Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Jingnan & Yaoqin
Setelah pintu kamar itu tertutup rapat, Jingnan langsung berbalik. Tanpa ragu, ia memeluk Yaoqin erat, seakan takut jika wanita di hadapannya hanyalah bayangan dari masa lalu.
Yaoqin pun membalas pelukan itu, matanya berkaca-kaca namun bibirnya tersenyum lembut.
“Akhirnya… kita bertemu lagi setelah sekian lama,” ucap Yaoqin lirih, suaranya penuh kehangatan.
Jingnan menarik napas dalam-dalam, seakan ingin memastikan kehadiran sahabat lamanya itu nyata.
“Bagaimana kau bisa menikah dengan Jianhong?” tanyanya, nada suaranya bercampur heran dan tak percaya.
Yaoqin tersenyum kecil, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka.
“Ceritanya panjang,” katanya. “Saat itu aku sedang mencari bahan-bahan digunung yang Shifu minta. Di tengah perjalanan, aku tak sengaja bertemu para perampok. Jika bukan karena Jianhong… mungkin aku tak akan berdiri di sini sekarang.”
Jingnan terdiam, mendengarkan dengan saksama.
“Dia menyelamatkanku, lalu mengantarku kembali,” lanjut Yaoqin. “Sejak hari itu, setiap kali aku pergi ke pasar menjual sayuran, aku selalu bertemu dengannya. Entah kebetulan… atau memang takdir.”
Jingnan tersenyum tipis, namun sorot matanya berubah lebih serius. Ia mendekat dan mengecilkan suaranya.
“Lalu… apakah Jianhong tahu tentang Shifu… dan tentang dirimu?” tanyanya pelan.
Yaoqin menggeleng.
“Tentu saja tidak semuanya. Ada hal-hal yang tak seharusnya dia tau kusembunyikan.”
Ia tertawa kecil. “Tentang Shifu, aku hanya bilang bahwa Shifu adalah ayahku.”
“Bagus,” ucap Jingnan lega.
“Bagaimana kabar Shifu?” tanya Jingnan lagi, nada suaranya melunak.
“Baik. Shifu masih setia tinggal di kediamannya, jauh di dalam hutan,” jawab Yaoqin. “Shifu sering menyebut namamu. Beliau merindukanmu.”
Jingnan menunduk sejenak.
“Aku sudah lama tak mengunjungi Shifu…”
“Bukan hanya Shifu,” Yaoqin melangkah maju dan kembali memeluk Jingnan. “Aku juga merindukanmu.”
Pelukan itu terasa hangat dan penuh makna. Setelah sekian lama, dua sahabat yang menyimpan rahasia besar akhirnya dipertemukan kembali oleh takdir.
......................
Sementara itu, di lapangan latihan Junwei Jun, suasana sangat berbeda.
Weifeng berdiri tegak, memimpin latihan prajurit dengan wajah tegas. Setiap perintahnya menggema di udara Pegunungan Longfeng.
Di sisi lain, Mei Yin duduk dengan wajah cemberut, kedua lengannya terlipat di depan dada.
Ia melirik ke arah para prajurit yang sedang berlatih, lalu ke pedang yang tergeletak di dekatnya.
Keinginannya untuk ikut latihan selalu kandas—terutama karena caranya memegang pedang yang membuat para prajurit ngeri. Siapa pun akan takut jika pedang itu tiba-tiba melayang tanpa arah.
“Hidup ini terlalu berat untuk putri selembut aku,” gumam Mei Yin dramatis.
Tatapannya lalu tertuju pada Jingyan yang sedang berjalan bersama tabib Ling An. Mata Mei Yin langsung berbinar.
Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan berlari menghampiri mereka.
“Yanyan jiejie!” serunya.
“Mei Yin, ada apa?” Jingyan menoleh.
Mei Yin langsung memeluk lengan Jingyan erat.
“Jie, aku bosan di sini. Bisakah kita kembali ke istana saja?” rengeknya.
Jingyan mengangkat alis.
“Bukankah kau yang paling semangat saat kita datang ke sini? Mengapa sekarang ingin pulang secepat ini?”
“Aku bosan!” Mei Yin mendengus. “Lihatlah, Yanyan jiejie… Nannan jiejie, Weifeng gege, bahkan ayah saja tidak membiarkanku ikut latihan.”
Ling An yang berjalan di samping mereka tersenyum lembut.
“Putri ditakdirkan menjadi putri yang anggun dan lembut. Tidak perlu latihan pedang atau menjadi jenderal.”
“Benarkah?” Mata Mei Yin berbinar.
“Jadi aku anggun dan lembut?”
Ling An mengangguk sambil tersenyum.
“Baiklah!” Mei Yin langsung berubah ceria. “Kalau begitu aku akan jadi putri yang anggun dan lembut saja!”
Jingyan hanya bisa menggelengkan kepala, senyumnya tak pernah lepas.
“Oh iya,” Mei Yin tiba-tiba teringat sesuatu. “Jie, tabib Ling An, buah yang dibawakan Nannan jiejie itu kalian dapat dari mana?”
“Memangnya kenapa?” tanya Jingyan curiga.
“Aku juga mau ke sana!” jawab Mei Yin cepat.
“Tidak boleh,” Jingyan langsung menolak. “Kita baru beberapa hari di sini. Belum tahu apakah banyak hewan buas disekitar sini.”
“Tapi aku mau…” Mei Yin merengek.
“Tidak boleh, Mei Yin,” ucap Jingyan lembut namun tegas.
“Iss… baiklah-baiklah,” Mei Yin mendengus kesal.
Ling An memperhatikan mereka dengan senyum tipis.
Kehangatan keluarga ini terasa begitu nyata—terlalu nyata.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu.
Jika saatnya tiba, kehangatan ini mungkin akan ia hancurkan sendiri… demi dendam yang telah lama ia simpan, dendam yang tak pernah benar-benar padam.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️