"200 juta, ini uang untuk membelimu!"
Pria di depannya melihatnya dari ketinggian, dan aura angkuh memenuhi ruangan.
Dewi Puspitasari kehabisan akal.
Karyawan cafe yang berusia dua puluhan ini telah mencoba berbagai cara, tapi semuanya sia-sia seperti berada di jalan buntu. Ayahnya harus segera menjalani operasi yang memakan biaya besar.
Dari mana dia mendapatkan 200 juta dalam sekejap?
Setelah hampir menghabiskan semua dana, setengah putus asa, dia membuat tawaran gila dengan bosnya, Virata Agastia.
"Oke. Aku setuju."
Dewi Puspitasari hanya bisa menerima kenyataan bahwa dirinya seperti barang yang diperdagangkan dalam transaksi ini.
Akankah pernikahan yang didominasi uang ini akan berakhir dengan bahagia?
Bagaimana nasib pernikahan mereka setelah ayah Dewi Puspitasari sembuh?
Note: Novel ini mengandung unsur dewasa. Harap bijak menyikapinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Detektif Bahri Part 3
"Kakak menyuruhku pulang? Enggak bisa, Kak! Aku enggak akan membiarkan Kakak melakukan perbuatan dosa ini! Kakak yang seharusnya ikut pulang denganku!" ujar Bahri tak mau kalah.
Dewi mengusap wajahnya dengan kesal. "Pulanglah! Kakak harus membayar uang yang kita pinjam!" kata Dewi dengan putus asa.
Wira hanya melihat pertengkaran kakak beradik di depannya. Ia jadi teringat dengan adiknya Carmen. Pasti Ia akan marah besar kalau tau Camen melakukan perbuatan seperti yang Dewi lakukan. Sedikit banyak, Wira paham apa yang Bahri rasakan.
"Kakak yang pulang saja! Biar aku yang bayar semua hutang kita!" kata Bahri tanpa pikir panjang.
"Bayar dengan apa? Kamu mau ngojek sampai ke ujung pulau juga enggak akan terkumpul uang ratusan juta dengan cepat! Hanya ini cara tercepat yang bisa Kakak lakukan!" suara Dewi terdengar emosi. Ia lelah fisik dan psikis. Pulang kerja lalu bekerja lagi eh malah tertekan batin karena ulah Bahri yang memergokinya. Rasanya ingin pergi saja dari semua ini namun Dewi tak bisa.
"Ya aku akan jual ginjal aku! Pokoknya Kakak enggak boleh jual diri lagi kayak gini! Kakak masih muda. Masa depan Kakak masih panjang. Kakak belum menikah. Bagaimana kalau suami Kakak kelak tau apa yang Kakak lakukan?!" perkataan Bahri membuat Dewi terdiam.
Lagi-lagi adiknya benar.
Apa yang suaminya pikirkan nanti?!
"Kalian mau sampai kapan bertengkar? Kalau Dewi pulang dan tak mau melanjutkan perjanjian bisnis kita, gampang. Bayar saja dua kali lipat. Beres kan?" Wira akhirnya buka suara. Membuat Dewi dan Wira terdiam.
"Brengsek lo! Udah merusak Kakak gue, minta ganti dua kali lipat lagi!" Bahri tersulut emosinya dan hendak menghajar Wira. Dewi berdiri dan pasang badan. Tak mau masalah mereka semakin melebar dan berujung di kantor polisi.
"Bahri! Cukup! Tenangkan diri kamu!" pinta Dewi.
"Kakak mau menjual diri Kakak sama cowok kayak dia? Mau enaknya sendiri! Siapa sih dia? Lagaknya kayak bos aja!" cerocos Bahri sambil menunjuk-nunjuk Wira yang duduk sambil melipat kedua tangannya. Memang gayanya sangat bossy. Pantas saja Bahri sebal dengan apa yang Wira lakukan.
"Dia... Memang bos Kakak." aku Dewi.
Bahri kembali terkejut. "Bos? Bukannya bos Kakak Pak Agas yang Bu Inah bilang waktu itu?"
Dewi menundukkan wajahnya. "Dia... Anaknya Pak Agas." kata Dewi pelan.
"Hah?"
Wira tersenyum sinis. Ia merasa posisinya sekarang di atas angin melawan anak remaja yang berapi-api di depannya. "Kenapa lo? Kaget? Lo pikir gue cuma cowok mesum biasa? Kakak lo enggak bakalan mau buat perjanjian sama gue kalau gue enggak punya duit!" ujar Wira dengan sombongnya.
Bahri benar-benar tak menyangka. Ia sekarang mengerti siapa yang waktu itu turun dari mobil dan memberikan Dewi uang. Ternyata Kakak-nya memang membuat perjanjian konyol dengan bosnya.
Bahri pun putar otak. Kalau Ia mengancam, Kakaknya bukan hanya harus membayar denda melainkan juga akan kehilangan pekerjaannya.
Kakak-nya bekerja saja mereka masih kekurangan, apalagi kalau Kakak-nya menganggur nanti?! Uang mengojek pun tak akan cukup membiayai mereka sekeluarga. Belum membayar uang kontrakan rumah setiap bulan yang lumayan.
"Mikir Bahri... Mikir!" batin Bahri. "Cari jalan keluar yang terbaik buat mecahin masalah ini! Cowok sombong di depannya harus kalah! Kak Dewi juga jangan sampai kehilangan pekerjaannya."
Bahri lalu teringat kalau sejak tadi kamera Hp miliknya terus merekam apa yang terjadi. Bahri memang sengaja melakukan hal tersebut sebagai perlindungan diri kalau terjadi apa-apa. Ternyata perbuatannya malah menjadi jalan keluar atas masalah yang dihadapi.
"Kenapa? Sadar kalau lawan lo adalah bos Kakak lo? Takut?!" ledek Wira lagi dengan sombongnya.
Bahri balas tersenyum. "Takut? Gue? Enggaklah! Ngapain takut. Lo masih makan nasi, kalo lo makan beton baru gue takut!"
"Yeh... Songong nih anak!" Wira mulai naik pitam diperolok Bahri.
"Bahri! Yang sopan!" omel Dewi. Bagaimanapun yang Bahri hina adalah bosnya. Orang yang sudah menolongnya meski dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
"Adek lo tuh songong banget! Gue masih makan nasi bukan beton!" ujar Wira.
"Maafin adik saya, Pak. Saya akan suruh adik saya minta maaf dan pulang." kata Dewi tak enak hati pada Wira.
Dewi lalu menatap Bahri. "Bahri! Kamu minta maaf cepat sama bos Kakak!" omel Dewi.
Bukan Bahri namanya kalau semudah itu menyerah. "Kenapa aku harus minta maaf? Aku ngomong bener kok, Kak. Kalau bos Kakak makan beton sama paku baru aku takut. Dia aja yang sensitif."
"Bahri!" Dewi mulai kehabisan kesabaran. Adiknya itu memang agak ngeyel. Ngelawan terus kalau dianggapnya tidak sesuai dengan hati nurani.
"Aku enggak mau minta maaf, Kak! Cowok hidung belang kayak dia udah merusak Kakak eh malah nuntut aku minta maaf?! Jangan harap! Justru aku mau dia tanggung jawab!" balas Bahri.
"Heh remaja kemarin sore, gue udah bayar Kakak lo! Tanggung jawab apa lagi?! Udah ngatain gue eh malah nuntut macem-macem lagi lo!" ujar Wira dengan emosi.
"Ya tanggung jawab lah! Lo nikahin Kakak gue! Enak aja lo mau pake Kakak gue tanpa nikahin! Kakak gue bukan cewek pinggir jalan yang menjajakan dirinya! Kakak gue masih suci! Lo yang udah ngerusak kehormatan Kakak gue!" kata Bahri dengan berani.
Wira tertawa mendengar permintaan Bahri. "Heh! Kakak lo yang nawarin dirinya sama gue. Sebagai orang baik, gue menolong dong! Enak aja lo nyuruh gue nikahin dia?! Siapa dia harus gue nikahin!"
Hari Dewi tercubit mendengar perkataan pedas Wira. "Siapa dia harus gue nikahin!" kata-kata Wira benar-benar membuatnya sadar kalau Ia tak lebih hanya wanita pemuas birahi semata. Dewi menunduk, jatuh sudah air matanya. Tak mampu Ia tahan lagi. Lelah sekali rasanya.
"Heh jaga bicara lo! Kakak gue juga punya hati! Banyak yang naksir Kakak gue tapi diacuhkan! Kakak gue tuh berharga! Enggak pantes buat cowok kayak lo!" Bahri tak terima Kakak-nya dianggap rendah seperti itu. Baginya Kak Dewi adalah penyelamat keluarga. Kakak yang sudah menolong keluarganya lepas dari masalah hidup.
"Udah! Cukup!" Dewi yang tak kuat mendengar dirinya diributkan pun melerai pertengkaran Bahri dan Wira. "Kakak akan pulang sekarang." Dewi mengalah. "Saya akan bayar denda dua kali lipat di pertemuan berikutnya!" kata Dewi pada Wira.
Tentu saja Wira senang. Dewi melanggar perjanjian dan itu menguntungkannya.
"Enggak bisa! Enak aja Kakak harus bayar denda! Dia yang harus nikahin Kakak! Kalau enggak mau nikahin, aku bakalan laporin apa yang dia lakuin ke orang tuanya!" ancam Bahri.
Senyum di wajah Wira menghilang. "Lo ngancem gue?"
Sekarang gantian Bahri yang tersenyum penuh kemenangan. "Iya. Gue tinggal cari tau dimana orang tua lo tinggal dan ceritain semuanya! Oh iya, gue juga punya bukti kok! Enggak ada alasan mereka tidak percaya apa yang gue katakan."
****
ratnanya yg tidur gak diceritain LG tau2 da sampe apart
minum Aqua dulu thor🤭
terima kasih ya kak