Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Mereka adalah Tuan Dion Bone, istrinya Sarah Bone, dan sang putri ketiga yang tengah berulang tahun, Patricia Bone. Patricia tampak memesona malam itu. Dengan postur tinggi menjulang dan wajah tenang yang dewasa sebelum waktunya, ia tampak seperti model sampul majalah bisnis dan fashion sekaligus.
“Selamat ulang tahun, Patricia. Kamu terlihat luar biasa malam ini,” ucap Aiden dengan senyum profesional khas kalangan elite.
“Terima kasih, Tuan Aiden,” jawab Patricia sopan, suaranya nyaring tapi lembut. Tatapannya memindai wajah Aiden sejenak, seolah ingin memastikan sesuatu.
“Aiden,” kata Dion sambil menepuk bahu Aiden dengan akrab. “Putriku ini tertarik untuk mengadakan pesta kelulusan bersama teman-temannya di Pulau Fairy milikmu. Dua bulan lagi. Apakah bisa kita booking tempatnya mulai sekarang?”
Aiden menegang. Pulau Fairy? Otaknya kosong. Itu pertama kali dia mendengar bisnis tersebut. Dia melirik ke arah Rachel dengan cepat.
Rachel mengangguk pelan, memberikan isyarat bahwa semuanya baik-baik saja. "Setujui saja," begitu maksudnya.
Aiden mengangguk dan berkata, “Tentu. Kami akan memastikan segala persiapan terbaik untuk Patricia dan teman-temannya.”
Dion tersenyum puas. “Terima kasih. Saya tahu saya bisa mengandalkan keluarga Salvador.”
Senyum mengembang di bibir Rachel. Di balik ketegangan wajahnya, tersimpan rasa bangga. Dia tahu, Aiden mulai belajar memainkan perannya. Namun di sisi lain, hatinya berdesir getir. Mungkin karena untuk pertama kalinya, Aiden mulai merasakan beratnya menjadi Rachel.
Musik mulai mengalun pelan, menggema lembut di seluruh ruangan, membentuk atmosfer elegan yang memeluk setiap tamu. Alunan nada klasik dari biola dan piano menjadi sinyal dimulainya sesi dansa malam itu. Tuan Dion Bone, dengan penuh wibawa, menggandeng putrinya Patricia ke tengah ballroom.
Gemuruh tepuk tangan menyambut mereka, menyatu dengan kilatan lampu kristal yang memantul dari gaun pesta berwarna emas yang dikenakan sang putri. Satu per satu pasangan mulai menyusul ke lantai dansa, terbawa oleh suasana meriah yang tak bisa dihindari.
Melihat momen itu, Sandra yang berdiri tak jauh dari Aiden segera melangkah, anggunnya langkah dihiasi senyum memikat.
"Aiden—" panggilnya dengan nada lembut yang menggoda.
Namun, belum sempat tangannya menjulur, Aiden justru meraih tangan Rachel dan menariknya menuju lantai dansa. Gerakan spontan itu membuat mata Sandra membelalak, seolah ditampar oleh kenyataan yang tidak dia duga. Wajahnya seketika menegang dan memerah. Rasa tak percaya menusuk dadanya.
Sementara itu, Aiden yang masih sedikit canggung, mencoba menyesuaikan langkah kakinya mengikuti irama. Rachel memandunya dengan gerakan lembut. Kedekatan tubuh mereka menciptakan bayangan yang menari di bawah cahaya lampu gantung keemasan, seolah keduanya pasangan paling serasi malam itu.
"Pulau Fairy itu seperti apa?" tanya Aiden, suaranya lirih, tapi cukup terdengar oleh Rachel di tengah hingar-bingar pesta.
Rachel menatap wajah Aiden. Senyumnya mengembang tipis, lalu menjawab, “Pulau pribadi yang dibuka untuk umum. Aku membangun beberapa resort mewah di sana, lengkap dengan tempat hiburan untuk pasangan dan keluarga. Sejenis tempat pelarian dari hiruk-pikuk kota.”
Aiden mengangguk, tapi ada semburat sedih yang tergambar jelas di wajahnya. Terlalu banyak hal yang tidak dia ketahui tentang keluarga Salvador. Hal ini membuktikan kalau dahulu Rachel memang tidak seberarti itu dalam keluarga mereka. Sehingga, banyak hal yang tidak perlu dia ketahui.
Rachel balik menatap Aiden. Kemudian dia bertanya, "Ada apa? Katakan saja."
Ada jeda hening sebelum Aiden membuka suara lagi. "Sepertinya aku belum pernah ke sana..." ucapnya lirih. Pandangannya menembus mata Rachel seolah tengah menelusuri masa lalu yang gelap.
Dalam hati, Aiden bergumam, "Rachel, kamu ini jelas bukan orang penting bagi Aiden. Buktinya, banyak hal seperti ini tidak pernah kamu ketahui, bahkan tidak pernah diajak sekalipun."
Rachel menoleh, lalu mengucapkan dengan lirih, “Kapan-kapan kita pergi ke sana ... berdua.”
Aiden yang mendengar itu sontak kaget. Langkah dansanya sempat goyah. Kalimat itu tak seperti Rachel yang ia kenal. Biasanya kalimat manis begitu justru diucapkan untuk menyakiti.
Dari kejauhan, Hillary menyaksikan keindahan dansa antara Aiden dan Rachel. Matanya tajam menusuk tubuh Rachel. Ia menggenggam gelas anggur lebih erat, hingga jemarinya memutih. Api cemburu membara di balik senyumnya yang palsu.
"Dasar wanita penggoda," batin Hillary penuh benci.
Setelah beberapa putaran dansa, Aiden dan Rachel menepi ke sofa di sisi ballroom. Napas keduanya tersengal ringan.
"Aduh, aku ingin buang air kecil," ucap Aiden, setengah meringis. Wajahnya menunjukkan rasa tak nyaman menahan sesuatu yang mendesak.
"Bukannya tadi kamu sudah ke kamar kecil?" Rachel mengerutkan kening. Selama dia menjadi Aiden, dirinya tidak beser.
"Aku kebanyakan minum jus," jawab Aiden menyeringai.
"Pergi sana! Tapi ingat, jangan masuk toilet wanita lagi. Sekarang kamu itu laki-laki!" balas Rachel tajam, mengingatkan.
Aiden mengangguk cepat. Ia masih merasa malu karena insiden di salon kecantikan sore tadi, saat tanpa sadar masuk ke toilet wanita dan menyebabkan kegaduhan yang nyaris membuatnya diusir.
Begitu Aiden pergi, Hillary mendekat seperti hiu yang mencium bau darah. Wajah dia yang awalnya penuh senyum palsu berubah menjadi topeng arogansi yang biasa ia pakai ketika hendak mengintimidasi.
“Ada apa?” tanya Rachel, tatapannya tajam dan sikapnya kaku.
Hillary menyeringai kecil. “Jangan keburu besar kepala hanya karena kamu diajak Aiden ke pesta ini. Kamu sendiri tahu kan, dia sangat membencimu.”
Rachel mengerutkan dahi. Ucapan itu menusuk seperti sembilu, meski ia tahu dirinya sekarang adalah Aiden. Tetap saja hatinya mencelos mendengar tudingan itu.
"Apa iya aku selama ini sebenci itu kepada Rachel?" gumamnya dalam hati. "Tapi, aku masih peduli kepadanya."
“Entah apa maksud Aiden mengajakmu malam ini. Tapi aku dengar, katanya dia cuma ingin menutupi skandal perselingkuhannya dengan Sandra,” bisik Hillary seperti racun. Kata-katanya menusuk yang menyesakkan dada.
Rachel menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Sejak kapan aku punya skandal dengan wanita?" batinnya penuh kekalutan.
Hillary menegakkan bahu, lalu berkata, “Seperti yang kamu tahu, Aiden itu cinta mati sama Sandra.”
Rachel menoleh perlahan. Senyum dingin tergambar samar di wajahnya. “Kata siapa?”
“Jangan bodoh jadi wanita,” tukas Hillary tajam. “Lihat sikap Aiden ke kamu selama ini. Cinta? Kasih sayang? Nggak ada! Semua orang tahu itu.” Ia menekankan kata terakhir dengan tekanan penuh, lalu tersenyum puas seakan berhasil menekan lawannya.
Rachel tak menjawab. Namun, dalam hatinya, gejolak emosi membentur keheningan malam, padahal musik masih berputar mengalun indah. Sementara hatinya terasa bergetar hebat.
Kini Rachel bukan lagi wanita yang hanya diam menerima. Ia melihat, mendengar, dan merasakan semuanya dari sudut perasaan Aiden. Lalu, untuk pertama kalinya, dia mulai memahami dan menyadari apa yang dilakukan kepada istrinya dahulu.
***
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤