Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Duapuluh lima, Dendam Soraya
Deg!
Jantung Gavin berdetak kencang. Mana dia tau ada tanda lahir di tubuh istrinya, Bella. Sekalipun mereka pasangan suami istri, jangankan untuk melihat bagian tubuh masing-masing. bersentuhan saja pun cuma sekedar pegang tangan doang. Tidak lebih dari itu. Walaupun terkadang dia silap dengan bersikap manis pada Bella di hadapan orang, semua itu hanya untuk melengkapi sandiwara mereka. Terutama di hadapan kakeknya.
Gavin memang tidak memungkiri, ada rasa kelekatan yang datang perlahan pada Bella seiring mereka sering bersama. Bella pasti tau kalau semua itu karena perjanjian diantara mereka. Bahkan Bella menyeimbanginya demi kesempurnaan sandiwara mereka. Dan sejauh ini semua berjalan lancar.
Bukankah dia sudah menegaskan pada Bella waktu itu, kalau hubungan mereka hanya sebatas kontrak rahim? Dan hubungan itu akan berakhir setelah Bella melahirkan?
Bahkan mereka tidur terpisah kamar. Mereka tidak pernah bersentuhan pisik secara intens.
Jadi, bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan sang dokter? Gak dijawab bakal jadi masalah. Mau dijawab pun akan lebih bermasalah, karena tidak tau sama sekali jawabannya.
"Ek-hem," Gavin terbatuk untuk menetralisir degup jantungnya.
"Saya kurang memperhatikan itu dokter. Mungkin nanti akan saya tanyakan istri saya. Apakah itu tanda lahir atau tidak." akhirnya meluncur juga jawaban dari celah bibir Gavin.
"Oh, iya. Saya tunggu jawaban itu, Nak Gavin. Soalnya sangat penting."
O-fs! Gavin mendesah lega karena dokter Anwar tidak bertanya lagi. Tapi justru dia yang kini ingin bertanya. Untuk apa dokter Anwar menayakan soal tanda lahir di bahu istrinya.
Apa kaitannya dengan mereka?
"Baiklah, segera hubungi saya, ya," dokter Anwar menepuk bahu Gavin. Gavin tersentak karena saat ini pikirannya melanglang buana karena penasaran.
"Ba-baik dokter." jawabnya gugup.
Sementara itu.
Soraya, menghempaskan tubuhnya di atas ranjang! Kedua telapak tangannya saling meninju. Semua kejadian tadi memutar di kepalanya. Bagaimana ekspresi Gavin, saat melihat Bella pingsan. Kemarahan yang ditujukan padanya. Sedemikian cintanya Gavin pada gadis kampung itu.
Rasanya Soraya tidak rela kalau Gavin jatuh kepelukan wanita lain. Selama lima tahun ini dia selalu mengikuti keseharian Gavin. Dia tidak pernah mendengar kabar kalau Gavin dekat dengan seseorang. Karena itu dia memupuk harapannya kembali untuk kembali pada Gavin. Dia berusaha mendekati Hilda bibinya Gavin.
Memberinya beberapa tender, hanya dengan tujuan semata-mata untuk mendekati kembali keluarga itu. Tepatnya Gavin. Pikirnya masih mudah untuk merayunya kembali. Pasti Gavin belum bisa move on padanya. Sehingga dia masih betah menyendiri.
Lalu tiba-tiba saja ada wanita muncul dalam kehidupan Gavin. Menjadi tunangannya dan bahkan yelah menikah secara diam-diam. Dan saat ini tengah mengandung anak Gavin pula.
Soraya sangat shock mendengar kenyataan itu. Dan menyesal karena lamban untuk mendekati Gavin lagi. Karena selama ini statusnya juga masih abu-abu. Dia belum resmi bercerai dengan lelaki yang telah tega menyelingkuhinya.
Soraya menyesal telah membuat keputusan nekad lima tahun lalu. Dia tergoda oleh Raihan yang dia anggap lebih dari segalanya dari Gavin. Saat itu Gavin memang belum setajir saat ini. Ketika Raihan muncul dalam kehidupannya, dia tega meninggalkan Gavin di depan altar.
Sesaat menuju ke Gereja waktu itu, dengan masih mengenakan gaun pengantinnya, Soraya malah menerima lamaran Raihan. Dia melarikan diri dan menikah di luar negeri. Tanpa peduli betapa hancur dan malunya Gavin dan keluarganya saat itu.
Ternyata kebahagiannya hanya bertahan tiga tahun. Soraya memutuskan menuntut cerai, karena memergoki suaminya berselingkuh. Dsn dia memutuskan kembali ke tanah air. Memulai kembali bisnis keluarganya.
Pernikahannya dengan Raihan tidak memberinya seorang anak. Entah karena itukah suaminya selingkuh? Yang jelas Raihan lebih memilih selingkuhannya dan kini mereka sudah memiliki sepasang anak. Sementara Soraya tidak dapat apa-apa.
"Gavin, aku tidak percaya kamu mencintai Bella. Kamu hanya ingin membalaskan sakit hatimu kan? Aku tau, kamu pasti masih mencintaiku. Aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak akan menyerah! Kamu harus kembali padaku!" teriak Soraya di kamarnya.
"Aku tidak peduli kamu telah menikah sekarang. Aku harus mendapatkan kamu bagaimanapun caranya!" tekad Soraya kalap. Hatinya benar-benar telah dibutakan oleh ambisinya. Soraya bangkit dari tempat tidurnya. Lantas menghadap cermin di depannya.
"Aku akan mencari kelemahanmu, Bella. Gavin harus menjadi milikku kembali!" seringainya menatap tajam ke bayangannya di cermin.
**
Sebelum acara jamuan makan itu selesai. Gavin membawa Bella ke rumahnya. Gavin tidak ingin Bella merasa tidak nyaman yang nantinya akan berakibat buruk pada janinnya.
Sesampainya di rumah, Bella minta izin untuk istirahat. Gavin mengikuti langkahnya hingga ke kamar Bella.
"Aku baik-baik saja," ucap Bella saat menyadari kalau Gavin mengikutinya.
"Iya, tapi aku ingin mengantarmu sampai ke kamar. Memastikan kamu tertidur." tatap Gavin.
"Tapi aku malah tidak bisa tidur kalau ditunggui," sahut Bella jujur. Dia menghindari tatapan Gavin yang lekat. Bella merasa jengah ditatap seperti itu.
"Aku hanya mau memastikan kamu sudah di atas tempat tidur. Bukan melakukan hal-hal lain."
Bella menjadi bingung dengan ucapan Gavin. Aneh saja sikapnya malam ini. Akhirnya Bella mengalah dan membiarkan Gavin memasuki kamarnya.
Seperti katanya, Gavin hendak mengantarnya tidur. Memastikannya sudah di atas tempat tidur.
"Nah, sekarang kamu tidur ya. Jangan bebani pikiranmu dengan hal-hal yang tidak perlu." Gavin menarik selimut Bella hingga ke batas lehernya.
Gavin menelan salivanya, ketika hadir keinginan untuk mencium kening Bella sebagai ucapan selamat tidur. Keinginannya itu hanya sebatas angan.
Gavin menghela nafas panjang. Hembusan nafas itu menyapu seluruh wajah Bella. Membuat Bella diliputi tanda tannya.
"E-mh, boleh aku bertanya sesuatu?" tiba-tiba Gavin teringat ucapan dokter Anwar. Tentang tanda lahir di bahu Bella.
"Bertanya soal apa?" ucap Bella keheranan.
"Kamu memiliki tanda lahir ya, di bahu sebelah kanan atas?" Bella terkejut bagaimana Gavin bisa tahu soal itu.
"Darimana kamu tahu?" selidik Bella.
"Tadi saat dokter Anwar memeriksamu, beliau bertanya apakah itu tanda lahir."
"Iya, aku memang memiliki tanda lahir. Awalnya, aku juga mengira itu memar, karena warnanya yang kebiruan."
"Oh, iya. Terimakasih." ucap Gavin canggung. "sekarang kamu tidur ya." Gavin menepuk lembut lengan Bella dan keluar dari kamarnya.
Sepeninggal Gavin, bukannya lekas memejamkan mata, benaknya malah bertanya-tanya. Sikap Gavin sangat mencurigakan. Buat apa coba dokter itu menanyakan tanda lahir di bahunya. Apakah ada hubungannya dengan dokter itu. Dan perasaan anehnya saat berhadapan dengan mereka juga, membuat Bella bingung.
"Ah, bukannya bisa tidur. Pikiranku malah kemana-mana," lenguh Bella sebal. Ditariknya selimut yang menutupi sekujur tubuhnya, hingga ke atas kepalanya. Lalu dia coba memejamkan matanya. Namun, sial! Ucapan Gavin semakin merecoki pikirannya. Menjelang tengah malam, mungkin karena lelah, Bella akhirnya tertidur.***