NovelToon NovelToon
Naugthy My Prince

Naugthy My Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Bad Boy / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.

Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.

Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.

bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Harga yang harus di bayar.

Suara hujan malam turun seperti bisikan rahasia di atap apartemen. Dalam kamar tanpa nama itu, Arkan duduk bersila di lantai, dikelilingi oleh ribuan potongan-potongan Margaret—foto, rekaman suara, coretan wajahnya dalam bentuk sketsa. Semua menatap balik ke arahnya.

Tatapannya kosong, namun jarinya bergerak pelan. Mengambil foto terbaru—Margaret dengan Prince di taman rumah sakit, tangan saling menggenggam, wajah bahagia… wajah yang bukan untuk Arkan.

Pelipisnya berdenyut.

Ia menunduk. Napasnya berat. Jemarinya menyentuh layar monitor besar—memperbesar cuplikan Prince mencium kening Margaret di kursi taman tadi siang.

Tak ada suara, tapi dunia Arkan riuh oleh dentuman amarah.

“Gue nemuin lo dulu…”

“Gue yang dulu lo buat senyum…”

“Tapi sekarang… semua senyum lo, bukan buat gue.”

Pikirannya terusik.

Lalu matanya beralih ke layar sebelah. CCTV sekolah. Seorang siswa yang pernah mengintimidasi Margaret kini terlihat berjalan di lorong sendirian.

Arkan menggigit bibirnya. Hatinya membara. Lalu mengambil earphone dari saku dan menyambungkannya ke sistem audio kecil. Dari dalam rekaman-rekaman suara, ia memilih satu:

Suara Margaret kecil.

“Kalau kamu terus diam, kamu akan jadi angin. Nggak kelihatan, nggak diinget. Tapi aku mau inget kamu.”

Arkan menutup mata. Air mata jatuh. Tapi bukan tangisan biasa. Ini adalah air mata kehilangan yang menolak mengaku kalah.

Keesokan Harinya

Berita baru menyebar di sekolah. Salah satu siswa—yang dikenal dekat dengan mantan-mantan pengganggu Margaret—ditemukan tidak sadarkan diri di dekat gerbang sekolah. Tubuhnya penuh luka lebam. Lidahnya terluka, seolah ditahan dari berteriak. Di dadanya… terdapat simbol aneh, terbakar ke kulitnya.

Margaret mendengar kabar itu dari Karin, dan tubuhnya langsung kaku. Matanya gelisah. Ia tak ingin mengaitkan semuanya. Tapi hatinya mulai panik. Semua ini terlalu… kebetulan.

Dan di antara kerumunan siswa yang mulai heboh, satu sosok berdiri diam. Arkan.

Ia bersandar ke dinding lorong, tangan di saku, wajah tenang.

Pikiran Margaret langsung tertuju ke Arkan, ia merasa seperti melihat kabut. Tak bisa membaca wajah itu. Tak bisa menerka apa yang disimpan di balik tatapan itu.

Dan seketika, ia merasa dingin menjalar dari tulang belakang.

Malamnya, di apartemen

Arkan menatap tangannya sendiri—berdarah. Tapi bukan karena orang lain.

Karena dia menyayat dirinya sendiri.

Luka kecil di dadanya… sama bentuknya dengan simbol yang ditemukan di korban pagi tadi. Ukiran yang ia buat sendiri. Karena di matanya, sakit adalah bentuk persembahan.

“Gue bayar semua ini, biar lo tetap aman.”

“Biar mereka semua pergi, dan lo gak pernah ninggalin gue lagi.”

Arkan bersandar di dinding. Napasnya berat. Di layar CCTV rumah sakit, Margaret sedang duduk membaca buku, wajahnya pucat, tapi damai.

“Margaret…,” bisiknya lemah.

“Gue gak tahu ini cinta, atau obsesi.”

“Tapi ini satu-satunya cara gue buat tetap hidup.”

Dan ia tahu…

Harga yang harus dibayar, mungkin bukan cuma darah orang lain. Tapi jiwanya sendiri.

___________________

Pagi itu dimulai biasa saja. Langit Jakarta mendung, aroma tanah basah masih tercium dari jendela kamar rawat inap Margaret. Prince datang lebih awal, membawa roti panggang dan susu hangat seperti biasa, sementara Margaret duduk di tepi ranjang, mengenakan hoodie abu-abu dan celana hangat.

“Kulit lo makin pucat, Yang,” ucap Prince, mencoba terdengar santai, meski ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.

Margaret hanya tersenyum. “Cahaya pagi ini yang bikin gue kelihatan glowing.”

Prince tertawa kecil. Tapi hatinya mencatat satu hal: tangan Margaret… dingin. Lebih dingin dari biasanya.

Siang hari.

Karin datang membawa buku gambar dan cemilan. Margaret tampak ceria, duduk di kursi roda, menggambar bunga dengan tangan gemetar. Tapi saat Karin kembali dari kamar mandi, ia menemukan Margaret terdiam, kepala tertunduk.

“MARGARET!”

Buku gambar jatuh ke lantai. Napas Margaret pendek, matanya kosong sesaat sebelum akhirnya terpejam. Tubuhnya lunglai, menggigil hebat.

Karin panik. “SUSTER!! PRINCE!!!”

Tak butuh waktu lama, suara alarm medis terdengar. Para suster dan dokter datang berlari, tubuh Margaret segera dibaringkan kembali, selang oksigen dipasang tergesa-gesa.

Prince berlari masuk dan nyaris menerobos barikade dokter.

“YANG?! Margaret! Buka mata lo!!” Suaranya bergetar.

Salah satu dokter menahan bahunya. “Tolong jangan ganggu dulu. Kami butuh ruang!”

Beberapa Jam Kemudian

Margaret masih belum sadarkan diri. Alat bantu napas dipasang. Selang infus kini bertambah dua. Monitor di samping tempat tidur terus mengeluarkan suara pelan… nyaris seperti detak waktu yang sedang menipis.

Prince duduk di lantai, punggungnya bersandar ke dinding, wajahnya penuh kecemasan. Matanya merah, tak berkedip menatap tubuh gadis yang ia cintai.

Karin hanya bisa menangis pelan di sudut ruangan.

Tak ada yang bicara.

Sampai akhirnya, dokter keluar dari ruangan dan memanggil keluarga terdekat. Wajahnya serius, mata lelah.

“Kondisinya… mengalami penurunan tajam. Kanker di tubuhnya menyebar lebih cepat dari yang kami perkirakan. Paru-parunya mulai tidak merespons sempurna. Kami… akan berusaha semampu kami.”

Dunia Prince runtuh. Ia terduduk lemas, menatap kosong ke arah pintu kamar.

Di tempat lain

Arkan berdiri di atap apartemennya. Hujan mulai turun, membasahi rambut dan jaketnya. Matanya menatap ke arah langit yang kelam.

Tangannya menggenggam erat liontin kecil.

Liontin itu… berisi helaian rambut Margaret yang dulu diam-diam ia simpan.

Ia menutup mata, bibirnya bergetar.

“Bukan sekarang…”

“Jangan sekarang…”

Suara angin seolah menjawab, tapi tetap sunyi.

Dan di saat langit mengguntur… sebuah tetes air jatuh dari mata Arkan.

Bukan hujan.

Tapi air mata.

1
Faulinsa
apakah Arkan malaikat pencabut nyawa? duh..
penulismalam4: Duh,bahaya ni
total 1 replies
Faulinsa
Arkan tu kayak cenayang gitu kah Thor? kok tahu masa depan??
Shintaa Purnomo
lumayan bagus, tetap semangat karna menulis dan merangkai sebuah cerita itu sulit
penulismalam4: iya, makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!