Saraswati Anjani, gadis dua puluh dua tahun itu hidupnya mendadak berubah setelah menemukan bayi di semak-semak sekitar indekosnya.
bayi yang dia beri nama Langit itu perlahan tapi pasti merubah hidupnya yang semula selalu sial menjadi sangat beruntung.
mulai dari pekeejaan baru, lingkungan baru bahkan kisah cinta yang baru. temukan kisah lucu dan serunya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erin FY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kenyataan
"Bentar nggih, Bu. Itu majikan Saras. Orangnya ndak masuk kamar kok, dia manggil dari luar, Assalammualaikum." Buru-buru panggilan kututup tanpa menunggu jawaban dari Ibu, kalau tidak, bisa makin panjang urusannya.
Bergegas aku bangun dan membuka kamar, sengaja tak kusahuti panggilannya karena takut membangunkan Langit.
"Ada apa, Mas?" tanyaku setelah membuka pintu.
"Aku mau berangkat, tadi lupa mau ngasih ini ke kamu. Besok waktunya belanja keperluan Langit, biasanya kalau Arin aku yang antar, berhubung sekarang ada kamu, jadi biar ini kamu yang pegang," ujar duda keren itu sembari memberikan sebuah kartu untukku.
"Ini apa, Mas?" tanyaku yang masih belum mengerti.
"Itu kartu kredit. Pinnya tanggal lahir Langit. Kamu pakai buat beli keperluan Langit. Arin tahu tempatnya. Besok ajak supir waktu belanja, paham?" Aku mengangguk mengerti.
"Eh, tapi, Mas--," panggillu menahan kepergian lelaki tersebut.
"Ada apa lagi, Ras?" tanyanya mulai sebal. Itu orang jeleknya kapan, ya? Sebel kayak gini aja masih cakep.
"Ehmm ... tanggal lahirnya Langit berapa?" tanyaku sembari nyengir.
"Enam maret. 0603 kalau kurang jelas." Tak lagi banyak bicara lelaki itu langsung berlalu begitu saja. Aku hanya menggidikkan bahu melihatnya, orang ganteng mah, bebas.
***
Aku dan Arin ditemani seorang supir berangkat menuju baby shop langganan Mas Damar. Tempat itu terletak di salah satu mall terbesar di kota ini. Biasanya, saat liburan aku dan Dini sering kali datang kemari, tapi tentu saja hanya untuk cuci mata, karena barang-barang di sini bisa kami dapatkan lebih murah di pasar tradisional. Kualitas? Itu bukan perkara penting bagi kami, baju semahal apapun tak akan bernilai jika kami yang memakainya, lain hal kalau Nia Ramadhani yang pakai, baju loakan pun akan terlihat menarik di mata orang. Tak salah bukan jika terkadang aku ingin menikung Ardi Bakrie di sepertiga malam?
Sesampainya di depan Mall, aku dan Arin masuk menuju baby shop tujuan kami. Arin yang memakai seragam khas seorang baby sitter dengan menggendong Langit berjalan di sampingku yang hari ini lagi-lagi memakai dress mendiang istri Mas Damar. Kami bagaikan majikan dan pengasuh? Tentu saja tidak! Mana ada yang percaya Langit yang begitu tampan mempunyai ibu yang buruk rupa sepertiku. Itu sungguh fitnah keji.
Sebelumnya, aku sudah menyuruh Arin memakai baju biasa saja, toh dia hanya pergi denganku, bukan Mas Damar, tp gadis itu menolak, sudah peraturan katanya. Gadis itu terkadang memang kelewat patuh, meskipun kami sudah lumayan dekat, tapi dia selalu bersikap seoalah-olah kami berbeda. Tadi saja aku meminta bergantian menggendong Langit, lagi-lagi dia menolak, sudah tugas. Di rumah pun seringkali aku hanya berdiam diri karena semua tugas hampir Arin yang mengerjakan. Padahal sebenarnya apa yang membedakanku dengannya? Kami sama-sama pangasuh, kalau aku tak sedikit memaksa mungkin seharian aku benar-benar bengong hanya melihat Langit.
Aku mengambil sebuah troli untuk belanja nanti, kata Arin Mas Damar selalu membeli tiga sampai empat sekaligus diapers. Belum susu dan perlengkapan lain, itu sebabnya kami membutuhkan itu. Saat sedang mengambil troli di depan toko, terlihat sosok yang sangat kukenal sedang menikmati makanan di sebuah food court.
Dia tak sendiri, ada seseorang yang juga menemaninya. Mereka terlihat bahagia, bahkan dia juga sedang tertawa begitu lepas. Alvin lelaki yang kemarin begitu lugas merayuku, kini sedang duduk berdua dengan Sesil, wanita yang kata Alvin telah menjadi mantan. Apakah dengan seorang mantan
Masih bisa leluasa berpegangan tangan dan tertawa bersama?
Tak ingin melihat lebih jauh, aku memutuskan masuk toko. Bohong jika bilang tak ada yang sakit, ini sakit. Lelaki yang kemarin menyatakan cinta, bahkan dengan manisnya memperlakukanku bagaikan seorang ratu, kini duduk bersama dengan wanita lain. Memang tak sesakit layaknya orang patah hati, tapi entahlah, mungkin aku hanya kecewa, kecewa karena merasa dipermainkan.
"Hei, kenapa? Kok matamu kayak habis nangis?" tanya Arin yang sepertinya melihat perubahan di raut wajahku.
"Ah, tak apa. Hanya sedikit kelilipan komodo tadi," candaku untuk menutupi perasaan.
"Komodo? Sejak kapan komodo masuk mall? Mau nyari sikat gigi?" Seketika aku tertawa mendengar guyonan gadis itu, terkadang dia memang lebih nyeleneh dari pada aku.
"Itu pasta gigi Kodomo, woee!" balasku yang membuat kami tertawa bersama.
Aku sedikit melongo melihat harga yang tertempel di setiap barang. Untuk ukuran baju bocah yang gak menghabiskan semeter kain saja bisa sampai ratusan ribu, ini baju dibuat dengan kain apaan? Coba ini di pasar malam, bisa dapat sepuluh biji dengan harga satu pakaian di sini.
Segala kebutuhan Langit telah terbeli, berlagak layaknya seorang nyonya besar aku berdiri dengan sombong di depan kasir. Nominal belanjaan disebutkan, kukelurkan kartu kredit dengan gaya, ahh ... sudahlah. Ternyata begini rasanya jadi orang kaya, Gusti, mau daftar satu nomor dong.
Setelah membayar belanjaan, aku dan Arin melangkah keluar. Masih dengan gaya songong, aku tersenyum kepada mbak-mbak kasir yang sesang melihatku. Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba sandal yang kupakai putus, terdengar beberapa orang cekikan di belakangku. Harga sandalnya gak seberapa, malunya itu. Duh, Gusti ... baru juga mau belajar sombong, tapi sudah langsung ditegur aja. Tanpa memperdulikan Arin dan Langit aku pergi saja dari tempat itu tanpa menoleh lagi.
Sembari menunggu Langit dan Arin yang masih tertinggal di belakang, aku berdiri sebuah toko sandal, niat hati pingin masuk dan beli satu, gak mungkin kan aku pulang nyeker? Tapi mau pakai duit apaan? Pasti mahal.
Sembari tetap berpikir, tanpa sengaja aku melihat Alvin dan Sesil di toko yang sama. Alvin memegang erat tangan Sesil sembari menunjuk-nunjuk beberapa sandal. Merasa sakit hati karena menjadi korban rayuan Alvin aku pun memutuskan masuk. Oke, Saras, saatnya kita meniru adegan-adegan di sinetron ikan terbang yang biasanya Dini lihat.
Tanpa sepengetahuan mereka, aku berjalan mendekat. Saat terlihat Sesil hendak mengambil sebuah sandal, aku lebih gesit mengambilnya.
"Maaf, Mbak. Saya duluan," ucapku tegas yang membuat Sesil kaget dan melongo.
Melihatku, Alvin langsung melepas genggaman tangan Sesil, terlihat dia juga tak ada niat menyapa. Aku pergi, gara-gara aksi rebutan, akan ada adegan jambak-jambakan seperti yang di film-film itu, tapi ternyata Sesil hanya pasrah saat sandalnya aku ambil.
Aku melenggang begitu saja dari sana, mencari tempat duduk dan pura-pura mencoba. Masih bisa kutangkap dari ekor mata, Alvin masih memperhatikanku. Sembari terus pura-pura mencoba, kulihat harga yang tertera di bawah sandal, Eh busyeet ... ini seharga bayaran indekos tiap bulan. Pantas itu cewek cuek saja saat sandalnya kurebut. Dibeli kagak, ya? Dibeli mahal, kagak dibeli apa kata Alvin? Bisa diketawain aku. Gusti ... ini yang namanya songong membawa petaka.