'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'
---
Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.
Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."
Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.
Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.
Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16: Bisikan Kebajikan di Tengah Sunyi - Arib dan Benih Baru
--- Keheningan yang Menggema
Dunia telah hening—sebuah keheningan yang tidak pernah Raka bayangkan sebelumnya. Bukan seperti kesunyian malam di hutan atau ketenangan danau di fajar, melainkan keheningan yang begitu dalam hingga seakan-akan planet ini telah berhenti bernapas. Setelah gelombang kiamat yang menyapu benua asia, afrika, amerika utara, amerika selatan, eropa, australia, miliaran jiwa telah musnah, dan tatanan peradaban manusia telah runtuh sepenuhnya.
Para pemimpin yang bersembunyi di bunker-bunker pun kini telah bertemu nasib mereka, ditelan oleh bumi yang tidak sudi ada parasit tersisa.
Dari ketinggian tiga puluh lima ribu meter, Raka melayang bersama Eva, memandang ke bawah pada kanvas kehancuran yang telah mereka lukis. Kota-kota besar kini tak lebih dari kuburan-kuburan yang menganga, diselimuti kabut tipis yang terbentuk dari debu, abu, dan partikel-partikel yang masih mengapung di udara. Jakarta, yang dulunya berdenyut dengan kemacetan dan hiruk-pikuk jutaan manusia, kini hanyalah hamparan puing beton yang retak-retak, dengan sisa-sisa gedung pencakar langit yang menjulang seperti gigi patah raksasa.
Namun, alam telah mulai merebut kembali wilayahnya. Lumut hijau zamrud merayap di dinding-dinding beton yang hancur, merambat naik seperti jari-jari kehidupan yang perlahan menghapus jejak manusia. Tanaman liar bermekaran di celah-celah jalan aspal yang terbelah, sementara air hujan yang tidak lagi tercemari industri mengalir jernih di antara reruntuhan, membentuk sungai-sungai kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari.
Raka menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap sisa-sisa kehidupan. Yang ia dengar bukanlah lagi jeritan kepanikan atau dengungan mesin-mesin industri yang dulu tak pernah berhenti. Sebaliknya, suara-suara baru mengisi kekosongan itu: gemuruh ombak yang menghantam pantai-pantai yang kini tak berpenghuni, desiran angin yang melalui pepohonan yang mulai tumbuh kembali di antara reruntuhan, dan sesekali—seperti keajaiban kecil—kicauan burung yang kembali berkicau di lanskap yang sunyi.
Anehnya, keheningan ini tidak memberikan kepuasan total yang selama ini ia duga. Selama berbulan-bulan, suara jeritan, kepanikan, dan amarah telah menjadi simfoni pengiring tindakannya. Setiap ledakan, setiap keruntuhan, setiap erangan terakhir korban-korbannya telah menjadi konfirmasi bahwa misinya berjalan sesuai rencana. Namun kini, tanpa musik kematian itu, sebuah kekosongan aneh mengisi dadanya—sebuah ruang hampa yang tidak dapat ia isi dengan logika atau pembenaran.
Bisikan Bumi di benaknya kini terdengar berbeda. Bukan lagi raungan kemarahan atau teriakan perintah, melainkan desahan lega yang mendalam, seperti napas panjang setelah sakit yang berkepanjangan. *Kau telah membersihkanku, anakku. Parasit-parasit itu telah tiada. Sekarang aku dapat bernapas lagi.*
Tapi di antara kepuasan Bumi itu, ada sesuatu yang menggelitik kesadaran Raka—sebuah keraguan kecil yang tidak seharusnya ada.
--- Perjalanan Menuju Oasis
"Lihatlah, Raka," bisik Eva, suaranya tenang seperti air danau di pagi hari. Ada kepuasan yang mendalam di matanya, namun kini bercampur dengan sesuatu yang menyerupai kelembutan yang nyaris tak terdeteksi. "Ini adalah hasil karyamu. Bumi telah bernapas lega. Keseimbangan telah kembali."
Raka menatap ke bawah, merasakan Bumi yang kini lebih tenang, namun dalam ketenangan itu ada kehampaan yang tak dapat ia pahami. "benua asia, afrika, amerika utara, amerika selatan, eropa, australia" ia menyebutkan semua benua yang telah ia lenyapkan. "Semuanya hancur. Hampir semua manusia..."
"Hampir," Eva memotong, suaranya mengandung makna ganda yang dalam. "Bumi tidak pernah menginginkan pemusnahan total, Raka. Hanya pemurnian. Penghapusan mereka yang merusak, agar mereka yang selaras dapat melanjutkan."
Eva mengulurkan tangannya, dan sebuah titik kecil di Samudra Pasifik, ribuan kilometer di timur Australia, mulai bersinar di peta holografis di hadapan mereka. Cahaya itu berkilauan seperti permata yang terisolasi di tengah kegelapan samudra. "Arib. Di sanalah benih-benih baru Bumi telah menanti. Mereka yang selamat dari kehancuran ini, bukan karena kebetulan, melainkan karena takdir."
Perjalanan menuju Arib dilakukan dalam keheningan yang penuh antisipasi. Jet pribadi Eva bergerak seperti siluet di antara bintang-bintang, mesin-mesinnya beroperasi tanpa suara, seolah-olah bahkan teknologi pun telah belajar untuk tidak mengganggu ketenangan dunia yang baru lahir. Di dalam kabin yang mewah, Raka menatap keluar jendela, mengamati samudra yang membentang tak terbatas di bawah mereka.
"Setelah kehancuran, selalu ada kelahiran kembali," Eva berkata pelan, matanya menatap ke kejauhan. "Bumi telah mengajarkan siklus ini sejak milyaran tahun lalu. Kepunahan massal diikuti oleh ledakan kehidupan baru. Kau adalah agen kepunahan, Raka. Sekarang saatnya untuk menyaksikan kelahiran kembali."
Kata-kata Eva mengalir seperti madu yang diracuni, manis namun mengandung sesuatu yang lebih dalam. Raka mengangguk, namun perasaan aneh di dadanya tidak kunjung hilang. Ini seharusnya menjadi saat kemenangan absolut, namun mengapa ia merasakan sesuatu yang kosong?
Ketika mereka mendekati titik cahaya itu, Raka dapat melihatnya—sebuah gugusan pulau vulkanik yang diselimuti vegetasi subur, dikelilingi oleh air laut yang biru jernih seperti kristal. Tidak ada tanda-tanda kota besar, tidak ada asap industri yang mengotori langit, hanya pemukiman-pemukiman kecil yang sederhana, menyatu dengan kontur alami pulau-pulau itu.
--- Arib: Surga yang Tersembunyi
Mereka mendarat di sebuah landasan tersembunyi yang diukir natural di pulau terbesar, tersembunyi di antara tebing-tebing vulkanik yang dipenuhi tanaman merambat. Udara Arib menyerang indera Raka seperti kejutan yang menyenangkan—bersih, segar, beraroma garam laut yang bercampur dengan bunga-bunga tropis yang mekar sepanjang tahun. Ini adalah tempat yang, entah bagaimana, telah luput dari murka global yang melanda seluruh planet.
Eva membimbing Raka menyusuri jalan setapak yang ditutupi lumut hijau zamrud, menuju sebuah pemukiman di lembah yang dikelilingi oleh tebing-tebing alami. Pohon-pohon kelapa dan pohon buah-buahan lokal mengayunkan cabang-cabang mereka di angin laut yang sejuk, menciptakan kanopi hijau yang menyaring cahaya matahari menjadi semburat emas yang hangat.
Bangunan-bangunan di sana terbuat dari kayu dan batu alami, arsitektur yang mengikuti kontur alam ketimbang memaksakan bentuk geometris modern. Atap-atap rumah tertutup ilalang dan daun kelapa yang dianyam, sementara dinding-dinding kayu yang dipoles halus memancarkan kehangatan alami. Tidak ada listrik modern, tidak ada mobil, hanya obor-obor yang menerangi jalan setapak dan suara tawa samar dari kejauhan—suara yang begitu asing bagi telinga Raka yang sudah terbiasa dengan jeritan.
"Ini adalah Arib," bisik Eva, suaranya bergetar dengan emosi yang sulit diidentifikasi. "Mereka adalah sisa-sisa kemanusiaan. Mereka yang hidup selaras dengan Bumi, tanpa mengurasnya, tanpa merusaknya. Mereka adalah cerminan dari potensi sejati manusia yang telah lama hilang di dunia yang hancur."
Raka menatap dengan mata yang tajam, indera-indera supernya menangkap setiap detail kehidupan di pemukiman kecil ini. Orang-orang di sana bukan seperti yang ia temui di Jakarta, atau para penguasa yang ia hancurkan. Mereka adalah orang-orang sederhana, mengenakan pakaian dari serat alami yang ditenun tangan, mata mereka memancarkan ketenangan dan kedamaian yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Yang pertama menarik perhatiannya adalah sebuah keluarga kecil yang sedang berbagi makanan di sebuah meja kayu yang diasah halus. Seorang ayah yang berkulit sawo matang sedang mengukir ukiran kayu kecil—sebuah burung kecil yang detail dan indah—sementara seorang ibu menenun kain dengan pola-pola tradisional yang rumit. Dan seorang anak perempuan kecil, tidak lebih dari enam tahun, sedang tertawa riang sambil bermain dengan seekor anjing kecil yang berbulu kecokelatan.
Tawa si anak itu—murni, tanpa cela, tanpa noda—menghantam Raka seperti pukulan yang tak terduga. Suara itu mengingatkannya pada sesuatu yang samar-samar dari masa kecilnya, sebelum penderitaan mengeras hatinya menjadi batu. Sebelum Bumi berbisik kepadanya tentang kebencian dan kehancuran.
Raka mengamati lebih lanjut, dan setiap adegan yang ia saksikan semakin mengoyak logika yang telah ia bangun selama ini. Sekelompok pria dewasa sedang membantu seorang wanita tua membangun kembali atap rumahnya yang rusak karena badai kecil. Mereka bekerja tanpa pamrih, saling membantu, tidak meminta imbalan apa pun. Tangan-tangan mereka bergerak dengan ritme yang harmonis, berbagi alat, berbagi beban, berbagi tawa kecil ketika seseorang membuat kesalahan yang tidak berbahaya.
Ada seorang pemuda yang dengan sabar membantu seorang lanjut usia menyeberangi sungai kecil yang mengalir di tengah desa, menuntun langkah-langkah lemah si kakek dengan kelembutan yang tulus. Ada sekelompok anak-anak yang berbagi mainan sederhana—boneka kayu dan batu-batu berwarna yang mereka kumpulkan dari pantai—tanpa pertengkaran, tanpa keegoisan.
Yang paling mengejutkan adalah saat Raka melihat seorang gadis remaja yang dengan lembut merawat seekor burung kecil yang terluka. Gadis itu menggunakan ramuan dari tumbuhan lokal, tangannya bergerak dengan keahlian yang datang dari generasi pengetahuan tradisional. Ketika burung itu akhirnya dapat terbang kembali, senyum yang terpancar dari wajah gadis itu begitu tulus hingga membuat sesuatu di dalam dada Raka terasa seperti terbakar.
Mata Raka, yang telah dilatih untuk mendeteksi kebohongan dan manipulasi, tidak menemukan sedikitpun kepalsuan dalam tindakan-tindakan ini. Tidak ada motif tersembunyi, tidak ada agenda politik, tidak ada keserakahan atau kebencian. Yang ada hanyalah kebaikan yang murni, kesederhanaan yang tulus, cinta yang mengalir natural seperti air sungai.
Jantung Raka, yang telah berdenyut dingin seperti mesin selama berbulan-bulan, kini merasakan sensasi yang asing—seperti percikan api yang sangat kecil, namun cukup untuk menghangatkan es yang telah membeku di dadanya. Sebuah "hati nurani" yang telah lama terkubur paksa mulai muncul kembali, bukan sebagai suara, tetapi sebagai sensasi fisik yang membingungkan.
Ini adalah gangguan pada program emosinya, sebuah bug yang tidak Eva masukkan—atau mungkin memang sengaja dimasukkan sebagai bagian dari rencana yang lebih besar?
Raka merasakan disonansi kognitif yang menyakitkan. Setiap tindakan kebaikan yang ia saksikan bertentangan dengan setiap ajaran Bumi yang telah ia terima. Setiap senyum tulus yang ia lihat menggugat setiap pembenaran yang telah ia bangun untuk kehancuran massal yang ia lakukan. Setiap momen kedamaian yang ia saksikan meneriakkan pertanyaan yang menggema di kepalanya: *Jika kebaikan seperti ini masih ada, apakah kehancuran yang kau lakukan benar-benar diperlukan?*
Raka menoleh ke Eva, matanya mencari jawaban, mencari penegasan yang akan menghilangkan keraguan yang mulai merayap di hatinya. "Mereka... mereka tidak seperti yang lain."
Eva tersenyum, dan senyumnya kini lebih tulus dari sebelumnya, namun di mata hitam pekatnya yang seperti obsidian, ada kilatan kepuasan yang tersembunyi—kepuasan seorang dalang yang melihat bonekanya bergerak persis seperti yang diinginkan. "Mereka adalah benih, Raka," Eva berbisik, suaranya seperti melodi yang menenangkan namun mengandung racun yang halus. "Mereka adalah masa depan Bumi. Mereka adalah bukti bahwa tidak semua manusia busuk. Tugasmu adalah membersihkan yang busuk, agar yang baik dapat berkembang."
Eva melangkah lebih dekat, menyentuh lengan Raka dengan jari-jari yang dingin seperti porselen. "Bukan yang terkuat atau terpintar yang selamat dari kehancuran, tetapi yang paling selaras dengan kehendak Bumi. Mereka adalah cerminan dari potensi sejati manusia yang telah lama hilang. Kebaikan yang kau saksikan ini adalah bukti bahwa keadilan Bumi telah ditegakkan."
Sentuhannya dingin, namun entah mengapa Raka merasakan kehangatan aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebuah kehangatan yang menenangkan, yang seolah-olah mengonfirmasi bahwa perasaan aneh yang ia rasakan adalah bagian natural dari proses ini.
"Lihatlah bagaimana mereka hidup," Eva melanjutkan, suaranya semakin lembut. "Mereka tidak membakar hutan untuk profit. Mereka tidak mencemari air untuk industri. Mereka tidak berperang untuk kekuasaan. Mereka hidup selaras dengan ritme Bumi. Inilah yang Bumi inginkan—bukan kepunahan total, tetapi pembersihan yang memberi jalan bagi yang suci."
Bisikan Bumi di benak Raka kini bercampur dengan suara-suara lembut yang baru. Bukan lagi raungan kemarahan atau teriakan perintah, melainkan desahan lega yang mendalam, dan janji tentang masa depan yang damai.
*Kau telah menyelesaikan tugasmu, anakku. Kau telah menunaikan keadilan. Sekarang, saksikanlah hasil karyamu. Lihatlah bagaimana keseimbangan telah kembali. Lihatlah bagaimana cinta dapat tumbuh ketika kebencian telah dibersihkan.*
Namun di antara bisikan-bisikan itu, ada sesuatu yang terasa berbeda. Suara Bumi kini terdengar lebih... lembut. Lebih seperti suara Eva ketimbang raungan primitif yang selama ini ia dengar. Apakah ini evolusi natural dari hubungannya dengan Bumi, atau ada sesuatu yang berubah?
Raka menatap kembali para penyintas, dan setiap detail yang ia amati semakin memperdalam pergulatan batinnya. Sebuah keluarga sedang berdoa di tepi pantai saat matahari terbenam, menyanyikan lagu-lagu tradisional dengan suara yang harmonis. Mereka tidak berdoa kepada tuhan manapun yang Raka kenal, melainkan kepada alam, kepada Bumi itu sendiri, dengan rasa syukur yang mendalam untuk setiap hari yang mereka jalani.
Anak-anak bermain di pasir pantai, membangun istana-istana kecil yang akan dihancurkan ombak namun mereka bangun lagi dengan tawa. Orang-orang dewasa berbagi cerita di sekitar api unggun, mata mereka bersinar dengan kebijaksanaan yang datang dari hidup sederhana namun bermakna.
Raka merasakan kebingungan yang mendalam. Kebenciannya yang membara selama ini telah mereda, digantikan oleh emosi-emosi yang tidak ia kenali. Hatinya terasa berat, namun juga... tersentuh. Ia telah menjadi malaikat kematian, membawa kiamat ke seluruh dunia. Tapi mengapa, di ujung perjalanan ini, ia justru menemukan sisa-sisa kebaikan yang begitu murni?
Sebuah pertanyaan berbahaya mulai merayap di benaknya: *Jika kebaikan seperti ini sudah ada sebelum kehancuran, apakah kehancuran itu memang diperlukan? Atau apakah ada cara lain untuk mencapai keseimbangan?*
Namun setiap kali pertanyaan itu muncul, suara Eva atau bisikan Bumi segera menenangkannya, mengonfirmasi bahwa apa yang ia rasakan adalah bagian natural dari proses pembersihan. Bahwa kebaikan ini hanya bisa tumbuh subur setelah kejahatan dihapus.
Eva mengamati setiap perubahan ekspresi di wajah Raka dengan mata yang tajam, seperti seorang ilmuwan yang mengamati eksperimen yang berjalan sempurna. Setiap emosi yang muncul di mata Raka, setiap kerutan keraguan di dahinya, setiap tarikan napas yang mengandung kebingungan—semua itu adalah bagian dari skenario yang telah ia susun dengan cermat.
--- Malam yang Penuh Keraguan
Malam turun di Arib, membawa bintang-bintang yang berkilauan di langit yang kini bebas dari polusi cahaya kota-kota besar. Hamparan galaksi yang terhampar luas di atas kepala mereka adalah pemandangan yang tidak pernah dilihat oleh miliaran manusia yang telah musnah—sebuah keindahan yang hanya bisa dinikmati setelah kegelapan buatan manusia dihapus.
Di antara pohon-pohon kelapa dan pondok-pondok sederhana, cahaya api unggun menari, menerangi wajah-wajah para penyintas yang damai. Suara-suara lembut percakapan, tawa kecil anak-anak, dan lagu-lagu tradisional yang dinyanyikan pelan mengisi malam yang tenang.
Raka duduk di tepi pantai, mengamati ombak yang menghantam dengan ritme yang menenangkan, sementara Eva duduk di sampingnya, tenang seperti patung yang hidup. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raka merasa bingung—tidak bingung secara taktis atau strategis, tetapi bingung secara eksistensial.
Misinya telah selesai, namun ia tidak merasakan kepuasan total yang ia duga. Ia telah memusnahkan miliaran jiwa, namun ia menemukan bahwa kebaikan, dalam bentuknya yang paling murni, masih ada. Dan kini, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan emosi-emosi baru yang mulai muncul dalam dirinya.
Di kejauhan, seorang ibu menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anaknya, suaranya yang lembut terbawa angin malam. Lagu itu tidak dalam bahasa yang Raka kenali, namun melodinya mengandung cinta universal yang melampaui kata-kata.
Dan untuk pertama kalinya, Raka merasakan sesuatu yang aneh di matanya—sesuatu yang hangat dan asin yang mengalir perlahan di pipinya. Air mata pertama yang ia keluarkan sejak ia menjadi instrumen kehancuran Bumi.
Eva mengamati air mata itu dengan kepuasan yang tersembunyi, senyum tipis di bibirnya yang dingin. Segalanya berjalan sesuai rencana.
Akhir babak 2