Jangan lupa follow Author yaaaaa!!!!!!!
Hidup Kayla yang awalnya begitu tenang berubah ketika Ayahnya menjodohkannya dengan seorang pria yang begitu dingin, cuek dan disiplin. Baru satu hari menikah, sang suami sudah pergi karena ada pekerjaan mendesak.
Setelah dua bulan, Kayla pun harus melaksanakan koas di kota kelahirannya, ketika Kayla tengah bertugas tiba-tiba ia bertemu dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya tengah mengobati pasien di rumah sakit tempat Kayla bertugas.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana reaksi Kayla ketika melihat suaminya adalah Dokter di rumah sakit tempatnya bertugas? Apa penjelasan yang diberikan sang suami pada Kayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Libur
Operasi berlangsung selama hampir lima jam, ketegangan di dalam ruangan itu begitu pekat, namun Kayla seolah terserap ke dalam dunia medis yang selama ini hanya ia baca di buku teks, meski punggungnya terasa kaku dan tangannya mulai pegal luar biasa karena harus mempertahankan posisi retractor, namun ia tidak mengeluh sedikit pun.
Arthur bekerja dengan ketelitian seorang pemahat, setiap gerakan instrumen di tangannya begitu efisien. Sesekali, Arthur melirik ke arah tangan Kayla yang tetap stabil, tidak bergoyang sedikit pun meski prosedur ini sangat melelahkan bagi seorang pemula.
"Asisten dua, perhatikan area arteria cerebri ini. Bersihkan lapangan pandang dengan suction secara perlahan," perintah Arthur.
Kayla bergerak dengan presisi, ia melakukan apa yang diminta tanpa ragu, memberikan ruang bagi Arthur untuk mengangkat sisa jaringan tumor yang menempel pada pembuluh darah vital.
Arthur terdiam sejenak melihat ketangkasan Kayla, lalu melanjutkan jahitannya. "Tumor terangkat total, lapangan operasi bersih. Kita mulai penutupan," ucap Arthur lantang dan memberikan sinyal lega bagi seluruh tim di ruangan itu.
Setelah proses penutupan selesai dan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, tim mulai keluar dari ruang operasi untuk melakukan dekontaminasi. Kayla melepas maskernya, wajahnya terlihat sangat lelah namun matanya berbinar puas dan keringat membasahi dahinya.
Beberapa residen senior yang tadi sempat meragukannya menghampiri Kayla saat sedang mencuci tangan. "Kerja bagus, Kayla. Aku tidak menyangka koas bisa se-stabil itu memegang retractor selama lima jam. Kamu bahkan tahu kapan harus bergerak tanpa instruksi berlebih," puji salah satu residen senior dengan tulus.
"Terima kasih, Kak," jawab Kayla dengan senyum rendah hati.
Di sudut wastafel, Arthur sedang mengeringkan tangannya dan ia mendengar pujian itu. Setelah para residen pergi, Arthur berjalan mendekati Kayla, Arthur berdiri cukup dekat sehingga Kayla bisa merasakan aura kepuasan dari suaminya.
"Aku tidak salah memilihmu hari ini, kamu melakukan tugasmu lebih baik dari beberapa residen yang pernah membantuku, aku bangga padamu, Dokter Muda Kayla," ucap Arthur pelan hingga hanya Kayla yang mendengarnya.
Hati Kayla rasanya ingin meledak kegirangan atas pujian dari sang suami, "Terima kasih, Dok. Semua karena bimbingan Dokter yang sangat keras," goda Kayla pelan.
Arthur mendengus pelan, hampir menyerupai tawa kecil. "Istirahatlah, makan yang benar. Aku harus menemui keluarga pasien," ucap Arthur dan diangguki Kayla.
Setelah seminggu yang penuh dengan ketegangan, air mata dan drama ruang operasi, akhirnya hari libur yang dinanti tiba. Apartemen yang biasanya terasa dingin kini menghangat dengan cahaya matahari pagi yang menembus jendela besar di ruang tengah.
Tidak ada jas putih, tidak ada stetoskop dan yang paling penting tidak ada embel-embel Dokter dan Koas.
Kayla baru saja keluar dari kamar dengan pakaian rumahannya yang santai yakni kaos kebesaran dan celana pendek. Kayla menemukan Arthur sudah duduk di sofa, namun pemandangannya sangat asing. Arthur tidak sedang membaca jurnal medis atau laporan pasien, ia sedang duduk santai dengan kaos oblong hitam, memegang sebuah buku.
"Mas, gak baca hasil MRI hari ini?" goda Kayla sambil berjalan menuju dapur.
Arthur menurunkan bukunya sedikit, menatap Kayla dengan tatapan lembut yang hanya ia tunjukkan di rumah. "Hari ini MRI dilarang masuk ke apartemen ini, aku ingin menjadi manusia biasa selama 24 jam," ucap Arthur.
"Hahaha, tumben," ucap Kayla.
Setelah itu, Kayla pun mulai sibuk membuat sarapan untuk dirinya dan juga suaminya, karena Kayla tidak bisa memasak bebagai macam masakan, sehingga Kayla hanya memasak nasi goreng.
Tak lama kemudian, nasi goreng buatan Kayla pun jadi. "Mas, ayo makan, nasi gorengnya udah jadi," ucap kayla.
Arthur pun menutup bukunya dan menuju meja makan, Arthur duduk berhadapan dengan Kayla. Meja makan yang biasanya diisi dengan diskusi kasus medis yang berat, kini hanya dihiasi suara denting sendok dan tawa kecil. Arthur menikmati nasi goreng buatan Kayla, ia mengunyahnya perlahan sambil menatap Kayla yang tampak jauh lebih rileks tanpa beban laporan rumah sakit.
"Mas, rasanya gimana? Enak gak?" tanya Kayla antusias dan menunggu testimoni dari lidah Arthur yang biasanya sangat pemilih.
Arthur menelan makanannya, lalu mengangguk pelan. "Lebih enak dari nasi goreng kantin rumah sakit. Setidaknya, ini dibuat dengan tenang, bukan dengan terburu-buru karena ada panggilan cito," jawab Arthur dan Kayla pun tertawa mendengarnya.
Setelah sarapan, Arthur tidak membiarkan Kayla mengerjakan semuanya sendiri. "Biar aku yang mencuci piring, kamu istirahat saja atau siapkan baju, kita akan mencuci pakaian hari ini," ucap Arthur sambil menggulung lengan kaos hitamnya.
Melihat sang Kepala Departemen Bedah Saraf yang biasanya memegang pisau bedah kini memegang spons cuci piring adalah pemandangan yang sangat menggemaskan bagi Kayla, ia segera mengambil ponselnya dan memotret Arthur secara diam-diam.
"Kalau orang-orang rumah sakit lihat ini, reputasi sang maestro bedah saraf Mas bakal hancur dalam sekejap," ucap Kayla dan tawanya pun pecah membayangkannya.
Arthur hanya menoleh sekilas dengan senyum tipis, "Reputasiku hanya berlaku di gedung rumah sakit, di luar itu aku bukan siapa-siapa," jawab Arthur.
Setelah urusan dapur selesai, Arthur dan Kayla pun melanjutkan pekerjaan lainnya, di mana Arthur membantu Kayla menjemur pakaian di balkon. Sinar matahari pagi yang hangat menerpa wajah mereka, menciptakan momen damai yang sangat langka, Arthur dengan telaten mengibaskan pakaian satu per satu sebelum menjemurnya, sementara Kayla memperhatikannya dengan senyum yang tak kunjung pudar.
"Mas ternyata pintar juga ya menjemur baju," ucap Kayla.
"Dulu waktu kuliah di luar negeri, aku melakukan semuanya sendiri, Kayla. Jadi ini bukan hal baru bagiku," jawab Arthur tanpa mengalihkan pandangannya dari jemuran.
"Papa Bastian kan orang kaya, masa Mas masih nyuci sendiri pas kuliah gak pakai mesin cuci?" tanya Kayla.
"Entahlah, aku gak kepikiran buat pakai mesin cuci dulu," ucap Arthur.
"Makanya di rumah Mas gak ada mesin cuci, aku aja selalu pakai mesin cuci," ucap Kayla kesal.
"Buat apa mesin cuci, ada pembantu yang datang dan bawa ke tempat laundry," ucap Arthur.
"Aku belum kenal pembantu di apartemen ini loh, Mas. Soalnya kan Mbaknya cuma kerja pas hari biasa, dari jam 10 sampai jam 3 sore, sedangkan aku berangkat jam 7 dan pulangnya jam 6 atau bahkan lebih malam. Kalau pas liburan Mbaknya libur, jadi belum sempat kenalan," ucap Kayla.
"Namanya Mbak Ratna, dia itu pembantu di rumah Papa dan aku gak percaya sama orang lain makanya Mama yang nyuruh Mbak Ratna buat bantu disini juga, nanti kalau kamu ke rumah Papa pasti ketemu Mbak Ratna," ucap Arthur.
"Oh gitu ya," ucap Kayla.
.
.
.
Bersambung.....