofia beralasan.
"Bohong aja, padahal aku lihat kamu ngobrol sama Seno."
"Kalau udah tahu ngapain juga nanya," timpal Sofia.
Axel membuang nafas kasar. Ia menatap Sofia begitu tajam. "Apakah kamu benar-benar menyukai Seno?" penuh introgasi.
"Ya, aku menyukai dokter Seno, aku menyukai segala kebaikannya. Dia adalah lelaki yang sabar, sopan, nada bicaranya sangat lembut dan penuh kasih sayang. Bersyukur sekali wanita yang nanti akan menjadi istrinya."
Axel tersenyum senjang. "Hng! Bilang saja kamu berharap menjadi wanita beruntung itu kan?" sindir Axel.
"Nggak, aku nggak berharap. Tetapi jodoh itu tidak ada yang tahu."
"Kamu kira wanita seperti kamu tipe Seno? Kamu tidak pantas untuk Seno."
"Kenapa? Aku tidak pantas ya? Ya aku tahu itu. Ayo sekarang antar aku pulang!" titah Sofia mencoba untuk tidak terpancing emosi. Entah kenapa setiap kali Axel merendahkan dirinya, rasanya sakit sekali. Sepertinya ia harus segera pergi dari rumah itu demi kesehatan mentalnya.
Axel hanya tersenyum tipis. Ia segera menjalankan kendaraannya. Sesampainya di rumah, Sofia gegas keluar dari mobil dan masuk ke dalam kamarnya.
Sofia mengambil beberapa barang yang memang miliknya, lalu segera keluar untuk pergi dari rumah mewah itu.
"Mau kemana kamu?" tegur Axel menghadang di depan pintu kamar Sofia.
"Aku mau pergi," jawab Sofia singkat.
"Mau pergi kemana kamu? siapa yang mengizinkan kamu?" axel menarik tangan Sofia.
"Lepas, Pak!" Sofia menghempaskan tangan Axel.
"Nggak, aku nggak akan membiarkan kamu pergi!" jawab Axel tegas.
Sofia menyorot tajam. Sebenarnya apa yang dia mau? Kenapa selalu saja membuat kesal.
"Kamu sebenarnya mau apa?" tanya Sofia datar.
"Aku ingin kamu tetap tinggal disini hingga anak itu lahir. Aku yang akan merawat anak itu nantinya. Setelah itu terserah jika kamu mau pergi."
PLAKK!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Axel. Mungkin tamparan itu belum seberapa bila di bandingkan rasa sakit akibat kata-kata yang di lontarkan pada Axel terhadap Sofia.
"Kamu berani menamparku, Sofia?" ucap Axel tidak percaya.
"Jangankan menamparmu, bahkan untuk membunuhmu saja aku berani. Jangan lagi kamu berani ingin mengambil anakku!" tekan Sofia terdengar sangat lantang sekali.
"Kamu punya apa untuk membesarkan anak itu? Apakah kamu punya finansial yang cukup? Sama saja kamu akan membuatnya menderita!" balas Axel tak kalah lantang.
"Kamu jangan pernah mengukur segalanya dari uang dan harta kekayaan. Apapun akan aku lakukan untuk anakku, bahkan aku rela menukar nyawaku demi kebahagiaan anakku. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah rela memberikan anakku padamu!"
"Tapi aku ayahnya! Aku berhak untuk mengambil hak asuh anak itu!"
"Apa? Kamu ayahnya?" seru Seno membuat Axel dan Sofia terjingkat.
"D-dokter Seno!" ucap Sofia gugup.
"Ternyata dugaanku benar, kalian ada hubungan. Jadi lelaki pengecut itu adalah kamu, Bang?" ujar Seno datar.
Axel tak menyahut ucapan sang adik. Mungkin memang itulah julukan yang pantas untuk dirinya.
Seno mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menghubungi nomor mama.
"Sen, kamu mau ngapain nelpon mama?" cegah Axel menahan tangan Seno.
"Aku harus kasih tahu mama dan papa yang sebenarnya."
"Sen, jangan kasih tahu mereka dulu!"
"Kenapa? Apakah kamu tidak mau bertanggung jawab terhadap Sofia?" sanggah Seno.
"Bukan tidak mau, tetapi aku mau bertanggung jawab atas bayinya."
Seno menatap tajam dengan rahang mengeras. "Andai kamu bukan kakakku, maka saat ini juga aku akan menghajarmu!" Seno mendorong Axel.
"Jika kamu tidak mau bertanggung jawab terhadap Sofia, maka aku aku yang akan mengambil tanggungjawabmu. Aku yang akan menikahi Sofia!"
Bersambung....