Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26.
“Ana anget mlebu ing ubun ubun ku terus mlebu dodo… Nyi..” suara lirih pemuda itu..
(Ada hangat masuk ke ubun ubun ku terus ke dadaku… Nyi..)
Kodasih berkata pelan:
“Iki aji sing alus… ora maksa… mung mbukak lawang rasa sing wis mbok pendem.”
( Ini aji yang lembut.. Tidak memaksa… hanya membuka pintu perasaan yang sudah kau pendam.)
Dan .. Pemuda itu pergi dengan hati lebih ringan, penuh harapan...
Tetapi begitu pintu tertutup, bayangan berdesis:
“Mboten maksa? Nanging rasa wong iku… manis tenan…”
(Tidak memaksa? Tapi perasaan manusia itu… sangat manis…)
Kodasih tidak menjawab.
Tapi ia merasakan sesuatu berubah di dalam dirinya.
Sesuatu tumbuh...
Sesuatu lapar....
Malam malam berikutnya, joglo Kodasih tidak lagi pernah sepi. Kabar tentang “Dukun Nyi Kodasih baru” menyebar cepat, lebih cepat dari desir angin desa. Mereka bilang: Kodasih bukan Kodasih yang dulu. Ia kini bisa melihat rasa sakit dalam tubuh seseorang seperti orang melihat noda di kaca. Kodasih lebih sakti..
Orang lumpuh yang kembali berjalan.
Perempuan mandul yang pulang dengan harapan.
Lelaki sombong yang keok oleh aji pengasih yang memantul balik.
Para pejabat kota yang minta jimat.. dan lain sebagainya...
Nama Kodasih menyebar hingga ke desa desa yang jauh. Di kalangan para dukun sepuh, mulai berbisik bisik:
“Dasih iku ora mung nyambung antarane jagad terang lan peteng… Dheweke sing nggawe loro jagad manut.”
(Dasih bukan hanya penghubung dunia terang dan gelap… Dialah yang membuat dua dunia itu tunduk.)
“Mbah Ranti wae kalah.”
(Mbah Ranti saja kalah)
Mereka takut.. . Dan tidak ada yang berani mendekat.
Pada suatu malam, Kodasih duduk di depan cermin. Udara tiba tiba mengental, seperti ada kabut hitam yang tidak terlihat mata biasa.
Bayangan di punggungnya bergerak...
Mengembang perlahan.
Melebar.
Lalu menjadi dua sayap gelap yang tebal, namun samar, seperti asap yang menolak hilang.
Kodasih membeku.
“Apa ini…?”
Bayangan dalam dirinya menjawab:
“Iki tandha: kowe ora mung duwe aku. Kowe sing nguwasani aku.”
(Ini tandanya: kau tidak hanya memiliki aku. Kaulah yang menguasai aku.)
Kodasih menyentuh ujung sayap itu. Rasanya dingin dan hangat sekaligus. seperti memegang bayangan yang hidup.
“Aku… jadi apa sekarang?” tanya Kodasih.
Bayangan itu mendengung lembut.
“Kowe dadi apa sing wis mbok tunggu…
Ayu enom
Dukun sakti.
Ratu Bayangan.
Penyembuh sing mangan rasa sakit.
Wanita sing pantes ditakuti… lan disembah.”
(Kau menjadi apa yang sudah lama kau tunggu…
Cantik muda
Dukun sakti.
Ratu Bayangan.
Penyembuh yang memakan rasa sakit.
Perempuan yang pantas ditakuti… dan disembah.)
Kodasih menatap pantulan dirinya.
Sayap hitam di belakang nya berkibar perlahan, seakan mengikuti denyut jantung nya sendiri.
Ia tersenyum.
Senyum itu tenang.
Elegan.
Dalam.
Tapi bukan… bukan lagi… senyum manusia.
Sejak malam itu, kekuatan Kodasih tumbuh seperti akar beringin tua.. pelan, pasti, dan tak bisa dicabut lagi. Setiap orang yang datang, setiap penderitaan yang ia sembuhkan, membuat bayangan di dadanya semakin besar… dan semakin lapar....
Awalnya Kodasih menolak. Kemudian ia belajar menoleransi. Dan akhirnya… ia menikmati.
🌑🌑🌑
Pada suatu hari, Seorang lelaki tua datang dengan penyakit kulit yang membuatnya dijauhi warga. Kodasih hanya mengangguk kecil, memejamkan mata, dan membiarkan sayap bayangan menjulur dari punggungnya.
Lelaki itu menjerit.. jeritan yang sangat panjang... tapi Kodasih tidak menghentikan ritual nya. Tidak seperti biasanya.
Arjo yang baru datang karena mendapat kabar perkembangan Kodasih dari Kang Pono.. mendobrak pintu sambil berteriak,
“Nyi! Cukup! Kelebihan itu! Kebangeten!”
“DIAM, Jo.”
Suara Kodasih rendah, gelap, dan mengandung sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri. Bahkan Arjo mundur setapak sambil geleng geleng kepala..
“Apa Ilmu Mbah Ranti turut mempengaruhi ke dalam diri Nyi Kodasih. “ gumam Arjo di dalam hati
Bayangan Kodasih merenggut penyakit lelaki itu dengan rakus… tapi tidak berhenti di sana. Ia mengambil lebih: rasa takut lelaki itu, kehinaan yang ia pendam, bahkan impian yang pernah ia punya dan impian itu sudah mati sejak dulu..
Lelaki tua itu pingsan.
Tapi penyakitnya hilang.
Tubuhnya bersih.
Namun.. Jiwanya… kosong.
Kodasih tersenyum kecil.
“Waras,” ucapnya tenang.
Arjo menatapnya dengan wajah muram.
“Nyi… sing metu saka tangan iku… ora kaya kowe sing biasane.”
(Nyi .. yang keluar dari tangan mu itu.. tidak seperti yang biasanya..)
Bayangan dalam dada Kodasih berbisik lembut:
“Sing biasa iku lemah, Dasih… Iki kuasa sejati…
Iki sing kudune tansah kowe rasakke…”
(Yang biasa itu lemah Dasih.. yang ini kuasa sejati.. ini yang harus kamu rasakan)
Dan Kodasih… tidak membantah.
Pada hari yang lain. Seorang janda muda datang meminta bantuan: ia ingin suaminya kembali mencintai, meski cinta itu sudah lama mati.
Kodasih menatap perempuan itu lama.
Senyum muncul di bibirnya.
“Wes… Aku bantu. Ning… ana regane.”
(Ya ..Aku bantu.. tapi ada harganya..)
Perempuan itu mengangguk tanpa curiga.
Kodasih menyentuh ubun ubun janda itu dengan dua jarinya.
Sayap bayangan mengembang.
Aji pengasih yang seharusnya lembut… berubah menjadi belitan halus yang masuk ke dalam jiwa perempuan itu.
“Wis rampung,” kata Kodasih, menyeringai.
Beberapa hari kemudian, suami perempuan itu datang , menangis dan memohon mohon ingin rujuk dengan istrinya..
Namun perempuan itu berubah.
Tatapannya kosong.
Senyumnya mati.
Ia mencintai suaminya.. benar.. tapi rasa itu seperti lampu yang tak bisa dimatikan, membakarnya dari dalam.
Suaminya kembali lagj datang kepada Kodasih, menangis.
“Nyi… bojo kula kok dadi kados… kados boneka… ora nduwe karep liya…”
(Nyi .. istri saya kok jadi seperti... seperti boneka.. tidak punya keinginan lainnya.... )
Kodasih hanya menjawab dengan suara yang tenang tapi dingin:
“Kowe sing njaluk dheweke mencintai kowe. Saiki dheweke mung nindakake.”
(Kamu yang minta dia mencintai kamu.. sekarang dia hanya melaksanakan..)
Suami itu mundur ketakutan.
Untuk pertama kalinya, warga berbisik:
“Kodasih wis dadi keluwen… lan keluwihan ”
(Kodasih sudah jadi kelaparan dan kelebihan..)
Dan Kodasih mendengar bisikan itu... ia hanya tersenyum.
Arjo yang mendapatkan laporan dari banyak orang tentang Kodasih, kembali mendatangi Kodasih malam itu.
“Nyi… Panjenengan wis mlebu adoh. Bayanganmu ora mung manut, saiki malah njupuk.”
(Nyi , Panjenengan sudah masuk terlalu jauh.. Bayangan mu tidak hanya tunduk, sekarang malah mengambil)
Kodasih menatap dengan mata berlapis dua.
“Bayanganku ora njupuk apa apa sing ora sepantas e dijupuk.”
(Bayanganku tidak mengambil apa apa yang bukan sepantasnya diambil)
“Panjenengan mangan rasa wong! Mangan pikirané! Iki ora pengobatan maneh!”
(Panjenengan makan rasa orang! Makan pikiran nya! Ini bukan pengobatan lagi!)
Kodasih maju selangkah.
Bayangan di punggungnya menjulur seperti lidah gelap.
“Jo… kowe sing ngajari aku nyawiji karo petengku. Saiki petengku maringi bali apa sing kudune dadi hakku.”
(Jo.. kamu yang mengajari aku menyatu dengan gelap ku. Sekarang gelap ku memberi apa yang harusnya menjadi hak ku)
Arjo menatapnya dengan duka mendalam.
“Panjenengan dadi luwih saka dukun. Ning Panjenengan dadi kurang saka manungsa.”
(Panjenengan jadi lebih dari dukun. Tapi Panjenengan jadi kurang dari manusia)
Kodasih menunduk, tersenyum.
“Manungsa sing paling kuwat… yaiku sing gelem ninggalake kamanungso ne.”
(Manusia yang paling kuat.. yaitu yang mau meninggalkan kemanusian nya)
Arjo bergidik.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia… takut.
....
Yang masih punya vote, lempar ke sini yukk say ♥️♥️♥️♥️♥️🙏🙏🙏🙏🙏🥰🥰🥰🥰🥰