Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Dalam Bayanganmu
Ruang pertemuan di restoran berbintang itu terasa dingin bukan karena AC semata, tapi karena hawa tegang yang menyelubungi. Yuna duduk dengan punggung tegak, mencoba menutupi rasa gugup. Nadine, kakak tirinya, terlihat anggun dan percaya diri, meski pandangan matanya sesekali melirik Yuna dengan tatapan meremehkan.
Pintu terbuka, seorang pria paruh baya dengan kemeja sederhana namun berwibawa masuk. Rambutnya sudah mulai memutih, tetapi sorot matanya tajam dan penuh pengalaman. Di sampingnya berjalan seorang pria muda, kira-kira sebaya dengan Yuna. Wajahnya membuat Yuna tertegun sesaat.
“Pak Haris.” Nadine menyambut dengan senyum diplomatis.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu. Saya Nadine dan ini Yuna.”
Oh jadi ini anak yang di bawa oleh istrinya Indra yang sekarang. Batin Haris, seolah-olah hatinya kesal saat menatap gadis itu.
Haris mengangguk singkat, lalu matanya beralih pada Yuna. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Senang bertemu dengan pak Haris."
“Hai Yuna… Panggil saja om, kamu kan anaknya mbak Pitaloka.” Nada suaranya lembut, seolah menyinggung nama mendiang ibunya membawa kenangan tersendiri.
“Iya, Om Haris. Mami pernah mengajak saya ke rumah Om Haris, dulu.” Yuna menunduk sopan.
Haris terdiam sesaat, sebelum menepuk bahu Yuna ringan.
“Kau mirip sekali dengan mamimu. Bahkan cara menatapmu pun sama.”
Sebelum suasana jadi sentimental, pria muda di sebelahnya menyeringai lebar.
“Yuna?” Suaranya penuh antusias.
“Kamu nggak inget aku? Hangga! Kita dulu sering main bareng waktu kecil. Aku yang suka rebutan bola sama kamu di halaman rumah nenek.”
Yuna terbelalak, butuh beberapa detik untuk menghubungkan wajahnya dengan kenangan masa kecil.
“Ya ampun… Hangga?” Senyumnya merekah tanpa sadar.
“Kamu yang dulu suka sembunyiin sandal aku biar nggak bisa pulang?”
“Ketahuan, ya! Tapi waktu itu seru, kan? Akhirnya ketemu lagi setelah sekian lama.” Hangga tertawa keras, mengangkat kedua tangannya.
Nadine melirik tajam ke arah Yuna dan Hangga yang larut dalam nostalgia. Ia lalu cepat-cepat menyela.
“Baiklah, mungkin kita bisa langsung ke inti pertemuan. Soal investasi perusahaan, saya…”
Haris menghela napas, menatap keduanya bergantian.
“Betul, saya datang karena pertimbangan panjang. Jujur saja, saya sempat ingin menarik diri. Tapi mengingat mbak Pitaloka adalah sepupu istri saya, saya beri kesempatan terakhir. Saya ingin mendengar langsung, apa alasan saya harus tetap percaya pada perusahaan ini?”
Yuna menoleh pada Nadine, tapi kakak tirinya itu justru mengisyaratkan agar ia yang bicara. Entah strategi, entah jebakan. Yuna menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menjelaskan dengan suara tenang namun penuh keyakinan.
“Perusahaan kami memang sedang goyah. Tapi kami tidak berdiam diri. Kami sudah menyiapkan restrukturisasi, memperbaiki sistem laporan keuangan, dan membuka jalur pemasaran baru. Saya tahu Om Haris bukan hanya melihat angka, tapi juga orang-orang di baliknya. Dan saya… saya berjanji akan bekerja keras, sama seperti mami dulu selalu berjuang agar keluarga tidak kehilangan segalanya.”
Hening sesaat. Haris menatap Yuna lama, seakan menimbang ketulusan kata-katanya. Hangga di sampingnya tersenyum bangga, jelas terpikat dengan cara Yuna berbicara.
“Hmm...” Gumam Haris akhirnya.
“Kamu memang anak mbak Pitaloka. Tegas, tapi jujur.”
Nadine sempat mencibir pelan, meski cepat menutupinya dengan senyum kaku.
“Baiklah... Saya belum putuskan sekarang. Tapi saya akan mempertimbangkan serius. Dan mungkin… kita bisa bahas lebih jauh setelah makan malam. Bagaimana, Yuna?”
Yuna kaget mendapat ajakan pribadi itu, tapi ia tersenyum sopan.
“Dengan senang hati, Om.”
Hangga menepuk meja kecil di depannya.
“Asik! Jadi aku bisa nostalgia lebih lama sama Yuna.”
Haris menatap anaknya dengan tajam, meski Yuna keluarga tapi bisnis tetap bisnis. Seharusnya dia menjaga wibawanya sebagai calon penerus di keluarganya.
Yuna tertawa kecil, sementara Nadine tampak menahan kesal. Baginya, momen itu terasa seperti Yuna mencuri panggung, padahal ia yang seharusnya jadi pusat perhatian.
*****
Suasana makan malam itu kian hangat ketika hidangan penutup disajikan. Lilin di meja bundar memantulkan cahaya lembut di wajah masing-masing. Hangga terlihat santai, sementara Yuna berusaha menjaga sikap, meski hatinya hangat oleh kebersamaan itu. Nadine, di sisi lain, masih menahan kesal karena perannya seolah memudar.
Haris meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Yuna dengan penuh arti.
“Yuna, om minta maaf. Waktu itu om nggak bisa hadir di acara pertunangan kamu.”
Yuna sontak menoleh, sedikit kaget dengan arah pembicaraan.
“Om… Nggak apa-apa. Aku paham, mungkin Om sibuk.”
“Sibuk, iya… tapi ada alasan lain. Sebenarnya om ingin sekali datang, apalagi itu momen penting bagimu. Tapi Hangga...” Ia melirik putranya sekilas
“Dia sama sekali nggak mau ikut.” Haris menghela napas kecil.
Hangga yang sejak tadi tenang, tiba-tiba terlihat kikuk. Ia cepat-cepat meneguk air mineralnya, mencoba menutupi kegugupan.
“Papa…” Gumamnya pelan.
“Lagipula, siapa yang mau dengan rela datang ke pertunangan perempuan yang disukainya, kan?” Haris tersenyum tipis, lalu menambahkan.
Yuna tersentak, matanya melebar. Saat ingin menanggapi, ucapannya terasa tercekat, juga tak mengerti maksudnya.
“Ah, anggap saja om bercanda. Tapi anak muda ini memang keras kepala sejak kecil.” Haris tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.
Hangga hanya bisa menunduk, wajahnya memerah. Ia tidak sanggup menatap Yuna.
Yuna masih kebingungan, tidak menyadari bahwa selama ini Hangga menyimpannya diam-diam, perasaan yang bahkan tak pernah ia curigai. Ia hanya mengira semua itu sekadar gurauan orang dewasa.
Nadine, yang duduk di seberang, menatap adegan itu dengan sorot tajam. Di dalam hatinya, satu kalimat bergema keras.
Nggak cukup cuma Rizal yang membuat Yuna bersinar, sekarang muncul lagi satu laki-laki dari masa lalunya. Gerutu Nadine dalam hatinya.
Malam itu, makan malam yang semula hangat, meninggalkan benih persoalan baru. Untuk Yuna, ini hanyalah nostalgia keluarga. Namun bagi Hangga, itu adalah pengakuan yang hampir terbongkar.
*****
Setelah makan malam usai, Yuna berjalan keluar restoran dengan perasaan campur aduk. Hangat, tapi juga bingung.
Namun langkah Yuna tertahan begitu Nadine menyusul dari belakang. Wajah kakak tirinya itu memerah, matanya berkilat tajam.
“Yuna!” Nadine bersuara tegas sambil menarik lengan adiknya.
“Aduh, Kak! Sakit!” Yuna mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Nadine terlalu kuat.
“Kamu senang, ya?” Nadine menatapnya dengan tatapan penuh bara.
“Dari tadi meja makan itu isinya cuma kamu! Kamu, kamu, dan kamu lagi! Semua orang bicara tentang kamu! Bahkan pak Haris pun memuji-muji kamu seakan-akan aku ini nggak ada!” Imbuhnya.
“Aku nggak pernah maksud begitu. Aku cuma… aku hanya menjawab kalau ditanya.” Yuna terperanjat, suaranya bergetar.
“Jangan sok polos, Yun!” Nadine mencondongkan tubuh, wajahnya dekat sekali.
“Kamu selalu sok paling bisa, sok paling menguasai segalanya. Apa kamu nggak puas sudah dapat perhatian Rizal, sekarang masih juga mau yang lain?”
“Kak, kamu salah paham!” Yuna berusaha menahan tangis.
“Aku nggak pernah berniat merebut siapa pun atau apapun darimu!”
“Bohong!” Nadine mendorong bahu Yuna kasar, membuatnya hampir terhuyung.
“Semuanya selalu tentang kamu. Dari dulu, sampai sekarang. Kamu pikir aku nggak capek hidup dalam bayanganmu?”
“Nona, sudah… jangan bertengkar di sini. Banyak orang melihat...” Supri, sopir keluarga yang menunggu di depan, buru-buru mendekat.
Namun Nadine berbalik cepat, tangannya terulur.
“Kunci mobil, sekarang!”
“Tapi… Nona. Kalau terjadi apa-apa...”
“Berikan!” Bentak Nadine. Tatapannya menusuk, penuh ancaman.
Dengan terpaksa, Supri menyerahkan kunci itu. Nadine langsung menarik lengan Yuna lebih keras.
“Ayo! Kamu ikut aku sekarang!”
“Kak, lepaskan! Aku bisa jalan sendiri!” Yuna berusaha menolak, tapi tak kuasa melawan tarikan kakak tirinya.
Hingga akhirnya, Nadine menyeretnya ke mobil dengan kasar, membuka pintu dan mendorong Yuna masuk. Wajahnya penuh amarah, napasnya memburu.
“Kalau kamu pikir kamu bisa terus-terusan menang, Yun...” Nadine menatapnya dingin sebelum masuk ke kursi pengemudi.
“kamu salah besar. Aku nggak akan biarkan kamu jadi pusat dunia selamanya.”
Mesin mobil meraung, meninggalkan Supri yang berdiri pasrah di depan restoran, hanya bisa menghela napas panjang.