Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Akhirnya aku bisa menarik napas lega setelah keluar dari toko perhiasan. Suara gaduh orang-orang yang tadi sempat memperhatikan kami kini perlahan menghilang seiring langkahku dan Megan menjauh. Setidaknya aku berhasil mencegah keributan besar yang bisa mempermalukan diriku di depan umum.
Di dalam mobil, Megan masih saja tersenyum puas sambil menatap kotak perhiasan yang ia genggam erat.
“Mas, lihat kan? Sekarang Ratu pasti sadar kalau dia salah sudah meninggalkan Mas,” ucapnya sambil menyandarkan kepala di bahuku.
Aku hanya menghela napas. “Sudahlah, Meg. Yang penting kita sudah selesai belanja. Aku tidak mau ada masalah besar hanya gara-gara pertemuan tadi.”
Megan menoleh padaku dengan wajah manja. “Tapi aku senang, Mas. Setidaknya dia tahu kalau aku yang menang. Dia harus lihat kalau hidupku sama Mas lebih mewah daripada hidupnya dulu.”
Aku menatap jalanan malam yang mulai padat, tak ingin menanggapi lebih jauh. Yang ada di pikiranku hanya bagaimana aku bisa pulang dengan tenang tanpa harus memikirkan wajah Ratu dan Angkasa yang masih terbayang di kepalaku.
Meski bibirku terdiam, hatiku tetap gelisah. Pertemuan singkat tadi seakan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum siap aku hadapi.
Megan mungkin merasa menang. Tapi aku tahu, bayangan Ratu tidak akan semudah itu hilang.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berputar. Tanganku memang menggenggam kemudi, tapi benakku tidak berhenti menayangkan ulang pemandangan tadi di toko perhiasan.
Ratu… bersama Angkasa.
Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri kalau itu hanya kebetulan. Tapi hati ini penuh curiga. Bagaimana bisa mereka terlihat begitu dekat? Kenapa bisa mereka datang bersama ke toko perhiasan?
Aku mendengus pelan.
“Jangan-jangan selama ini Ratu memang sudah berselingkuh di belakangku? Itu sebabnya dia begitu berani minta cerai…” batinku penuh amarah.
Megan yang duduk di sebelahku sempat melirik. “Mas, kenapa diam? Masih kepikiran soal Ratu, ya?”
Aku menjawab dengan nada dingin. “Aku hanya heran. Apa sebenarnya hubungan dia dengan laki-laki itu. Apa dari dulu mereka sudah ada apa-apa, dan aku yang bodoh tidak menyadarinya?”
Megan tersenyum tipis, seperti menikmati kegelisahanku. “Kalau pun iya, Mas… berarti dia yang salah. Mas tidak perlu merasa bersalah karena cerai. Justru Ratu yang mungkin sudah main belakang sejak lama.”
Kata-kata Megan bukannya menenangkanku, malah makin mengobarkan rasa curiga.
Aku semakin yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Ratu. Dan aku tidak akan tinggal diam sebelum tahu kebenarannya.
…
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku hanya mondar-mandir di kamar, sesekali duduk di tepi ranjang, lalu bangkit lagi. Wajah Ratu bersama Angkasa di toko perhiasan terus muncul di kepalaku.
Tanganku mengepal kuat. “Apa maksudnya semua ini? Baru seminggu lebih lebih bercerai, sudah dengan laki-laki lain? Atau jangan-jangan memang dari dulu mereka punya hubungan?”
Aku berjalan ke jendela, menyingkap tirai, menatap kosong ke luar. Suara detak jam di dinding terasa begitu menusuk.
“Ratu… aku masih bisa terima kalau kamu pergi karena alasan rumah tangga. Tapi kalau ternyata ada laki-laki lain di balik semua ini, aku tidak akan tinggal diam,” gumamku dengan rahang mengeras.
Aku bahkan sempat berpikir untuk menyelidiki semua gerak-geriknya. Ada dorongan kuat dalam diriku untuk membuktikan apakah Ratu benar-benar sudah berselingkuh atau tidak.
Namun, di sisi lain, hatiku tersayat.
“Kenapa justru dia bisa tampak lebih bahagia setelah berpisah dariku? Sedangkan aku di sini, remuk, berantakan, bahkan harus memohon perhatian Megan agar tidak merasa kesepian…”
…
Esok paginya aku mencoba menemui Angkasa di ruang kerja. Aku tidak peduli dengan pandangan orang kantor tentang sikapku terhadap Direktur baru.
Aku melangkah masuk ke ruang kerja Angkasa tanpa basa-basi. Beberapa staf yang melihatku mungkin terheran-heran, karena siapa yang berani sembarangan masuk ke ruang direktur baru? Tapi aku sudah terlalu dipenuhi rasa penasaran untuk memedulikan pandangan mereka.
Angkasa yang sedang duduk di balik meja kerjanya menatapku dengan tenang. Tatapannya menusuk, seolah ia sudah menduga aku akan datang menemuinya.
“Ada yang mau kamu bicarakan?” tanyanya datar, sambil menutup berkas yang tadi ia baca.
Aku berdiri di hadapannya, berusaha menahan nada suaraku agar tidak terdengar meledak-ledak.
“Aku cuma ingin tahu satu hal, Angkasa. Kenapa kamu bisa bersama Ratu? Apa memang dari dulu kalian sudah punya hubungan di belakangku?”
Angkasa tersenyum tipis, senyum yang justru membuat darahku semakin mendidih.
“Kamu pikir semua hal di dunia ini berputar hanya di sekitarmu? Jangan terlalu cepat menuduh sebelum tahu kenyataan.”
Aku mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak meledak di ruang kerja itu.
“Kalau begitu, katakan kebenarannya sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Ratu?”
Angkasa menatapku dengan tatapan tajam, suaranya rendah tapi tegas.
“Kamu tidak perlu ikut campur tentang kehidupanku dengan Ratu. Lagi pula, kamu dan dia sudah bercerai. Jadi untuk apa repot-repot menanyakan sesuatu yang bukan lagi urusanmu?”
Aku merasakan dadaku sesak mendengar ucapannya. Tanganku mengepal begitu keras di sisi tubuhku.
“Bukan urusanku? Ratu pernah jadi istriku, Angkasa. Dan kamu… kamu atasanku sekarang. Kamu pikir aku bisa diam saja melihat semua ini seolah tak pernah ada hubungannya denganku?”
Angkasa menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya tenang seakan ucapan pedasku tak mengusiknya.
“Justru karena aku atasanmu, aku sarankan kamu jaga sikap. Jangan mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Kalau kamu masih ingin bekerja di sini, belajar bedakan dua hal itu.”
Aku hampir tak percaya mendengar nada arogan itu keluar darinya.
“Kamu berani bicara begitu seolah kamu orang suci. Tapi apa kamu bisa jamin hubunganmu dengan Ratu dimulai setelah perceraian kami?”
Angkasa hanya menatapku dingin, tidak menjawab. Keheningan itu justru membuatku semakin terbakar.
Angkasa menatapku tajam, suaranya rendah tapi mengandung ancaman yang jelas.
“Keluar dari ruangan ini sekarang, Erlangga. Dan dengarkan baik-baik…”
Aku berhenti sejenak, menatapnya tanpa bergerak, mencoba menahan amarah.
“Berhati-hatilah dengan langkahmu. Jangan sampai salah bergerak, karena sekali kamu lengah… hidupmu bisa hancur begitu saja.”
Aku menelan ludah, merasakan detak jantungku makin cepat. Kata-katanya bukan sekadar ancaman kosong, tapi peringatan yang nyata.
Aku menoleh ke pintu, melangkah keluar sambil tetap menahan amarah. Di balik kepala ini, aku terus memutar strategi: bagaimana caranya tetap bisa menghadapi Angkasa tanpa membuat diriku benar-benar terjungkal.
Begitu Angkasa menutup pintu ruangannya, wajahnya terlihat serius dan penuh tekad. Tanpa menunggu lama, ia segera mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Dengan jari yang cekatan, ia menekan nomor Ratu.
“Ratu, dengarkan,” suaranya terdengar tegas namun lembut di ujung sana. “Kita harus segera selesaikan ini. Tidak ada waktu untuk ragu lagi… kita harus menikah secepatnya.”
Ratu di seberang sana terdengar terkejut, suaranya sedikit tercekat.
“Angkasa… Apa kamu lupa? Aku baru saja cerai dari Erlangga. Aku masih masa iddah, kita belum bisa menikah kenapa tiba-tiba begitu cepat?”
Angkasa hanya tersenyum tipis, matanya menatap kosong ke depan seakan melihat masa depan yang sudah ia rencanakan.
“Percayalah, Ratu. Semua akan baik-baik saja jika kita lakukan ini sekarang. Jangan buang waktu.”