Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CANGGUNG LAGI
Pagi hari ini terlihat lebih cerah. Shaka memandang adiknya dengan tatapan penuh selidik, sambil menyeimbangkan bungkus makanan yang ia pegang di tangan. Barra, di sampingnya, terlihat lebih santai, meskipun terlihat jelas rasa lelah di wajahnya setelah malam panjang berjaga di rumah sakit.
"Kamu kenapa sih?" Shaka akhirnya membuka suara, memecah keheningan di antara mereka.
Barra menoleh, alisnya terangkat. "Kenapa apanya?"
Shaka menghela napas pelan, sedikit menahan senyuman. "Barra yang ini sudah kembali. Setelah beberapa tahun menghilang. Sekarang kamu berubah, tepatnya kembali ke Barra yang dulu, terlihat auranya lebih positif. Dan... sejak kapan kamu mulai rajin sholat, ke masjid lagi."
Barra terdiam, berpikir sejenak sebelum menjawab. Kalau dipikir-pikir, ia mulai merutinkan itu seminggu setelah menikah dengan Btari. Awalnya coba-coba, lama-lama cocok juga. "Abangnya Btari yang menyarankan. Dicoba-coba ternyata cocok juga. Kenapa memangnya? Bukannya itu bagus, ya."
"Ya, memang ." Shaka menahan tawa. "Tapi tetap aneh. Kamu itu dulunya sibuk banget sama kerjaan, kadang lupa kabar keluarga. Sekarang, tiap ada waktu luang malah nyempetin pulang. Terus jadi rajin ibadah juga. Jangan bilang semua ini gara-gara Btari?"
Barra langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, tapi tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang sedikit terganggu. "Ngaco, Mas. Nggak ada hubungannya sama dia."
"Eh, tapi ini serius, Bar," Balas Shaka sambil tertawa kecil. "Nggak usah menyangkal. Sepertinya pengaruh dia besar banget buat kamu."
Barra mendesah panjang, berusaha menahan rasa canggungnya. "Nggak begitu. Semuanya seperti berjalan begitu aja."
Shaka tertawa pelan. "Berarti Btari bawa pengaruh yang baik dong sama kamu." Goda Shaka.
"Mungkin lebih tepatnya, karena menikahlah aku jadi sadar bahwa status suami berat banget. Makanya harus perlahan diubah yang buruk-buruknya."
Shaka menatapnya dengan penuh arti, tidak mudah terbuai oleh jawaban sederhana Barra. "Tuh kan malah balik jadi Albarra mode dulu. Kamu udah kayak ustadz." Ujar Shaka tertawa lagi.
Barra terdiam. Sudah lama ia tidak bicara begini santainya dengan Shaka. Satu tahun terakhir ini, Shaka bahkan jarang tersenyum padanya. Namun sekarang? Kakaknya itu tertawa begitu lepas padanya. Apa iya, Btari membawa pengaruh baik untuknya?
"Malah diam. Mikirin istri, ya?"
Barra tidak menjawab. Ia hanya terus melangkah menuju lift, membiarkan Shaka mengikuti di belakangnya dan tiba-tiba berseru.
"Kalau sayang istri jangan malu-malu, Bar!"
Barra tetap melangkah masuk ke dalam lift. Begitu pula Shaka. Kini Shaka lebih diam, tidak lagi menggodanya seperti tadi.
Begitu keluar dari lift, Barra masih diam. Pikirannya terusik dengan perkataan kakaknya.
"Sebenarnya nggak cuma aku, Bar, keluarga kita yang lain juga bilangnya gitu. Kamu sekarang lebih hangat dan dekat sama keluarga." Ujar Shaka dengan tenang.
Barra menghela napas panjang. "Btari cuma menjalani perannya sebagai istri. Aku berubah karena aku yang mau berubah, bukan karena dia."
Shaka tertawa pelan, lalu menepuk bahu Barra. "Iya, iya. Kadang, kita nggak sadar siapa yang bikin kita berubah. Btari itu gadis baik. Kalau aku jadi kamu, aku bersyukur banget punya pasangan kayak dia."
"Mas suka sama Btari?" Pertanyaan bodoh itu membuat Shaka langsung terkejut.
Namun menggoda Barra tampaknya seru juga. "Hmmh, siapa yang nggak suka, Bar. Dia cantik, sholehah, baik, perhatian dan sayang keluarga. Latar belakang keluarganya juga baik. Nggak ada alasan buat nggak suka sama dia." Ujar Shaka dengan wajah serius.
"Dia nggak bisa masak, Mas."
Shaka langsung tertawa pelan. "Kalau itu mah nggak apa-apa, Bar. Kamu kan tahu aku jagonya kalau urusan memasak. Lagipula aku mau cari istri bukannya orang catering." Jawab Shaka semakin senang.
Wajah Barra mengeras. Rasa tidak suka dengan cara Shaka memuji Btari tiba-tiba hadir. "Dia nggak pintar beres-beres. Nggak pintar dandan juga." Ujar Barra ketus.
Shaka tertawa lagi. "Seenggaknya dia nggak bermuka dua kayak mantan kamu itu." Kata Shaka.
Barra menatap kakaknya dengan bingung. "Maksud Mas apa?" Nada suaranya begitu sinis.
Shaka menatap adiknya dengan serius. "Ada alasan khusus kenapa Mama langsung menyukai Btari namun langsung nggak suka sama Nadea. Jangan kamu kira sosok yang lemah lembut seperti mantan terindah kamu itu, orangnya memang sepolos dan selembut itu." Shaka menatap Bara dengan serius. "Coba kamu ingat ketika masih sama dia, seberapa sering kamu komunikasi sama Mama. Bandingkan dengan yang sekarang, sejauh apa Btari membuatmu berubah dan dekat sama keluarga."
Barra hanya diam, tidak membantah atau membenarkan. Dalam hatinya, ia tahu Shaka tidak sepenuhnya salah. Kehadiran Btari memang mengajarinya banyak hal, tentang kesederhanaan, perhatian pada keluarga, dan bahkan hubungan dengan Tuhan.
Namun ia tidak ingin terang-terangan mengakui itu, sementara itu hatinya juga masih penuh dengan rasa cintanya pada Nadea.
"Udahlah, Mas, fokus aja sama Papa dulu. Jangan bahas yang nggak penting," Kata Barra akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Shaka terkekeh sambil menggeleng. "Baiklah, adikku, Albarra. Jangan terlalu banyak menyangkal. Kalau dia pergi, kamu yang menyesal."
"Diam, Mas."
Seolah tidak peduli, Shaka tetap saja menggoda Barra. "Kalau cerai dari kamu nikahnya sama aku, bolehkan, Bar? Kalau sama dia nggak perlu capek-capek ngenalin sama mama lagi. Udah klop banget." Ujar Shaka menatap Barra dengan serius.
"Gila kamu lama-lama, Mas." Sahut Barra ketus lalu berjalan lebih dulu dari kakaknya.
Shaka menatapnya dengan senyum tipis. "Dasar!Diambil orang baru tahu rasa kamu, Bar."
Mereka berdua tiba di ruangan tempat papa mereka dirawat. Barra melangkah masuk dengan wajah datar, sementara Shaka tetap tersenyum kecil seolah tidak terjadi apa-apa.
Masuknya Barra membuat Btari dan yang lainnya menoleh sekilas. Ruangan rawat inap Andreas yang biasanya sunyi berubah menjadi riuh pagi itu. Andreas sudah terlihat jauh lebih segar, meski tubuhnya masih terbaring di tempat tidur.
Indah, Shaka, dan Azalea duduk di sofa dekat ranjang, berbincang ringan dengan sesekali tertawa. Barra berdiri di samping sofa kecil dekat pintu sementara Btari sibuk merapikan beberapa barang yang berserakan di meja kecil. Kedua orang itu seperti terlihat canggung satu sama lain.
"Kalau menikahnya mendadak, emang jadinya sekaku itu, ya, Ma?" Tanya Shaka membuat Btari dan Barra saling tatap.
Keduanya jelas tahu siapa yang Shaka maksud. Namun Btari dengan cepat menguasai dirinya. Bersikap biasa seolah-olah itu bukan dirinya dan Barra.
"Tergantung. Kayaknya nggak sekaku itu juga harusnya. Malu mungkin sama kita." Jawab Indah.
"Padahal anggap aja kita nggak ada ya, Mas. Jadi santai aja. Itu duduknya aja satu ujung kanan, satu ujung kiri."
Semua pasang mata menatap Barra dan Btari sambil tertawa pelan. Menggoda keduanya yang sedari tadi tidak bicara satu kata pun satu sama lain.
Andreas, yang selama ini dikenal pendiam, tiba-tiba melemparkan candaan yang membuat suasana berubah canggung. "Bar, belum ada rencana buat program hamil, ya? Usia Papa sama Mama terus bertambah loh. Udah pas ini buat gendong cucu."
Btari yang tadinya sedang minum, langsung terbatuk karena kaget. Barra dengan sigap memberikan botol minuman pada Btari.
"Frontal banget, Pak. Menantumu Papa sampai batuk tuh." Kata Shaka membuat Indah, Alea ikut tertawa.
"Lagian Papa tiba-tiba banget nanyain cucu." Rutuk Barra.
Azalea langsung menimpali sambil tersenyum jahil. "Yeee yang dibilang Papa itu benar, Kak. Aku juga udah mau gendong ponakan. Teman-temanku yang lain sudah pamer ponakan semua."
Ucapan itu langsung membuat Barra dan Btari saling melirik dengan raut wajah salah tingkah. Barra menggaruk belakang kepalanya, kebiasaan yang muncul saat ia bingung harus berkata apa. Sementara Btari hanya menunduk pura-pura sibuk dengan sesuatu di tangannya, padahal wajahnya sudah memerah.
"Minta aja tuh sama Mas Shaka. Suruh nikah. Sibuk kerja terus." Kata Barra.
Shaka tersenyum jahil. "Yang modelan Btari jarang ada, Bar. Belum ketemu jadinya. Biar Papa sama Mama nggak kelamaan jadi untuk cucu pertamanya dari kamu aja."
Mendengar nama Btari disebut, Barra jadi kurang suka. Padahal ia tahu kakaknya itu sedang bercanda. Namun rasanya seperti tidak rela.
"Cari tipe yang lain. Gak kreatif banget." Sahut Barra. Sementara Btari sedari tadi hanya diam memperhatikan situasi.
"Kan Mama cocoknya sama yang kayak gitu. Biar langsung direstui kayak kamu dulu." Ucap Shaka santai semakin membuat Barra tidak suka. "Atau kalau kamu masih aja belum move on dari mantanmu itu, Btari buat Mas aja. Mas siap nikahin dia gantiin kamu."
Semua jadi diam. Mereka kaget dengan ucapan Shaka yang terdengar begitu serius.
"Maksud Mas apa?" Tanya Barra tidak suka.
Shaka terkekeh. "Bercanda, Bar. Serius banget."
"Tapi Shaka ada benarnya, Bar. Cari menantu yang kayak Btari itu susah. Jadi kalau kamu sampai sia-siain dia, mendingan Shaka aja yang gantiin kamu." Barra mendelik tidak suka dengan perkataan mamanya.
"Lagian kenapa tiba-tiba ngomongin cucu sih, Pa? Fokus aja dulu sama kesembuhan Papa," Ujar Barra akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya, tapi kan kalau Papa punya cucu, Papa pasti lebih cepat sembuh. Kamu tuh, Bar, udah cukup umur. Jangan terlalu sibuk kerja terus." Andreas terus menggoda Barra.
Azalea tertawa pelan sambil menatap Btari. "Mbak Btari gimana? Lebih suka Kak Barra di rumah apa di kantor? Lagian udah nikah harusnya nggak usah sibuk-sibuk banget. Iya nggak Mbak?"
Btari tersentak mendengar namanya disebut. Ia menoleh ke Azalea, tapi tidak tahu harus merespons apa. "Eh... Iya... Tapi kan..." kalimatnya menggantung, tak tahu bagaimana menyelesaikannya.
Barra langsung melangkah ke depan, seperti melindungi Btari dari rentetan candaan keluarganya. "Udah, jangan ganggu Btari begitu. Masalah cucu nanti kita bicarain lagi. Sekarang aku sama Btari mau pacaran dulu." Ujar lelaki itu sebenarnya berniat melindungi Btari dari kejahilan keluarganya.
Namun yang ada mereka semakin gencar menggoda Btari. Wajah yang biasanya datar itu semakin memerah.
Tawa kembali pecah di ruangan itu, sementara Btari hanya bisa tersenyum canggung. Namun dalam hatinya, ia merasa bersalah. Candaan tadi membuatnya sadar betapa ia sudah terlibat terlalu dalam dengan keluarga Barra. Ia takut akan ada luka di kemudian hari, untuk dirinya, Barra, dan keluarganya.
Di sisi lain, Barra pun merasa tak nyaman. Candaannya mungkin terdengar biasa saja, tetapi ada bagian dalam dirinya yang terusik. Ia sadar, ada batas yang tak seharusnya dilangkahi, tetapi semakin hari ia sendiri semakin sulit menjaga jarak.
dan buat nadea masuk dalam penjara