Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AROMA DAPUR DAN BAYANG-BAYANG SIDANG
Udara siang yang terik berubah menjadi sore yang mulai teduh ketika Maya turun dari bus. Jemarinya masih menggenggam tas kecil berisi berkas sidang, tapi langkahnya diarahkan ke sebuah bangunan sederhana di pinggir jalan — restoran tempatnya bekerja selama hampir dua tahun terakhir.
Bangunan itu tidak besar, tapi selalu ramai. Aroma tumisan bawang putih dan kecap manis sudah menyambutnya bahkan sebelum ia membuka pintu. Dari balik kaca, terlihat meja-meja kayu yang mulai terisi pelanggan, dan di ujung, meja kasir tempat Sinta, rekan kerjanya, sedang menunduk mencatat pesanan.
Begitu Maya melangkah masuk, suara Sinta langsung terdengar.
"Eh, akhirnya datang juga. Kirain hari ini nggak masuk," celetuknya sambil menatap Maya dari balik meja kasir.
"Aku bilang sama Pak Heru masuk sore ini," jawab Maya sambil memaksakan senyum. "Nggak enak kalau absen, udah cukup banyak cuti gara-gara sidang."
Sinta mendengus kecil. "Ya ampun, kalau aku jadi kamu udah resign dari dulu. Capek banget, kerja sambil ngurus sidang."
Maya hanya tersenyum tipis, menaruh tasnya di loker kecil di belakang. Ia memang sudah hampir dua tahun bekerja di sini. Awalnya hanya untuk bertahan hidup setelah Reza meninggalkan dia dan Nayla. Restoran ini menjadi penyelamatnya — gajinya memang tidak besar, tapi cukup untuk membayar kos, makan, dan sedikit menabung untuk sekolah Nayla. Selain itu, pemiliknya, Pak Heru, orangnya baik, meski kadang cerewet.
Suara berat Pak Heru terdengar dari arah dapur.
"Maya! Cepat siap, meja tiga minta tambahan es teh. Dan tolong, itu tumpukan piring kotor sudah kayak gunung."
"Iya, Pak!" sahut Maya sambil mengambil celemek. Ia mengikat rambutnya, lalu mengambil nampan. Langkahnya lincah, meski pikirannya masih memutar kembali suara hakim dari sidang pagi tadi. Kata-kata Adrian yang tegas di ruang sidang juga belum sepenuhnya hilang dari kepalanya.
Meja tiga terisi sepasang anak muda yang sedang asyik berbicara sambil menatap layar ponsel. Maya meletakkan es teh dengan senyum sopan.
"Ini tambahannya, silakan."
"Thanks, Mbak," jawab si perempuan tanpa mengangkat wajah.
Begitu kembali ke dapur, ia disambut kepulan asap wajan dan suara dentingan logam. Chef Arman, pria bertubuh besar dengan tato di lengan, sedang sibuk membalik tumisan cah kangkung.
"Maya, nanti tolong antarin orderan meja lima. Sambalnya pedes, hati-hati tumpah," katanya sambil melempar pandang sekilas.
"Iya, Chef."
Sore itu berjalan padat. Pelanggan datang silih berganti, suara tawa dan obrolan bercampur dengan aroma masakan yang terus menguar. Namun, di sela-sela melangkah cepat, Maya merasakan getaran ponselnya di saku. Ia melirik sekilas — sebuah pesan dari nomor yang sudah hapal luar kepala.
Kamu pikir sidang tadi bisa bikin aku kalah? Tunggu aja. Aku nggak akan biarin Nayla sama kamu selamanya. – Reza.
Napas Maya tercekat. Ia menggenggam ponsel erat-erat sebelum memasukkannya kembali ke saku. Suaranya nyaris bergetar saat ia kembali ke kasir untuk mengambil pesanan berikutnya.
Sinta memperhatikan raut wajahnya. "Kenapa? Dapet pesan dari si brengsek itu lagi?"
Maya menggeleng cepat. "Nggak, cuma spam."
"Tapi mukamu langsung pucat," desak Sinta.
"Udahlah, Sin. Nggak usah bahas." Maya memaksa senyum, lalu kembali melangkah cepat. Ia tidak ingin siapa pun melihat kelemahannya di sini. Restoran ini adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa menjadi 'Maya yang kuat', bukan 'Maya yang diancam kehilangan anaknya'.
Menjelang malam, pelanggan semakin ramai. Suara Pak Heru makin keras memberi instruksi.
"Maya, meja tujuh! Dan tolong cek stok sambal, jangan sampai habis pas prime time!"
"Iya, Pak!"
Langkahnya cepat, tapi ia sempat melihat jam di dinding. Pukul 8 malam. Masih ada dua jam sebelum shift-nya selesai. Tubuhnya mulai lelah, tapi ia terus bergerak.
Di dapur, Chef Arman sempat berkomentar sambil menaruh piring berisi gurame goreng di nampan Maya.
"Kamu kelihatan nggak fokus hari ini. Banyak pikiran?"
"Sedikit, Chef."
"Sedikit? Dari tadi matamu kosong. Hati-hati, Maya, kalau pikiran lagi nggak di sini, gampang kecelakaan. Aku nggak mau ada minyak panas nyiprat gara-gara kamu melamun."
Maya hanya mengangguk. Ia tahu Arman tidak bermaksud kasar — itu bentuk perhatian.
Sekitar pukul sembilan, ada jeda singkat saat gelombang pelanggan mulai berkurang. Maya duduk sebentar di kursi dekat loker, meneguk air mineral. Sinta duduk di sebelahnya.
"Kalau boleh tahu, udah berapa lama kamu kerja di sini?" tanya Sinta sambil mengikat rambutnya yang mulai lepas.
"Hampir dua tahun," jawab Maya. "Awalnya cuma mau kerja paruh waktu, tapi malah keterusan. Restoran ini lumayan lah, Sin. Gajinya pas-pasan, tapi aku bisa atur waktu buat Nayla."
Sinta mengangguk pelan. "Terus… kalau nanti kamu menang sidang, rencananya mau tetap di sini?"
Maya menghela napas. "Entahlah. Kalau menang, aku pengen cari kerja yang jamnya lebih fleksibel. Supaya bisa lebih banyak waktu sama Nayla. Tapi ya… nggak tahu juga. Hidup nggak pernah semudah itu."
Sinta menatapnya lama, lalu menepuk pundaknya. "Kamu kuat banget, May. Aku aja nggak yakin bisa kayak kamu."
Maya tersenyum tipis, meski hatinya terasa berat. Ia tidak merasa kuat — ia hanya tidak punya pilihan.
...----------------...
Menjelang jam tutup, restoran mulai sepi. Meja-meja dibersihkan, lantai dipel pelan-pelan. Maya membantu menutup kasir, mencatat total penjualan, lalu menyimpan uang di laci. Pak Heru keluar dari dapur, membawa tasnya.
"Kerja bagus malam ini. Besok masuk sore aja, biar kamu bisa urus sidang."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Pak Heru menatapnya sebentar. "Maya, saya tahu kamu lagi berat. Tapi jangan ragu bilang kalau butuh bantuan, ya? Kita di sini kayak keluarga."
Maya menunduk, matanya sedikit basah. "Terima kasih, Pak."
...----------------...
Pukul 11 malam, Maya keluar dari restoran. Udara malam dingin, dan lampu jalan memantulkan cahaya ke aspal basah sisa hujan. Ia berjalan pelan menuju halte, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan pesan dari Reza, melainkan dari Adrian.
Besok kita mulai jam 9. Datang lebih awal, kita bahas strategi terakhir sebelum sidang dimulai.
Hanya kalimat singkat, tapi cukup membuat jantungnya berdegup cepat. Antara tegang dan… entah, ada rasa lain yang sulit ia jelaskan. Ia membalas singkat Baik, saya datang lebih awal, lalu menaruh ponselnya di saku.
Dalam perjalanan pulang, Maya memikirkan dua hal: wajah Adrian yang dingin namun misterius, dan kemungkinan skenario di pengadilan besok. Semua akan semakin memanas. Reza pasti tidak akan diam. Tapi ia tidak boleh kalah. Bukan demi dirinya, tapi demi Nayla.
Dan di tengah aroma masakan yang masih menempel di bajunya, Maya tahu satu hal: malam ini ia harus tidur nyenyak, karena besok… medan perangnya kembali dibuka.
kamu harus jujur maya sama adrian.