NovelToon NovelToon
Istri Kedua Untuk Tuan Duda

Istri Kedua Untuk Tuan Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Ibu Pengganti / Nikah Kontrak / Diam-Diam Cinta / Romansa
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cerita Tina

Willie, seorang pengusaha muda yang sukses, hidupnya hancur seketika ketika sang istri, Vira meninggal secara tragis setelah berusaha membuka kasus pemerkosaan yang melibatkan anak didiknya sendiri.

Kematian Vira bukan kecelakaan biasa. Willie bersumpah akan menuntut balas kepada mereka yang telah merenggut keadilan dan istrinya.

Namun di balik amarah dan tekadnya, ada sosok kecil yang menahannya untuk tidak tenggelam sepenuhnya, putri semata wayangnya, Alia.

Alia berubah menjadi anak yang pendiam dan lemah sejak kepergian ibunya. Tidak ada satu pun yang mampu menenangkannya. Hanya seorang guru TK bernama Tisha, wanita lembut yang tanpa sengaja berhasil mengembalikan tawa Alia.

Merasa berhutang sekaligus membutuhkan kestabilan bagi putrinya, Willie mengambil keputusan untuk melakukan pernikahan kontrak dengan Tisha.

Willie harus memilih tetap melanjutkan dendamnya atau mengobati kehilangan dengan cinta yang tumbuh perlahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Siapamu?

Hari-hari berikutnya berjalan tenang. Di sela kesibukannya, Willie akhirnya memutuskan mengirim pesan untuk Tisha.

"Bagaimana keadaan dirumah, aman?"

Tak lama, balasan masuk. "Ya."

Hanya itu balasan Tisha. Willie menatap layar ponselnya lama. Ia menunggu balasan selanjutnya..

Namun sudah lewat 10 menit, tidak ada notif pesan lagi dari istrinya. Alisnya berkerut.

“Ya?” dengusnya kesal. “Cuma ya?”

Ia memijit pelipisnya dan menghela napas panjang. “Ya ampun. Sesulit ini kah membuka komunikasi dengannya?” gerutunya.

Sebenarnya, diam-diam Willie sudah beberapa kali menghubungi Ratih. Menanyakan Alia, rumah, bahkan hal-hal kecil yang sebenarnya bisa ia tanyakan langsung pada istrinya.

Tapi bukan informasi itu yang ia cari. Ia sedang menunggu sebuah reaksi. Apakah Tisha sudah melunak atau justru semakin makin tak peduli.

Ia bersandar di kursi, menatap jendela kamar hotel yang asing. “Aku ini sebenarnya sedang apa.” desahnya.

Lalu pikirannya melayang pada satu pertanyaan yang sejak kemarin mengendap di kepalanya.

“Harus selama apa aku di sini?” pikir Willie kacau.

***

Di sisi lain, Ratih mendapat kabar dari keluarganya, ada sanak saudaranya yang meninggal. Ia ingin minta izin pulang pada Tisha.

Di ruang keluarga, Tisha duduk di sofa menemani Alia menonton kartun. Ratih mendekat dengan ragu.

Akhirnya Tisha menoleh, menangkap kegelisahan itu. “Kenapa, Bi?” tanyanya lembut.

Ratih akhirnya melangkah lebih dekat, ia berdiri di sisi sofa. “Bu, barusan saya mendapatkan kabar dari kampung, keponakan saya meninggal."

Tisha tertegun sesaat. Tangannya refleks mematikan volume televisi.

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” lirihnya.

Ia berdiri, memeluk Ratih dengan hangat, lalu menarik perempuan itu untuk duduk di sampingnya. Mata Ratih tampak berkaca-kaca.

“Kalau boleh, saya ingin minta izin pulang sebentar.”

“Iya, Bi. Pulanglah beberapa hari. Tidak apa-apa.” jawab Tisha tanpa ragu.

Ratih mengangguk, “Terima kasih, Bu.”

Ia pun pamit untuk bersiap-siap. Tisha meminta sopir untuk mengantarkan Ratih hingga ke stasiun. Tisha juga menyelipkan amplop dengan sejumlah uang ke tangan Ratih.

“Bi, ini sedikit untuk pegangan, kalau ada apa-apa, kabari saja, ya. Salam untuk keluarga."

Ratih menunduk, menggenggam tangan Tisha dengan haru. “Semoga Allah membalas kebaikan Ibu.”

Mobil pun melaju perlahan, meninggalkan Tisha yang masih berdiri di halaman. Ia menatap sampai bayangan itu benar-benar hilang, lalu kembali ke dalam rumah besar yang kini terasa lebih sunyi.

Besok paginya, Willie kembali menghubungi Ratih.

Suara Ratih muncul dari seberang telepon, tidak seperti biasanya. Terdengar keramaian samar.

“Bi Ratih, bagaimana keadaan rumah?” tanyanya langsung.

“Maaf, Pak. Saya sekarang sudah di kampung,” jawab Ratih gelisah.

Willie terdiam. “Di kampung?” ulangnya pelan.

“Iya, Pak. Keponakan saya meninggal kemarin. Ibu mengizinkan saya pulang,” lanjut Ratih. “Maaf, saya lupa memberitahu Bapak sebelumnya.”

“Tidak apa-apa, ikut berduka cita, Bi." jawab Willie lalu menutup panggilan.

Ratih pulang, Dan Tisha tidak mengatakan apa pun padanya.

Willie bersandar di kursinya, menatap kosong ke depan. Ia ingin marah. Tidak ada pesan, laporan dan juga keluhan.

Entah kenapa, justru itu yang membuatnya merasa lebih kalut.

“Aku ini siapa baginya?”

Untuk pertama kalinya, Willie merasa benar-benar tersingkir, bukan karena ditolak, tapi karena tidak dianggap perlu.

Tangannya bergerak cepat membuka ponsel, mencari jadwal penerbangan untuk hari itu juga.

“Tidak bisa dibiarkan, aku harus pulang segera,” desahnya.

Dan kali ini, ia mulai sadar. Kehidupan rumah tangganya mulai berjalan tanpa dirinya. Bukan ia tak percaya pada tisha, namun lebih pada rasa khawatir.

Kebetulan Willie memilih tiket penerbangan malam. Di sela waktu menunggu boarding, ia singgah sebentar ke toko oleh-oleh bandara. Ia membeli cokelat berbentuk karakter, permen warna-warni, dan satu boneka kecil.

"Biasanya semua perempuan, tua ataupun muda pasti suka cokelat." pikirnya.

Ia tiba dirumah larut malam. Willie membuka pintu dengan pelan, menanggalkan sepatunya tanpa suara, lalu melangkah menuju kamar Alia yang ia rindukan.

Pintu dibukanya, namun kamar itu kosong. Alia tidak ada disana.

Willie berdiri sejenak, ia cemas. Lalu ia mendekat ke arah kamar Tisha. Ada suara perempuan melantunkan nyanyian sebelum tidur.

Alia pasti tidur bersama Tisha, pikirnya. Willie lega lalu ia melangkah menaiki tangga menuju kamarnya sendiri.

Willie meletakkan tas di kursi, lalu duduk di tepi ranjang. "Akhirnya sampai rumah,”

Pikirannya melayang pada Alia. Ia membayangkan mata kecil itu berbinar, tubuh mungil yang akan berlari memeluknya sambil berseru riang memanggil “Papa!” Hanya membayangkannya saja sudah cukup membuat sudut bibirnya terangkat.

Lalu Tisha. Entah reaksi apa yang ia harapkan. Ia sendiri tidak tahu.

Ia meraup wajahnya pelan, menarik napas panjang. “Kenapa aku jadi menantikan ini."

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Willie benar-benar merasa gugup menghadapi rumahnya sendiri.

Matanya melirik jam. Sudah terlalu larut untuk mengganggu siapa pun malam ini. Willie beranjak menuju kamar mandi, berniat mandi cepat sebelum akhirnya berusaha tidur.

***

Keesokan paginya, cahaya matahari pagi menyusup lembut lewat celah jendela. Tisha melangkah ke dapur dengan rambut diikat sederhana, mengenakan baju rumah yang longgar dan nyaman dan rambut dicepol seadanya.

Tisha melangkah ke dapur. Earphone terpasang di telinganya, musik mengalun ceria, mengisi suasana yang terasa lengang.

Pagi seperti ini memberinya rasa bebas yang jarang ia dapatkan. Ia sama sekali tak tahu bahwa Willie sudah pulang.

Ia membuka kulkas, mengeluarkan bahan-bahan sederhana. Ia ingin membuat nasi goreng dan omelette untuk sarapannya bersama Alia.

Di lantai atas, Willie sudah bangun. Ia turun dengan niat mengambil minum.

Namun langkahnya terhenti begitu melihat ada aktivitas dari arah dapur.

“Apa dia sudah bangun?” gumamnya.

Willie mengintip sedikit dan ia terpaku. Tisha tampak bergerak luwes di depan kompor. Penampilannya jauh berbeda dari biasanya.

Biasanya Tisha selalu berpakaian rapi, sopan dan rambut tertutup. Namun hari ini ia

kelihatan begitu hidup dan bebas.

Willie mendekat, lalu bersandar santai di ambang pintu dapur. Matanya tak lepas dari tiap gerakan kecil perempuan itu. Perlahan, ia meraih ponselnya dan menghidupkan kamera video.

“Setidaknya ini bisa membuatnya menurut nanti." gumamnya pelan, dengan senyum tipis yang tertahan.

Di dapur, Tisha sama sekali tak sadar. Ia bersenandung kecil mengikuti irama musik di telinganya.

“Du du du du…"

Ia berputar kecil, mengangkat tangannya ke udara seperti sedang menari seorang diri. Momen itu begitu alami hingga mata Willie membesar.

Naluri Willie bergerak cepat. Saat melihat Tisha mulai berbalik, ia buru-buru mematikan kamera dan menyimpan ponselnya, berpura-pura hanya berdiri menonton.

Saat berputar, mata Tisha menangkap sosok Willie di pintu dapur. Ia tersentak. Sangking kagetnya, spatula di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi nyaring.

“Pak Willie…” lirihnya tak percaya. Tisha sangat malu, ia seperti tertangkap basah di depan musuh.

1
Iqlima Al Jazira
next thor.. 👍
kopi untuk mu
Iqlima Al Jazira: sama-sama
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!