NovelToon NovelToon
Pesona Kakak Posesif

Pesona Kakak Posesif

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:504
Nilai: 5
Nama Author: Dwi Asti A

Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kelakuan Hanin Bikin Panas Dingin

Perlahan Hanin melepaskan pegangan tangannya dari pundak Satya untuk mencoba berdiri sendiri. Satya terus berada di dekatnya untuk berjaga-jaga.

Hanin akhirnya bisa berdiri dengan kedua kakinya saat ini. Jantungnya berdebar-debar karena cemas dan tegang. Sebelum mencoba melangkahkan kakinya, Hanin terus meminta Satya untuk tidak jauh-jauh.

“Kakak ada di depanmu, Hani, kau tidak perlu takut, ayo cobalah melangkah!” pinta Satya.

Satu, dua langkah Hanin mencobanya pelan dan hati-hati akhirnya berhasil. Meskipun kakinya masih terasa berat karena belum terbiasa. Di depannya Satya membimbingnya seperti seorang yang sedang mengajari anak kecil belajar berjalan.

“Terus, Hani, kamu sudah bisa, dan beberapa langkah lagi kau akan sampai di tempat tidurmu, ayo!” Teriak Satya memberikan semangat.

“Jangan buru-buru, Kak, Hani takut jatuh!”

“Tidak akan, lihatlah kau sudah melangkah cukup jauh bukan? Apa kau merasakan sakit?”

Hanin menggeleng.

“Itu artinya kakimu memang sudah sembuh. Teruslah melangkah Kakak menunggumu di sini!” Satya berdiri di sisi tempat tidur menunggu Hanin yang masih berjarak dua meter dari hadapannya. Satya tersenyum senang melihat Hanin akhirnya bisa berjalan kembali walaupun masih tertatih-tatih karena perasaan takut yang masih mendera hatinya. Satya tak berhenti untuk terus memberikan semangat.

Satu langkah lagi Hanin sampai di tempat Satya, ketika hal yang tak terduga terjadi. Seekor tikus tiba-tiba muncul bersamaan pintu yang dibuka dari luar, spontan berlari melintas di hadapan Hanin membuat Hanin terkejut dan kehilangan keseimbangannya. Hanin terjatuh menubruk Satya yang masih berdiri di hadapannya dan menindihnya di tempat tidur.

Satya tercekat beberapa saat ketika bibirnya menyentuh wajah Hanin.

“Hanin, Satya, kalian sedang apa?” tanya Miranda saat membuka pintu melihat dua anaknya berada di tempat tidur dengan posisi saling menindih.

Satya mendorong tubuh Hanin pelan menyingkir dari tubuhnya.

“Hani sedang belajar berjalan, tapi kedatangan Mama begitu tiba-tiba mengagetkan seekor tikus dan berlari mengejutkan Hani. Beruntung dia tidak jatuh ke lantai,” jelas Satya.

“Maafkan mama, mama tidak tahu, tapi kalian berdua baik-baik saja kan?” Miranda menghampiri Hanin dan mengecek keadaannya.

“Hani tidak apa-apa, Mah.”

“Syukurlah.” Miranda menarik nafas lega. Dia juga merasa sangat bahagia mengetahui putrinya sudah bisa berjalan. Dengan tidak sabaran Miranda buru-buru pergi untuk memberitahu Elvan kabar baik itu.

Usai kejadian itu Hanin dan Satya terlihat sangat canggung. Namun, Satya lebih mudah mengembalikan situasi menjadi normal kembali ketimbang Hanin yang tak bisa melupakan kejadian yang baru saja terjadi.

“Jika tidak ada lagi yang dilakukan kakak di sini kakak akan pergi ke kamar dulu. Kak Satya juga harus mandi, gerah,” kata Satya.

“Iya, Kak, terima kasih.”

••

Malam hari mereka berkumpul di ruang keluarga. Elvan mengatakan ada hal penting yang harus dia katakan kepada Hanin dan Satya malam itu juga. Hal penting apa, mereka berdua hanya bisa menerka-nerka.

“Esok papa ada tugas keluar kota selama dua hari, dan papa juga mengajak Mama untuk menemani di sana. Apa kalian berdua tidak apa-apa kami tinggal?” tanya Elvan memulai pembicaraan.

Hanin dan Satya saling berpandangan seakan meminta pendapat masing-masing.

“Satya tidak masalah, lagi pula saat ini keadaan Hani sudah lebih baik. Dia mulai berani berjalan sendiri.”

“Papa sudah mendengarnya dari Mama, hal itu kebetulan sekali jadi Mama dan papa tidak perlu mengkhawatirkan kondisi Hani, walaupun begitu papa minta kamu tetap menjaga dan mengawasi Hani. Jangan ditinggal kalau tidak benar-benar perlu.”

“Hani juga tidak apa-apa kok, Pah, jangan terlalu mengekang Kak Satya karena Hani. Lagi pula Hani juga belum berani keluar rumah sendirian.”

“Tetap saja papa minta kalian bisa jaga diri kalian selama kami pergi, hanya dua hari.”

“Iya, dan juga ...,” Miranda seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, tampak ragu dan bimbang.

“Mama ingin mengatakan apa?” bertanya Satya yang duduk tak jauh darinya menyadari sikap Miranda yang aneh.

“Bukan apa-apa. Ya sudah, sekarang kalian beristirahat saja, besok kalian masih sekolah.”

Hanin dan Satya beranjak. Satya terhenti langkahnya teringat ada sesuatu yang ingin dia tanyakan.

“Malam ini Hani ...?”

“Biar mama yang menemaninya malam ini,” tukas Miranda menyadari sikap Satya.

“Oke, jadi Satya bisa tidur dengan nyenyak malam ini.” Satya bergegas pergi menuju kamarnya. Hanin masih berdiri termangu di tempatnya. Dia ingin meminta bantuan Satya sekali lagi untuk mengantarnya ke kamar, tapi Satya keburu pergi meninggalkannya.

Dilihatnya kedua orang tuanya pun tampak sedang berbicara cukup serius, Hanin tidak berani mengganggunya. Dengan langkah pelan dan hati-hati dia berjalan menuju kamarnya, berpegangan pada dinding rumah hingga dia sampai di tempat tidurnya.

Hanin memijit-mijit kakinya yang sebenarnya masih terasa ngilu saat dibawa berjalan. Namun, Hanin menyembunyikan hal itu untuk membuat keluarganya senang tak perlu mencemaskannya lagi. Sudah cukup lama dirinya merepotkan seisi rumah dengan cedera kakinya. Dia akan berusaha sendiri untuk kembali pulih.

Tengah malam saat Hanin ingin minum ternyata persediaan air habis, dia pun tak membangunkan Miranda yang tidur dengan pulasnya dan memilih pergi sendiri menuju dapur.

Malam itu suasana cukup mencekam. Hujan di luar sangat deras disertai petir dan kilat yang menyambar-nyambar. Di tambah suasana ruangan yang gelap.

Setelah berhasil mengambil sebotol air, dengan terburu-buru Hanin berjalan kembali menuju kamarnya. Petir yang menggelegar mengagetkan Hanin sampai dia berjalan tanpa menyadari kursi di hadapannya. Hanin mengaduh lantaran lututnya terbentur kursi.

Hanin mendesis menahan rasa yang begitu nyeri, sekaligus menahan takut sampai kedua matanya berkaca-kaca.

“Kak Satya,” lirih Hanin berharap Satya datang menolongnya, sembari memegangi lututnya.

Sunyi dan tak ada siapa pun memaksa Hanin untuk kembali berjalan.

“Hani?”

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Orang yang diharapkannya akhirnya muncul juga. Melihat Satya, Hanin seketika memeluknya sambil menangis.

“Kamu sedang apa di sini? Di mana Mama?” tanya Satya.

“Hanin haus dan ingin minum, tapi Hani tidak ingin mengganggu mama.”

“Lalu kenapa menangis?”

“Lutut Hani sakit, terbentur kursi.”

Melihat Hanin ingsrek-ingsrekan Satya bisa merasakan sakitnya.

“Pasti sakit sekali. Seharusnya kau bangunkan saja mama, dia tidak akan marah,” kata Satya.

Hanin hanya manggut-manggut. Satya tak punya pilihan lain selain mengangkat tubuh Hanin, lalu mendudukkannya di sofa. Setelah itu pergi mengambil kotak P3K.

“Kakak keluar ingin minum juga?” tanya Hanin.

“Bukan, kak Satya tadinya ingin pergi ke ruang kerja papah, meminjam laptop. Laptop kakak eror,” jawab Satya sembari mengoleskan minyak untuk memar di lutut Hanin. Hanin mendesis menahan nyeri.

“Sakit?”

“Sedikit.”

“Lain kali jangan pergi sendirian.”

“Iya.”

“Sekarang kakak antar ke kamar.”

Satya kembali membopong tubuh Hanin. Dia tak menyadari Hanin terus menatap dirinya tanpa berkedip.

Setibanya di depan pintu, Satya menghentikan langkahnya ketika tiba-tiba Hanin mendaratkan kecupan di pipinya.

“Hani ...,” tegur Satya menatap tajam Hanin.

“Hanya untuk ucapan terima kasih,” ungkap Hani memberikan alasan untuk ciuman itu.

“Jangan diulangi lagi,” pesan Satya.

“Kenapa?”

“Pokoknya jangan, atau kak Satya tidak akan membantumu lagi.”

Hanin cemberut mendengar ancaman Satya. Dia pikir itu hanya ciuman pipi kenapa Satya harus marah.

1
D Asti
Semoga suka, baca kelanjutannya akan semakin seru loh
María Paula
Gak nyangka endingnya bakal begini keren!! 👍
Majin Boo
Sudut pandang baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!