NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Reinkarnasi Sang Naga Semesta

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Kultivasi Modern
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."

Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.

Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.

Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.

Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Suara riuh anak-anak di taman kanak-kanak perlahan mereda di sudut tempat Han Soojin duduk. Tangannya sibuk menumpuk balok warna-warni, namun bentuknya sama sekali tak jelas. Merah di atas hijau, biru di bawah kuning, semuanya acak. Matanya sedikit merah, bekas air mata masih tersisa di sudutnya.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa sesak di dada. Aku baik-baik saja, bisiknya pada diri sendiri.

Tiba-tiba, sebuah bayangan kecil menutupi cahaya matahari di depannya. Soojin mengangkat wajah, dan yang pertama ia lihat adalah… sebuah botol yogurt rasa stroberi yang tersodor di depan hidungnya.

“Kau mau yogurt?”

Suaranya tenang, sedikit dalam untuk ukuran anak-anak. Saat Soojin menatap pemilik suara itu, ia menemukan Asterion berdiri dengan senyum tipis, memiringkan kepala seperti menunggu jawaban.

Refleks, Soojin mengerutkan kening. “Ngapain kau di sini? Sana pergi.”

Asterion tidak mundur. Ia hanya menghela napas, senyumnya berubah menjadi sedikit getir. “Pantas saja kau selalu sendirian… kau terlalu keras kepala.”

Kalimat itu seperti memantik api kecil dalam dada Soojin. “Memangnya kenapa kalau aku selalu sendirian? Lagian, aku merasa nyaman sendirian. Orang yang selalu dikelilingi banyak teman seperti kamu… apa yang kau tahu soal sendirian, hah!?”

Asterion terdiam, matanya menatap lurus ke wajah Soojin. Tidak ada kemarahan, hanya kesunyian yang entah kenapa membuat Soojin sedikit gelisah.

“Aku tahu banyak,” jawabnya pelan. “Aku sangat mengerti arti sendiri. Sepi. Sunyi. Hampa.”

Soojin tertegun. Ada sesuatu di nada suara Asterion yang membuatnya merasa… dingin, namun bukan dingin yang menusuk. Lebih seperti dingin sebuah ruangan kosong yang terlalu lama tidak ditempati.

Mata Asterion sedikit menyipit, seolah sedang melihat sesuatu yang jauh di luar taman kanak-kanak itu. Di benaknya, kilasan masa lalunya sebagai naga semesta kembali muncul.

Ia teringat pada saat-saat setelah kepergian Revenant, sang penciptanya. Kosmos terasa lebih luas dari biasanya, namun bukan luas yang menyenangkan—luas yang menelan. Ia melayang sendirian di antara bintang-bintang yang membisu, menjaga keseimbangan semesta selama ribuan tahun tanpa ada yang diajak bicara, tanpa suara lain selain gema pikirannya sendiri. Tidak ada tawa. Tidak ada cerita. Hanya sunyi.

Kembali ke saat ini, Asterion menatap Soojin lagi. “Sendiri itu… menyedihkan,” ucapnya, dengan suara yang begitu tulus hingga terdengar seperti pengakuan. “Aku tahu kau selalu berusaha terlihat cuek, berpura-pura tidak peduli. Tapi aku juga tahu kau selalu melihat anak-anak lain yang bermain bersama, tertawa, saling mengejar. Kau hanya ingin… dipahami.”

Soojin tidak langsung menjawab. Tangannya berhenti menyentuh balok. Ada perasaan aneh di dadanya—campuran hangat dan perih.

Asterion mengangkat sedikit sudut bibirnya. “Dan aku… sepertinya sedikit memahamimu.”

Soojin menunduk, berusaha menghilangkan tatapan yang mulai menusuk pertahanannya.

Tiba-tiba, Asterion berkata dengan nada yang sedikit berbeda, seperti sengaja mengalihkan suasana, “Kau tahu? Saat pertarungan melawan Nebula… Moon Seok Hyun—kakekmu—itu sangat hebat dan keren.”

Soojin langsung menoleh, matanya membesar. “Apa?”

“Serangan terakhirnya,” lanjut Asterion sambil menggerakkan tangan, menggambarkan gerakan yang megah. “Itu membuat Nebula terbang ke langit dan meledak. Pemandangan itu… luar biasa. Waktu itu aku melihat semua orang terkejut, bahkan para Stellaris tingkat tinggi. Dan itu… membuat kakekmu jadi penyelamat dunia.”

Ada jeda. Mata Soojin perlahan berbinar. “Kau… kau benar-benar berpikir seperti itu?”

Asterion mengangguk. “Ya. Aku tidak bohong. Waktu itu… keren sekali.”

Senyum tipis muncul di wajah Soojin, senyum yang jarang terlihat. Namun, seolah sadar ia telah keluar dari ‘karakternya’ yang biasanya dingin, ia buru-buru mengalihkan wajah, kembali memasang ekspresi cuek. Sedikit merah merayap di pipinya.

Asterion tertawa kecil melihatnya. “Mau yogurt rasa blueberry? Atau stroberi?” Ia mengangkat dua botol yogurt di kedua tangannya.

Soojin menggeleng cepat. “Tidak.”

“Oh, oke.” Asterion langsung membuka yogurt blueberry dan meminumnya dengan ekspresi menikmati yang berlebihan, seperti sengaja membuat suara slurp pelan-pelan.

Soojin mencuri pandang sekali… dua kali… lalu memalingkan wajah sambil berkata pelan, “…boleh aku coba yang stroberi?”

Asterion menahan senyum. “Tentu saja.” Ia menyerahkan yogurt itu dengan santai.

Soojin menerimanya tanpa menatap langsung, pura-pura tidak terlalu peduli. Tapi begitu tegukan pertama menyentuh lidahnya, ia menutup mata sebentar—rasa manis dingin itu seperti menghapus sisa getir di hatinya.

Asterion hanya menatap, sedikit geli. 'Anak kecil memang begitu… marahnya cepat, luluhnya juga cepat.'

Markas Organisasi Pemburu Bintang – Malam Hari

Hujan tipis membasahi jendela besar di ruang pertemuan lantai atas. Lampu redup menyinari meja panjang penuh berkas misi yang menumpuk, sebagian masih terikat, sebagian dibiarkan terbuka seperti menunggu tangan yang tak pernah sempat membacanya.

Di ujung meja, seorang pria berambut perak dengan mata tajam duduk sambil menekan pelipisnya. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya menyala—campuran frustrasi dan kemarahan yang ia tahan-tahan.

“Sialan…” gumamnya, nada suaranya berat seperti batu. “Kita sudah lama tidak menerima permintaan dari klien besar. Semua karena kejadian-kejadian tak terduga itu. Kemunculan monster aneh bernama Nebula… benar-benar menakutkan!”

Ia meninju meja, membuat cangkir kopi setengah kosong di depannya bergetar. “Bajingan! Bagaimana aku bisa menjalankan bisnis kalau terus begini!? Aku bahkan kehilangan dua orang akibat kejadian itu…”

Beberapa orang di ruangan itu saling pandang. Suasana terasa menekan, seperti setiap kata dari sang ketua bisa memicu badai.

Namun, dari sudut ruangan, seorang pria bertopeng badut tersenyum tipis. “Ketua… anda terlalu banyak berpikir.”

Ketua itu menoleh dengan tatapan tajam. “Apa maksudmu?”

Pria itu maju, langkahnya tenang namun penuh percaya diri. “Bukankah ini justru kesempatan kita… untuk memanfaatkan kekacauan ini?”

Salah satu petinggi lain mengerutkan kening. “Kesempatan? Kekacauan seperti ini justru berbahaya. Jangan bicara sembrono.”

Namun, pria bertopeng badut itu hanya tersenyum sinis. “Berbahaya bagi yang takut mengambil risiko. Tapi bagi kita… ini emas. Pilar militer Stellaris sedang tidak kondusif setelah perang melawan Nebula. Banyak jenderal yang terluka, dan para petinggi masih dalam proses pemulihan. Terlebih lagi…” ia berhenti sejenak, menatap semua orang dengan tatapan penuh arti.

“…si Moon Seok Hyun sedang tak sadarkan diri.”

Suara itu seperti memecahkan udara di ruangan. Beberapa orang terkejut, sebagian malah terdiam, menyadari bobot informasi itu.

Ketua itu menyandarkan punggungnya, mengusap dagu. Matanya mulai menyipit, bukan lagi dipenuhi frustrasi, tapi… sesuatu yang lain. “Kau… benar.”

Keheningan menyelimuti ruangan.

“Ini… kesempatan sekali seumur hidup,” lanjut sang ketua, kini dengan nada lebih dingin. “Jika tidak sekarang, kapan lagi?”

Pria itu tersenyum puas. “Tepat sekali.”

Ketua itu berdiri, tubuhnya tegap meski sebelumnya tampak lelah. “Cepat. Hubungi orang itu. Aku yakin… dia sudah tidak sabar menguasai semuanya.”

Salah satu bawahan ragu. “Ketua… anda yakin kita bisa mempercayainya? Orang itu… reputasinya—”

“Justru reputasinya yang kita butuhkan,” potong sang ketua dengan suara tegas. “Dunia ini hanya akan bergerak oleh orang-orang yang berani mengotori tangannya. Dan orang itu… sangat ahli dalam hal itu.”

Semua orang terdiam. Suara hujan di luar terasa semakin keras.

Ketua itu menatap mereka satu per satu, seakan memastikan semua yang hadir mengerti beratnya keputusan ini. “Siapkan anggota-anggota terbaikmu. Tahun ini… sepertinya akan ada pergantian penguasa.”

Tatapan mereka berubah—yang awalnya ragu, kini menyala dengan ambisi yang mulai terbakar.

Namun, tepat sebelum mereka bubar, pria bertopeng badut itu menambahkan dengan nada misterius, “Tapi ingat… dalam permainan ini, tidak semua pion sadar bahwa mereka hanyalah pion. Kadang… raja pun bisa jadi korban.”

Ketua itu hanya tersenyum tipis. “Maka dari itu… kita pastikan kitalah yang jadi pemainnya.”

1
Candra Fadillah
hahahahahaha, naga semesta yang perkasa di cubit oleh seorang wanita
Unknown
keren kak, semangat teruss
RDXA: siap terimakasih atas dukungannya /Determined/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!