Pertempuran sengit di akhir musim kedua mengubah segalanya. Xander berhasil menundukkan Edward dan sekutunya, namun harga yang harus dibayar sangat mahal: darah, pengkhianatan, dan tumbangnya Evan Krest—sekutu terkuat yang selama ini menjadi sandaran kekuatannya.
Kini, di season ketiga, badai yang lebih besar mulai berhembus. Cincin takluk yang melilit jari para musuh lama hanyalah janji rapuh—di balik tunduk mereka, dendam masih menyala. Sementara itu, kekuatan asing dari luar negeri mulai bergerak, menjadikan Xander bukan hanya pewaris, tapi juga pion dalam permainan kekuasaan global yang berbahaya.
Mampukah Xander mempertahankan warisannya, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menjaga sisa-sisa kepercayaan sekutu yang tersisa? Ataukah ia justru akan tenggelam dalam lautan intrik yang tak berujung?
Pewaris Terhebat 3 menghadirkan drama yang lebih kelam, pertarungan yang lebih sengit, dan rahasia yang semakin mengejutkan.
SAKSIKAN TERUS HANYA DI PEWARIS TERHEBAT 3
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
"Aku minta maaf jika permintaanku menyulitkan Anda, Tuan Alexander. Tapi, aku tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa jika tidak pada Anda," ujar Ezra.
"Melihat kesungguhanmu sekarang, aku tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanmu, Ezra. Akan tetapi, kau harus mematuhi beberapa aturanku jika kau ingin menemui Edward. Seperti yang kau tahu, aku dan Edward memiliki hubungan yang tidak terlalu buruk beberapa tahun lalu," kata Xander.
"Aku siap melakukan syarat ataupun aturan yang Anda tetapkan, Tuan Alexander."
"Baiklah." Xander melihat amarah yang terpancar di mata Ezra. Ia tahu tidak mudah berada di posisi Ezra saat ini. Mendapatkan pengkhianatan dari orang tercinta adalah sebuah ujian yang tidak sembarang orang bisa lalui.
Di sisi lain, Xander merasa bersalah karena menyembunyikan fakta status Edgard pada Ezra selama ini. Akan tetapi, ia melakukannya bukan tanpa alasan. Ia membutuhkan sesuatu untuk mengunci Edward.
"Kapan kau akan berangkat, Ezra?" tanya Xander.
"Aku bisa berangkat secepatnya, Tuan."
"Kau akan pergi menemui Edward bersama orang-orang ku besok pagi. Aku dan bawahanku tidak akan mencampuri urusanmu dengan Edward. Kau harus menggunakan waktumu sebaik mungkin."
"Aku mengerti, Tuan. Aku akan menggunakan waktu sebaik mungkin." Ezra mengepalkan tangan erat-erat, membungkuk singkat pada Xander. Ia akan memberi pelajaran pada Edward atas kekurang ajarannya menghinanya dan keluarganya.
"Ezra." Xander menyentuh bahu Ezra yang terasa kaku dan tegang. "Berjuanglah untuk sesuatu yang kau anggap benar. Kau bisa memberitahuku jika kau membutuhkan bantuan lain."
"Tuan Alexander." Ezra terkejut, tersenyum. "Terima kasih, Tuan. Aku tidak akan melupakan kebaikan Anda."
Ezra meninggalkan ruangan, mulai menyusun apa yang akan dikatakannya pada Edward ketika bertemu. Ia tidak ingin lepas kendali sehingga bertindak di luar batas.
"Aku tahu bagaimana membuatmu hancur, Edward."
Ezra kembali ke rumah beberapa menit kemudian. Ia mengabaikan Ruby yang menyambutkan di ruang tamu.
"Aku sudah menyiapkan makan siang untukmu," ujar Ruby seraya mengikuti Ezra, menahan rasa sakit karena diabaikan sejak kemarin. Suaranya bergetar menahan tangis.
Ezra memasuki kamar, mengunci pintu rapat-rapat. Ia belum bisa melihat dan bersama dengan Ruby sekarang karena takut menyakiti wanita itu. Ia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri.
Ruby mengetuk pintu, memejamkan mata untuk menahan tangis. "Edgard sudah menunggumu sejak tadi. Bisakah kau keluar dan makan siang bersama kami?"
Ruby menangis di depan pintu kamar. Hatinya terasa sangat sakit meski ia tahu hal ini karena kebodohannya sendiri.
"Mama, kenapa kau menangis?" tanya Edgard.
Ruby seketika menyeka air mata, menarik napas panjang, memasang wajah biasa. Ia memangku Edgard, menatap anak kecil itu lekat-lekat. Tidak ada sedikitpun garis wajah Ezra di paras Edgard dan hal itu membuatnya semakin sakit.
"Kita akan makan siang sekarang." Ruby membawa Edgard ke meja makan.
Edgard menoleh pada pintu kamar. "Aku ingin mengajak ayah makan siang. Dia pasti lapar karena sejak tadi belum memakan sesuatu.
Aku tidak ingin ayah sakit.”
"Ayahmu sedang ingin beristirahat. Dia membutuhkan waktu sendiri." Ruby membawa Edgard ke meja makan.
"Apa Ibu sedang bertengkar dengan ayah? Apa semua ini karena aku?"
Edgard mulai menangis dan Ruby tidak bisa menahan air matanya lebih lama. Untuk beberapa waktu, keduanya saling berbagi tangis dan rasa sakit.
"Tidak. Ayahmu hanya kelelahan setelah seharian bekerja. Dia pasti akan baik-baik saja dan berkumpul kembali bersama kita.”
Ruby memeluk Edgard dengan erat. Ia tidak berani membayangkan jika seandainya berpisah dari Ezra dan di saat yang sama Edgard harus kehilangan figur seorang ayah.
Ruby dan Edgard makan dalam diam. Makanan lezat di hadapan mereka terasa sangat hambar.
"Kenapa kalian terlihat cemberut?" Ezra mendekati meja makan dengan wajah hangat, duduk di samping Edgard. Ada amarah yang terlukis di wajahnya saat tahu putra yang sangat dirinya sayangi itu bukan putra kandungnya. Meski begitu, ia sadar jika anak kecil itu tidak memiliki kesalahan apa pun.
"Kau harus makan dengan lahap, Edgard." Ezra mengelus punggung Edgard, mengabaikan tatapan Ruby.
Ruby bersyukur meski tidak bisa menutup kekecewaannya.
"Aku akan makan dengan lahap, Ayah."
"Ibu akan memberikanmu ayam dua." Ruby mengambil ayam bakar untuk Edgard.
"Bisakah kita bermain bola setelah ini?" tanya Edgard, "Nenek memberiku bola baru.”
"Tentu saja. Ayah akan mengalahkanmu."
"Aku tidak akan kalah."
Ruby tersenyum di tengah perasaan yang berkecamuk. Ia menangis saat melihat Ezra dan Edgard tengah bermain bola di halaman.
"Ruby, apa yang terjadi?" tanya Eze, mertuanya, "Apa Ezra menyakitimu?"
Ruby sontak tercenung, menyeka tangis. Ia merasa sangat bersalah karena sudah menyakiti keluarga Blair.
"Aku sepertinya sedang agak sensitif sehingga seringkali menangis tanpa sebab." Ruby mengelus perutnya.
"Kau harus banyak beristirahat, Ruby.”
Eze bergabung dengan Ezra dan Edgard di halaman. Sebuah pemandangan yang membahagiakan sekaligus menyakitkan untuk Ruby.
Ezra dan Ruby saling diam ketika berada di kamar. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
Ezra melirik Ruby yang tengah berbaring di ranjang. "Aku akan menemui Edward esok hari untuk menyelesaikan masalah ini."
Ruby seketika berdiri, menatap punggung tegap Ezra. "Edward sangat berbahaya. Kau tidak bisa pergi menemuinya tanpa persiapan. Kau hanya akan melukai dirimu sendiri."
Ezra seketika berbalik, menatap tajam Ruby. "Apa kau pikir aku akan diam saja dengan penghinaan darimu dan pria brengsek bernama Edward itu?"
Ruby seketika tercenung, tak sanggup menatap Ezra.
"Kau dan pria brengsek itu bukan hanya sudah menyakitiku, tapi juga menyakiti keluargaku, terutama menyakiti Edgard. Aku tidak bisa membiarkan hal ini."
"Aku mohon pikirkan lagi keputusanmu untuk bertemu Edward. Dia orang berbahaya. Aku tidak akan menyangkal kesalahanku, tapi apa yang kau lakukan sangat berbahaya."
"Jangan membuatku muak, Ruby Ashcroft. Aku tidak sebodoh yang kau pikirkan. Aku pergi bukan tanpa rencana. Aku pergi dengan bantuan Tuan Alexander."
"Alexander?”
Ezra keluar dari kamar, memilih tidur di kamar Edgard. "Kau akan tetap jadi putraku sampai kapan pun, Edgard."
Ezra pergi menemui Edward meski Ruby terus menghalanginya. Ia hanya memiliki waktu satu jam untuk bertemu dan berbincang dengan pria brengsek itu.
Ezra tiba di depan sebuah rumah, berusaha menenangkan diri. Ia melalui pemeriksaan ketat sebelum memasuki rumah.
Ezra menatap sebuah foto Edward bersama istri dan anaknya.
Sementara itu, Edward baru saja tiba di rumah. "Ada seseorang yang ingin bertemu denganku? Kenapa dia bisa memasuki rumahku tanpa seizinku?"
Edward memasuki rumah dengan terburu-buru, terdiam ketika melihat seorang pria tengah duduk di sofa. "Siapa kau dan kenapa kau bisa berada di rumahku tanpa seizinku?"
Ezra berdiri, memunggungi Edward.
"Jawab aku!" Edward berteriak, menghadap Ezra. Ia sontak terkejut ketika melihat siapa pria di depannya.
Ezra seketika memukul Edward membabi buta. "Kau harus mati sampah!”
bahkan ada keluarga yg sudah kalah tapi gak mau mengakui kekalahan.
Sungguh di luar prediksi pembaca..
Tetap semangat & sehat selalu Thorr...
livy sepupu larson