Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku di sini
Kamar VIP rumah sakit itu dipenuhi kesunyian yang lembut. Lampu gantung kristal kecil di langit-langit menyinari ruangan dengan cahaya hangat keemasan, memantul lembut pada dinding krem dan gorden putih bersih yang tersibak sedikit oleh angin dari AC sentral. Di sisi kiri ranjang, ada sofa panjang abu-abu muda dan coffee table kecil dengan set teh untouched—seperti menyadari kalau kehadirannya tak lebih dari pelengkap.
Hail duduk di kursi kayu berlapis kulit cokelat tua di sisi ranjang, satu tangannya menggenggam tangan Evelyn yang terkulai lemah, sementara pandangannya tak lepas dari wajah gadis itu. Wajah yang kini pucat, , Hail baru menyadari jika pipi Evelyn jauh lebih tirus daripada terakhir mereka bertemu.Rambut Evelyn yang biasa bergerak lincah, saat terkena angin, kini diam, terurai panjang di bantal rumah sakit yang bersarung putih bersih. Tangan Hail terulur menyingkirkan anak rambut yang menghalangi pandangannya.
Meski matanya terpejam karena pengaruh obat, alis Evelyn tampak sedikit berkerut. Dan itu saja sudah cukup untuk membuat dada Hail terasa sesak. Entah apa yang sudah wanita itu lewati di tahun-tahun tanpa dia. Hail yakin kehidupan Evelyn sangat tidak mudah, apalagi dengan Cala bersamanya.
Ia mengelus punggung tangan Evelyn dengan ibu jarinya, perlahan. Seolah dengan sentuhan itu, ia ingin menyampaikan sesuatu yang belum sempat diucapkan—bahwa dia ada. Bahwa dia di sini. Bahwa dia akan tetap tinggal, dan permintaan maaf karena tidak menemani selama perjalanan penuh liku yang wanita lewati.
"Kenapa kau begitu kuat Eve, kau membuatku terlihat tidak berguna." Hail terkekeh kecil, sadar betapa kuatnya Evelyn menjalani pahitnya kehidupan tanpa mengeluh sedikitpun.
Belum pernah Hail mendengar sedikit pun keluhan Evelyn. Sejak mereka kuliah dulu, Evelyn seperti itu. Mandiri, diam-diam menyelesaikan semuanya, tanpa keluhan, tanpa protes. Seolah memang itu bagian yang harus ia selesaikan.
"Sesekali, gunakan aku. Bersandar di bahu ku. Malam itu saat kau tidak begitu sadar, kau mengatakan, jika kau menyukaiku sejak pertama pindah ke apatemen dan menjadi tetanggaku. Tapi apa kau tahu Eve, kau salah .... Aku yang jatuh lebih dulu padamu, saat kau tanpa sengaja nabrak dan numpahin kopi padaku di bandara," tutur Hail seolah Evelyn mendengarnya, padahal wanita itu terpejam sangat lelap.
Tangan pria itu mengusap pipi tirus Evelyn dengan lembut dan sayang. Baru saja Hail akan mulai cerita nostagianya, ponsel Evelyn yang tergeletak di atas nakas bergetar. Sebuah nama muncul di layar:
Tante Yunia.
Hail melihat layar yang menyala itu dengan kerutan dalam di keningnya. Sempat ragu, lalu ia memutuskan mengangkat.
"Hallo?" suara Hail terdengar rendah dan tenang.
"Evelyn!" Hail terjingkat kecil, menarik benda pipih itu sedikit menjauh dari telinganya.
"Dimana kamu! Mana uang tante?! Tante juga punya kebutuhan hidup, tahu!" bentakan dari seberang terdengar nyaring, menggema dalam ruangan yang tadinya hening.
Hail tak langsung menjawab. Matanya kembali menatap Evelyn yang tetap terlelap, napasnya naik turun perlahan, damai dalam tidur lelahnya. Hatinya mencelos mendengar ucapan yang mungkin dari salah satu anggota keluarga Evelyn. Tangan Hail mengepal kuat, matanya terpejam sesaat, mengatur nafas yang memburu seiring amarah yang mulai naik. Dia marah, marah pada keadaan yang Evelyn jalani tanpa dia, betapa wanita itu memeluk sakitnya sendirian. Bahkan sampai keluarganya pun seperti ini.
Ia menarik napas dalam, suaranya tegas namun tetap tenang,.
"Maaf, Evelyn sedang sakit. kondisinya belum stabil. Untuk urusan uang, saya akan urus. Tapi jangan hubungi dia lagi untuk sementara. Dia butuh istrahat. Saya akan menghubungi Anda lagi nanti." tegas Hail yang masih berusaha sopan.
"Siapa kamu?! Berikan ponselnya pada Evelyn, suruh dia bicara sendiri! Jangan cuma mau enaknya saja, giliran ngembaliin nggak mau," tukas Yunia di ujung telepon.
"Saya sudah bilang, saya yang akan mengurusnya."
"Halah, semua orang juga bisa bicara begitu. Berikan Teleponnya pada Evelyn, cepat! Pasti uang gadis itu habis buat buat makan anak haramnya, udah tau bangkrut, masih ngeyel mau pelihara anak," Yunia terdengar bergumam diujung kalimatnya, tapi masih sangat terdengar jelas di telinga Hail.
"Berapa?" suara Hail terdengar dingin, amarahnya hampir-hampir meledak saat mendengar kata anak haram yang jelas wanita itu tujukan untuk siapa.
"10 juta, dua kali angsuran hutang Evelyn," sahut Yunia dengan enteng.
"Semuanya, berapa semuanya?"
Diam. Yunia tertegun mendengar apa yang pria asing ini tanyakan.
"Kenapa diam? Bisu?" Hail bicara dengan tenang tapi terdengar sangat menyindir.
"Kurang ajar!" Hail tertawa, mendengus mendengar umpatan wanita di seberang sana.
"Sisa hutang Evelyn 125 juta ... Kenapa diam, kaget. Aku sudah tau kau cuma menggertak."
Hail memang diam, tapi dia tidak benar-benar diam. Ia mengambil ponsel miliknya dari saku dan membuka aplikasi M-banking.
"Kirim nomer rekening Anda sekarang."
Walau sempat terkejut, Yunia akhirnya mengirimkan nomer rekeningnya. Hanya buruh waktu 1 menit untuk uang Hail masuk ke rekening Yunia,
"Sudahkan, semua lunas. Jadi mulai saat ini jangan berani- berani menghubungi Evelyn lagi .... Satu lag, anak kami bukan seperti yang Anda katakan, sekali lagi saya mendengar kata kotor itu dari Anda. Maka saya pastikan, hari itu juga Anda akan merasakan dinginya hotel prodeo. Camkan itu."
Hail memutuskan sambungan telepon mereka dan langsung memblokir dan menghapus nomer si tante itu.
Baginya tak ada yang lebih penting dari ketenangan Evelyn.
Hening kembali menyelimuti kamar itu.
Hail meletakkan kembali ponsel Evelyn ke tempat semula, lalu berjalan mendekati brankar, merapikan selimut Evelyn, memperhatikan leher jenjang yang sedikit berkeringat, lalu mengambil tisu untuk menyekanya perlahan. Sentuhan itu sangat hati-hati, nyaris seperti menyentuh kaca rapuh yang tak boleh retak sedikit pun.
Dahinya hampir menyentuh rambut Evelyn saat ia berbisik, nyaris tak terdengar.
"Mulai hari ini… kamu nggak akan menghadapi semuanya sendirian lagi. Ada aku."
Di luar jendela kamar, angin malam bergerak perlahan. Kota seakan diam, memberi ruang bagi dua hati di kamar itu untuk saling menemukan arah—tanpa suara, tanpa janji besar. Hanya kesungguhan yang diam-diam mulai bertumbuh. Pria itu menikmati heningnya, dengan dari yang menyentuh dari sang terkasih, merasakan deru hangat nafas satu sama lain. Namun ketenangan itu terganggu oleh jeritan ponsel Hail. Dengan malas ia menjauhkan diri dari Evelyn lagi, untuk mengangkat telepon yang masuk. Tapi setelah melihat nama "PAPA INDRA." Hail memutuskan untuk mengangkatnya di luar kamar.
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve