Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 : Desa Emberglade
Yvaine duduk bersimpuh, merangkul erat anak kecil di dalam pelukannya sambil berusaha menenangkan tangisnya. Di sisi lain, Lysander tengah membalut kaki sang wanita dengan kain putih, menutup luka cakar yang cukup dalam hingga membuat napas wanita itu tersengal.
Sesekali Yvaine menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman. Begitu melihat tiga sosok muncul dari balik kegelapan, ia segera berlari menghampiri mereka. Wajahnya penuh cemas saat bertanya,
“Apakah kalian baik-baik saja?”
Veyra mengangguk cepat. “Kami baik-baik saja.” Namun tatapannya beralih pada Lyanna, lalu dengan nada mencibir ia menambahkan, “Tapi tetap saja ada yang terluka... padahal sudah ditemani.”
Lyanna spontan mengerut kesal, suaranya meninggi, “Aku terluka karena mencemaskanmu!”
Veyra hanya memutar kepalanya dengan senyum mengejek, tak menanggapi lebih jauh.
Yvaine melangkah mendekat, matanya jatuh pada balutan di lengan Lyanna. Nada suaranya lembut, “Lysander akan mengobatimu.”
Namun Arion segera maju selangkah, menatap Yvaine dan berkata dengan tegas, “Tidak perlu. Luka itu terjadi karena kelalaianku. Biarkan aku sendiri yang merawatnya.”
Tatapan Veyra menyipit, sinis, tapi ia memilih diam.
Keheningan sejenak tercipta sebelum Yvaine akhirnya berkata, “Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan malam ini.” Ia melirik ke arah wanita yang baru saja selesai diobati. Wajahnya tampak pucat, tubuhnya bergetar lemah. “Dia sudah tidak memiliki tenaga untuk berlari. Lukanya terlalu parah. Jika dipaksa, hanya akan memperburuk keadaannya.”
Lysander menambahkan dengan nada serius, “Kita juga harus berhati-hati. Serigala atau hewan buas lainnya bisa saja datang sewaktu-waktu. Lebih baik kita beristirahat, mengembalikan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan.”
Lyanna mengangguk pelan, menyetujui. “Aku tidak keberatan menunggu.”
Arion menatap hutan gelap di sekitar mereka, lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan mencari bahan makanan.”
Lysander berdiri menyusul. “Aku ikut. Sekalian mencari kayu bakar.”
Yvaine menoleh pada keduanya. “Baiklah, tapi berhati-hatilah. Hutan ini terlalu gelap di malam hari.”
Lysander hanya tersenyum tipis, mengangguk dengan tenang. Bersama Arion, ia kemudian melangkah pergi, meninggalkan Yvaine, Lyanna, Veyra, serta wanita dan anak kecil itu di bawah remang malam yang kian mencekam.
Yvaine mengajak kedua adiknya duduk di dekat wanita itu. Mereka bertiga mengelilinginya, menciptakan lingkar perlindungan di sekitarnya. Tatapan Yvaine lembut, penuh perhatian, ketika ia bertanya,
“Bagaimana dengan kakimu? Apakah sudah terasa lebih baik?”
Wanita itu tersenyum samar, menunduk sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Aku baik-baik saja... terima kasih.”
Lyanna menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Siapa namamu? Dari mana asalmu? Dan... kenapa sampai bisa berhadapan dengan sekumpulan serigala di tempat ini?”
Keheningan singkat tercipta. Wanita itu menarik napas, lalu berkata lirih, “Namaku Elara. Aku berasal dari desa Emberglade. Aku ke hutan untuk mencari bahan makanan... sekaligus pengobatan bagi orang-orang di desa kami.”
Ketiga putri itu saling berpandangan. Nama desa itu membuat udara seketika terasa berat. Emberglade, sebuah desa terpencil yang lama terabaikan, bahkan tercatat sebagai salah satu kasus yang tak pernah terselesaikan oleh kerajaan.
Elara mengangkat wajahnya perlahan, matanya bergantian menatap Yvaine, Lyanna, lalu Veyra. “Kalau boleh aku tahu... siapa sebenarnya kalian?”
Veyra terdiam sejenak “Kami hanya pengelana yang sedang berkelana mengelilingi dunia saja.”
Wanita itu mengangguk “Aku sangat berterimakasih pada kalian. Jika bukan karena kalian, mungkin aku tidak bisa kembali ke desa.”
Yvaine mengerutkan keningnya, “Jika kamu pergi untuk mencari makanan dan pengobatan, kenapa kamu sendirian dan bersama anak kecil? Bukankah itu jauh lebih berbahaya?”
Elara menunduk pelan, sorot matanya seolah menyimpan beban yang berat. Tangannya meremas ujung kain lusuhnya sebelum menjawab lirih, “Aku tidak punya pilihan lain. Semua lelaki di desa sedang sakit… dan hanya aku yang bisa keluar. Anak kecil itu menolak ditinggal sendirian, dia memaksa ikut.”