NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:531
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13

“Lingga mana, Rud?” tanya Yudhistira, alisnya terangkat begitu melihat Rudi masuk sendirian.

Hari ini ada rapat penting. Seharusnya putra sulungnya itu hadir, namun sosoknya tak terlihat. Bahkan sejak makan malam keluarga sebulan lalu, Lingga belum sekali pun menemuinya lagi.

“Sedang ada urusan di luar, Pak,” jawab Rudi pelan, memilih kata dengan hati-hati.

Yudhistira menyandarkan punggungnya ke kursi, tatapannya menyipit. Urusan di luar? Kata-kata itu bergema di kepalanya, mengusik rasa curiga yang sudah lama ia pendam.

“Urusan perusahaan?” tanyanya kemudian, nada suaranya merendah tapi penuh tekanan, seperti sedang menguji kejujuran lawan bicaranya.

“Bukan. Katanya penting… penting banget,” ujar Rudi, membuat dahi pria paruh baya itu semakin berkerut dalam.

“Penting?” ulang Yudhistira.

“Iya, Pak.”

“Sepenting apa? Lebih penting dari rapat ini?” desaknya, kini tatapan matanya menusuk.

Rudi menelan ludah, merasa nyalinya menciut di bawah sorot mata itu. “Saya nggak tahu jelas, Pak. Tapi… kata Pak Lingga, ini sangat penting.”

Yudhistira terdiam. Dalam kepalanya, ia mulai merangkai berbagai kemungkinan yang bisa membuat Lingga sampai meninggalkan rapat siang ini.

“Apa… dia menemui wanita itu?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Ia menarik napas panjang. Sifat keras kepala Lingga… memang warisan langsung darinya sendiri.

“Rapat kita mulai, Rud,” ucapnya akhirnya, melangkah masuk ke ruang rapat dengan wajah tenang yang tak memberi celah siapa pun untuk menebak pikirannya.

Rudi hanya bisa menggaruk kepala, memandang punggung atasannya itu. “Tumben Pak Yudhis nggak marah-marah,” gumamnya, heran. Biasanya, ocehan panjang lebar sudah ia terima sejak awal.

______

“Keluarga lo setuju?” tanya Diandra, menyendok es krimnya santai. Mereka duduk di salah satu kafe tak jauh dari rumah sakit, suasana di luar sibuk tapi di meja mereka, topik ini terasa berat.

“Kenapa?” balas Lingga ringan.

Diandra berdecak, memutar matanya. “Bukannya jawab, malah balik nanya.”

“Mereka tentu menolak,” jawab Lingga akhirnya, tatapannya jatuh pada Diandra yang masih asik melahap makanannya tanpa beban.

Kalau wanita lain biasanya menjaga sikap saat bersamanya, Diandra justru sebaliknya, tidak ada upaya menjaga image, bahkan saat mulutnya penuh makanan.

“Berarti kita nggak jadi nikah dong?” tanya Diandra, matanya berbinar seolah menemukan celah untuk bebas.

“Minggu depan kita nikah.”

Binar itu seketika padam. Wajahnya yang tadi merekah kini mengatup, bahkan terlihat layu.

Lingga tersenyum tipis. “Ibu saya setuju dengan pernikahan ini,” ucapnya tenang.

“Hah?! Kok bisa?” Diandra menatapnya kaget.

“Karena seorang ibu selalu ingin melihat anaknya bahagia,” jawab Lingga tanpa ragu.

Diandra mengangkat kepalanya, menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Emangnya lo bahagia nikah sama gue?”

Lingga tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lekat-lekat, membuat Diandra gelisah.

“Apa lo lihat-lihat,” ujarnya, nada suaranya penuh protes.

“Menatap lawan bicara itu bentuk menghargai. Dan posisi kamu,” Lingga melirik sekilas ke arah meja, “tepat di hadapan saya. Salah kalau saya lihat?” godanya.

“Ih… nyebelin. Udah, gue mau pulang,” gerutu Diandra, mendorong kursinya ke belakang.

“Kamu serius?” Lingga mengangkat alis, nada suaranya datar namun tajam. “Saya meninggalkan meeting hanya untuk menemui kamu, dan sekarang kamu mau pergi begitu saja?”

“Gue nggak suruh. Lo sendiri yang ngajak ketemu,” balas Diandra ketus, berdiri dari kursinya.

Baru saja ia hendak melangkah pergi, suara Lingga kembali terdengar tenang, tapi mengandung sesuatu yang membuatnya terhenti.

“Kamu tahu kalau Mike itu adik saya?”

Langkah Diandra membeku. Kata-kata itu seperti petir yang jatuh tepat di telinganya.

“Mike?” tanyanya, memastikan ia tak salah dengar.

“Andrian Michael,” jawab Lingga. Saat nama lengkap itu diucapkan, Diandra menoleh cepat. Lingga masih duduk di posisinya, tubuh tegak, tatapan lurus tidak ada perubahan ekspresi sama sekali.

“Dia… mantan kamu kan?” imbuhnya.

Lingga mengangguk ringan. “Saya tahu kamu dari Mike. Makanya saya bilang sekarang, supaya nanti kamu nggak terkejut.” Ucapannya begitu tenang, seolah fakta itu tak punya bobot apa pun.

Bagi Diandra, ini justru hal besar. Bagaimana mungkin selama dua tahun ia menjalin hubungan dengan Mike, ia tidak tahu bahwa lelaki itu ternyata adik dari Lingga, laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Lebih gila lagi, Mike tak pernah menceritakan apa pun.

Diandra menatap Lingga penuh selidik. “Dan lo tahu kalau gue mantan Mike, Dan lo masih mau nikah sama gue?” Nadanya tajam, tapi di baliknya ada rasa ingin tahu yang dalam.

“Memangnya kenapa? Kalian sudah selesai, bukan?” Lingga balik bertanya.

“Memang sudah selesai… tapi gue punya kenangan sama Mike. Dua tahun, Lingga.”

Lingga hanya terkekeh pelan, tatapannya tetap terkunci pada Diandra. “Saya nggak peduli, Diandra. Masa lalu itu sudah lewat. Karena masa depan kamu, untuk saya.”

Diandra terdiam. Kata-kata seakan menguap dari kepalanya. Fakta yang baru saja ia dengar membuat pikirannya berputar, ada sesuatu yang tidak beres antara Mike dan Lingga, ia bisa merasakannya.

“Saya dan Mike tidak ada masalah apa pun, bahkan kami tidak dekat,” ujar Lingga santai. Jawaban itu justru menambah rasa penasaran Diandra terhadap hubungan kakak-beradik itu.

“Kenapa?” tanyanya, nada suaranya mengeras, mengiris di udara.

“Kamu akan tahu… setelah kamu jadi istri saya.”

Alis Diandra terangkat, matanya menyipit meneliti wajah pria itu. “Sepengen itu lo jadi suami gue?”

Lingga tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis yang sulit ditebak, antara kesombongan atau keyakinan.

Diandra mendengus, jelas tak puas dengan jawaban itu. “Lingga…” panggilnya lagi, kali ini suaranya lebih dalam, serius, dan sarat makna.

“Ya?” balasnya pelan.

“Sebenarnya apa yang lo rencanakan? Kita udah beberapa kali ketemu, makan bareng, ngobrol kayak gini…” Tatapannya menelusuri wajah pria itu, berusaha mencari celah. “Tapi nggak ada satu pun yang gue tahu tentang lo. Dan wajah lo… terlalu tenang buat gue baca.”

Lingga terdiam sejenak. Ia tahu gadis di depannya sedang berusaha memecahkan teka-teki yang ia ciptakan. Tapi tak ada pilihan lain. “Yang kamu lihat… ya itu saya,” jawabnya singkat.

Lagi-lagi Diandra berdecak, kali ini disertai tatapan jengkel. “Udah ah, lama-lama gue beneran kesel sama lo. Gue udah boleh pulang kan?”

Lingga berdiri perlahan, gerakannya tenang tapi penuh wibawa. “Saya antar,” tawarnya datar.

“Gak usah. Gue mau balik ke rumah sakit,” jawab Diandra cepat, sengaja memutus tawaran itu. Ia melihat Lingga hanya mengangguk ringan, tanpa protes.

“Diandra,” panggil Lingga lagi. Nada suaranya membuatnya terpaksa menoleh, dengan ekspresi jelas: apalagi sekarang?

“Satu minggu ke depan saya ada perjalanan bisnis ke luar kota,” ucapnya, tatapannya tak lepas dari wajah Diandra. “Jadi… kita baru ketemu lagi di hari pernikahan.”

Diandra menarik napas panjang, matanya menyipit. “Gue nggak peduli. Nggak balik pun nggak masalah.”

Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar dari kafe. Di belakangnya, Lingga hanya menatap punggung itu, seolah sedang menghitung langkah atau mungkin strategi berikutnya.

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!