Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 24: Batu Uji Moralitas
Kabut pagi menggantung rendah di lereng gunung. Udara di sana berbau tanah lembap dan kematian yang belum sempat membusuk. Liang Chen berdiri di sisi tebing bersama Guru Kui Xing. Di bawah mereka, lembah sempit terbentang, dan di tengahnya tergeletak dua bangkai monster besar yang sudah kaku.
Salah satunya seekor Serigala Bayangan yang kulitnya tertusuk tanduk baja dari lawannya, seekor Banteng Batu. Sisa energi mereka masih bergolak, seperti api yang enggan padam.
“Tempat ini baru saja menyaksikan pertarungan hidup dan mati,” ujar Guru Kui Xing. Suaranya datar, nyaris tenggelam dalam kabut. “Energi Pembantaian yang tersisa di sini lebih murni daripada yang kau temui di pertempuran manusia. Tidak ada niat, hanya insting bertahan.”
Liang Chen menatap lembah itu. Ia dapat merasakan hawa panas samar yang keluar dari bangkai-bangkai itu. Energi yang bergetar, menjerit tanpa suara. Ia menelan ludah, lalu bertanya pelan, “Apakah aku harus menyerapnya, Guru?”
“Ya,” jawab Guru Kui Xing. “Itu tugasmu hari ini. Namun ingat, jangan serap seluruhnya. Energi Pembantaian membawa jejak kehendak makhluk yang mati. Jika kau tidak memilahnya, kau akan menelan kenangan kebencian mereka bersama kekuatannya.”
Liang Chen menunduk hormat. Ia menuruni jalur batu yang curam, langkahnya teratur meski udara di sekitarnya semakin berat.
Semakin dekat ke dasar lembah, hawa kematian semakin terasa nyata. Rumput layu di bawah kakinya, burung-burung enggan berkicau di sekitar. Ia berhenti di antara dua bangkai itu, duduk bersila, dan meletakkan Kesunyian Malam di pangkuannya.
Ia menutup mata.
Perlahan, ia membuka jalur meridiannya, membiarkan Energi Pembantaian di udara meresap. Gelombang pertama terasa seperti bara yang menyentuh kulit.
Gelombang kedua menembus dadanya, menimbulkan rasa terbakar di seluruh tubuh. Energi itu tidak lembut seperti Energi Samawi yang diajarkan di desanya dulu. Ini kasar, penuh teriakan dan luka yang tak terlihat.
Suara-suara mulai muncul di pikirannya.
Gema dari binatang yang mati.
Gema dari ketakutan dan kebencian mereka.
Seekor Serigala Bayangan melolong dalam kesadaran Liang Chen, memanggil kawan-kawan yang telah mati.
Seekor Banteng Batu meraung, mengutuk langit karena kalah. Liang Chen menggertakkan giginya, tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya tersengal, namun ia berusaha tetap tenang.
“Aku bukan mereka,” gumamnya lirih. “Aku tidak akan menelan amarah mereka.”
Energi Pembantaian yang memasuki tubuhnya mulai bergerak liar, mencoba mendominasi jiwanya. Ia dapat merasakan detak jantungnya beriringan dengan teriakan itu.
Seolah dua kehendak saling bertabrakan di dalam dadanya. Darahnya mendidih, matanya mulai berwarna merah samar. Tapi di saat itu, ia teringat pada suara ayahnya di masa lalu.
“Keteguhan, Chen’er. Sekalipun dunia runtuh, kau tidak boleh membiarkan hatimu ikut hancur.”
Liang Chen memegang kalimat itu erat. Ia mengatur napas, memperlambat aliran energi yang masuk. Ia tidak menolaknya, tapi juga tidak membiarkan dirinya tenggelam.
Ia membayangkan Energi Pembantaian itu sebagai aliran air kotor yang harus disaring. Ia memusatkan pikirannya pada Kesunyian Malam, menjadikannya wadah.
Cahaya merah gelap mengalir ke pedang. Bilahnya bergetar ringan, memancarkan aura yang halus namun kuat. Liang Chen membuka mata, dan di sekelilingnya, kabut yang pekat mulai terurai sedikit. Tubuhnya berkeringat, wajahnya pucat, tapi matanya tetap jernih.
Guru Kui Xing yang berdiri di atas batu besar memperhatikannya tanpa berkata apa pun. Di wajah tuanya muncul guratan samar dari kepuasan yang jarang terlihat. Ia tahu betapa sulitnya latihan ini bagi seorang murid yang baru menyentuh inti Jalan Asura.
Liang Chen mengangkat pandangan ke arah gurunya. “Energinya panas dan liar, Guru,” katanya dengan suara berat. “Tapi aku bisa memilahnya sedikit. Rasanya seperti menahan amarah tanpa membiarkannya menguasai.”
Guru Kui Xing mengangguk. “Itu permulaan yang baik. Kau telah meneguk racun tanpa mati. Sekarang, mari kita bicara tentang apa yang membuat racun itu ada.”
Ia berbalik perlahan, memandang jauh ke arah hutan. “Keadilan. Kata itu telah menumpahkan lebih banyak darah daripada pedang mana pun. Hari ini, kau akan belajar bahwa kebenaran dan keadilan tidak selalu berdiri di sisi yang sama.”
Liang Chen naik kembali ke atas lereng di mana Guru Kui Xing menunggunya. Angin gunung membawa bau darah samar dari lembah di bawah, menyatu dengan aroma arak dari labu di tangan sang guru.
Kabut mulai menipis, tetapi atmosfer di sekeliling mereka justru semakin berat. Guru Kui Xing duduk bersila di atas batu datar, matanya menatap jauh ke lembah tanpa benar-benar melihat.
“Chen’er,” ujarnya perlahan, “apa yang menurutmu benar?”
Liang Chen tertegun. Pertanyaan itu terasa sederhana, tetapi tajam seperti ujung bilah. Ia mencoba mencari jawaban yang selama ini dia pegang teguh, namun setiap kata terasa rapuh begitu keluar dari pikirannya.
Ia menunduk, suaranya ragu. “Benar adalah... membela yang lemah. Melindungi yang tidak bersalah.”
Guru Kui Xing tersenyum tipis, bukan karena senang, tetapi seperti mendengar jawaban yang telah ia perkirakan.
“Dan siapa yang menentukan siapa yang lemah dan siapa yang bersalah?” tanyanya lagi. “Kau berasal dari dunia fana. Di sana, keadilan mudah karena kekuatan seimbang. Tapi di dunia kultivasi, keadilan sering kali adalah pedang yang dipegang oleh tangan yang paling kuat.”
Liang Chen menatapnya, wajahnya mulai tegang. “Keadilan tetap harus ada, Guru. Kalau tidak, apa bedanya kita dengan binatang yang bertarung di lembah tadi?”
Guru Kui Xing tidak langsung menjawab. Ia membuka tutup labu araknya, menyesap sedikit, lalu meletakkannya di tanah. “Pertanyaan bagus,” katanya pelan. “Sekarang dengarkan.”
Ia mengisahkan sebuah peristiwa. Ada seorang kultivator dari Sekte Pedang Murni yang membunuh sekelompok pengembara karena mengira mereka pembawa racun iblis.
Setelah penyelidikan, ternyata mereka hanyalah pemburu biasa yang kebetulan menggunakan ramuan hitam untuk mengobati luka. Kultivator itu kemudian disanjung sebagai pahlawan karena telah ‘membersihkan iblis dari dunia’. Tidak ada yang tahu kebenarannya kecuali mereka yang telah mati.
“Apakah itu keadilan?” tanya Guru Kui Xing.
Liang Chen menggenggam lututnya. Hatinya gelisah. “Tidak... Tapi dia tidak tahu. Dia salah, bukan jahat.”
“Dan berapa banyak darah yang bisa dibersihkan dengan alasan ketidaktahuan?” Guru Kui Xing menatap tajam, sorot matanya bagaikan cermin yang memantulkan ketegangan di dada Liang Chen.
“Inilah dunia yang akan kau hadapi, anak muda. Di mana setiap orang percaya bahwa mereka benar. Di mana darah ditumpahkan atas nama kebajikan. Jalan Asura tidak lahir dari kebencian semata. Ia lahir karena dunia ini tidak mengenal batas antara benar dan salah.”
Suara angin mendesir pelan di antara pepohonan. Liang Chen menunduk semakin dalam. Kata-kata itu menusuk sesuatu di dalam dirinya. Ia teringat pada wajah orang tuanya.
Pada para tetangga yang mati dengan mata terbuka, memohon pertolongan yang tak pernah datang. Mereka semua juga percaya pada kebaikan, namun kebaikan itu tidak menyelamatkan mereka.
“Guru...” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Kalau keadilan bisa menjadi alat pembunuhan, bagaimana aku tahu apakah yang kulakukan nanti tidak sama?”
Guru Kui Xing menatapnya lama. “Itulah pertanyaan yang membuat manusia berbeda dari monster. Saat kau berhenti bertanya, saat itu juga hatimu akan mati.” Ia bangkit perlahan dan berjalan ke sisi tebing. “Liang Chen, kau bukan Asura karena darahmu. Kau akan menjadi Asura hanya jika berhenti mempertanyakan alasanmu bertarung.”
Keheningan panjang menyelimuti mereka. Hanya suara desir dedaunan yang menemani. Liang Chen merasa dadanya berat, seolah kata-kata gurunya mengguncang dasar keyakinan yang ia pegang sejak kecil.
Guru Kui Xing kemudian menambahkan, nadanya lembut tetapi dalam. “Kau mencari kebenaran dengan darah dan pedang. Dunia akan memanggilmu iblis, tetapi jika niatmu murni, biarkan mereka bicara. Jalanmu akan diukur bukan oleh kata orang, tapi oleh hati yang tetap sadar di tengah pembantaian.”
Liang Chen mengangkat wajahnya, matanya bergetar. “Aku... ingin mempercayai itu.”
“Baik,” jawab sang guru, memungut labu araknya. “Maka sekarang saatnya kau tahu, apa yang terjadi jika seseorang berhenti percaya.” Ia menatap langit yang mulai memudar warnanya. “Mari kuberitahu kisah Raja Naga Berdarah.”
Langit di atas gunung perlahan berubah warna. Matahari terbenam menorehkan garis oranye di antara kabut yang menggantung di lembah. Liang Chen duduk tegak, matanya mengikuti setiap gerakan kecil sang guru.
Guru Kui Xing menatap jauh ke barat, ke arah matahari yang tenggelam, seolah di sana ada sesuatu yang lebih tua dari cahaya itu sendiri.
“Raja Naga Berdarah,” ucapnya akhirnya, “adalah contoh paling jelas tentang bagaimana kekuatan tanpa kendali akan menelan tuannya.”
Liang Chen mendengarkan dalam diam. Suara angin yang membawa aroma tanah basah menjadi satu-satunya irama yang menyertai penuturan sang guru.
“Dulu, dia bukan siapa-siapa,” lanjut Guru Kui Xing. “Hanya seorang murid biasa di salah satu sekte ortodoks besar. Tekun, berbakat, dan memiliki keyakinan kuat akan keadilan.
Ia berjuang untuk menjadi pelindung rakyat kecil, sebagaimana yang kau impikan sekarang. Tapi dunia ini, Chen’er, tidak murah hati pada orang yang bermimpi terlalu murni.”
Ia berjalan perlahan, mengambil batu kecil dari tanah dan melemparkannya ke lembah. Batu itu jatuh tanpa suara.
“Dia menyaksikan kematian gurunya, teman-temannya, bahkan sektenya sendiri, dibantai oleh mereka yang mengaku suci. Semua karena perebutan harta spiritual dan posisi kekuasaan. Itulah hari di mana hatinya patah, dan keadilannya berubah bentuk.”
Liang Chen menunduk. Cerita itu menggema di dadanya. Ia bisa merasakan amarah yang pernah membakar orang itu, amarah yang sama yang kini berdenyut di jantungnya sendiri.
Guru Kui Xing berhenti di hadapan Liang Chen. “Ia mencari kekuatan, tidak peduli dari mana asalnya. Ia menenggelamkan dirinya dalam Energi Pembantaian, berharap bisa menegakkan keadilan dengan membantai kejahatan.
Tapi ketika darah mulai mengalir terlalu banyak, Energi Pembantaian itu berhenti menuruti perintahnya. Ia menjadi budak dari amarah yang ia panggil.”
“Dan setelah itu?” Liang Chen bertanya pelan.
Guru Kui Xing menatap langit yang mulai gelap. “Setelah itu, tidak ada lagi ‘ia’. Hanya monster yang memakai wajah manusia. Jalan Asura tidak menolaknya, tetapi dunia menolak keberadaannya. Ia menjadi ancaman bagi semua pihak, bahkan bagi mereka yang dulu ia lindungi.”
Liang Chen terdiam. Angin membawa daun-daun kering menari di antara mereka. Cerita itu bukan hanya kisah masa lalu, tapi juga peringatan yang hidup.
Guru Kui Xing menatap muridnya, nada suaranya berubah menjadi lebih lembut. “Aku tidak menceritakan ini untuk menakutimu, tetapi agar kau tahu betapa tipis batas antara pahlawan dan iblis. Dunia tidak peduli apa yang ada di hatimu. Mereka hanya akan melihat darah di tanganmu.”
Liang Chen menggenggam lututnya. “Kalau begitu,” katanya perlahan, “apa gunanya semua ini? Kalau dunia akan tetap membenciku, kenapa aku harus menahan diri?”
Guru Kui Xing tersenyum tipis. “Karena dunia tidak membutuhkan kau untuk menjadi pahlawan, Liang Chen. Dunia butuh kau untuk tetap sadar. Itulah bedanya antara iblis dan manusia. Iblis membunuh untuk membuktikan kekuatannya. Manusia melawan karena tahu apa yang pantas dilindungi.”
Ia berjalan mendekat, menepuk bahu muridnya. “Kau masih muda. Amarahmu wajar. Tapi jangan biarkan amarah menjadi satu-satunya alasanmu bergerak. Biarkan ia menjadi bahan bakar, bukan kemudi.”
Liang Chen mengangkat wajahnya, menatap mata gurunya. Di balik ketenangan itu, ia melihat sesuatu, penyesalan yang dalam, seolah sang guru pernah gagal menyelamatkan seseorang yang berjalan di jalur yang sama.
Guru Kui Xing berbicara lagi, kali ini suaranya lebih perlahan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri.
“Aku pernah melihat seorang murid yang sangat mirip denganmu. Matanya juga menyimpan api yang sama. Tapi ia memilih mendengarkan bisikan amarah. Ia percaya dirinya cukup kuat untuk mengendalikannya. Kini, ia menjadi nama yang dibisikkan dengan takut di dunia bawah.”
Liang Chen terdiam. “Dia juga muridmu?”
Guru Kui Xing tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke hutan, lalu berkata, “Tugasku sekarang adalah memastikan kau tidak menjadi dia.”
Keheningan kembali. Kabut menebal, menyelimuti mereka seperti tirai yang memisahkan dua masa: masa lalu dan masa depan. Liang Chen menunduk, hatinya bergetar oleh campuran rasa takut dan tekad.
“Guru,” katanya akhirnya, “kalau Jalan Asura adalah jalan yang menelan semua yang berjalan di atasnya, apakah masih ada cara untuk tetap manusia?”
Guru Kui Xing menatapnya dalam. “Ada. Tapi itu adalah jalan yang paling menyakitkan. Kau harus menatap dirimu sendiri di cermin darah dan tidak berpaling.”
Liang Chen mengangguk perlahan. “Aku mengerti.”
“Belum,” jawab sang guru. “Kau akan mengerti setelah kau gagal. Dan kau pasti akan gagal berkali-kali sebelum mengerti.”
Ia kemudian menoleh, menatap ke arah lembah di mana kabut semakin tebal. “Sekarang, waktunya pelajaran terakhir untuk hari ini. Kau sudah menyerap Energi Pembantaian dari udara. Sekarang, salurkan ke dalam meridianmu. Tapi ingat, jangan izinkan satu tetes pun masuk tanpa izinmu.”
Liang Chen menutup mata. Ia menarik napas dalam, mengingat peringatan gurunya. Energi panas mulai mengalir dari dadanya ke lengan. Sensasinya seperti bara yang menelusuri tulang.
Jantungnya berdegup keras, tubuhnya gemetar. Bisikan itu muncul lagi, suara yang sama dari dalam dirinya. “Lepaskan aku. Kau ingin keadilan, bukan? Bunuh mereka semua.”
Liang Chen menggigit bibirnya. Ia mencoba menahan, tetapi bisikan itu semakin kuat, berubah menjadi raungan yang menggetarkan pikirannya.
Guru Kui Xing menatapnya dengan tenang, tidak membantu, hanya mengamati.
Wajah Liang Chen memucat. Tubuhnya bergetar. Setetes darah menetes dari hidungnya. “Diam,” katanya pelan, suaranya serak. Tapi suara itu tidak berhenti.
“Diam!” serunya lagi, lebih keras.
Energi Pembantaian melonjak di sekelilingnya, membuat tanah di bawahnya retak. Daun-daun kering berputar seperti pusaran kecil di udara.
Namun di tengah kekacauan itu, Liang Chen mengingat satu hal: wajah ibunya yang tersenyum dan suara ayahnya yang berkata, “Jangan pernah menjadi pedang yang kehilangan arah.”
Dengan napas terengah, ia menenangkan pikirannya. Energi itu, yang tadinya liar, perlahan menurun. Warna merah samar di kulitnya memudar.
Guru Kui Xing akhirnya berbicara, suaranya datar tapi dalam. “Bagus. Kau menahan api itu, meski hanya sesaat. Itulah yang memisahkanmu dari monster.”
Liang Chen membuka mata. Matanya masih memantulkan sisa cahaya merah, tetapi di dalamnya kini ada sesuatu yang lain, ketenangan dingin.
Guru Kui Xing mengangguk. “Sekarang kau tahu. Jalan Asura bukan tentang membunuh. Jalan Asura adalah tentang tidak terbakar oleh amarahmu sendiri.”
Angin kembali berhembus lembut. Liang Chen menatap lembah yang gelap, lalu memandang tangannya sendiri, masih bergetar namun kini terkendali.
“Guru,” katanya lirih, “aku tidak akan gagal.”
Guru Kui Xing tersenyum samar, menatap muridnya yang kini perlahan berubah. “Semoga saja tidak, Chen’er. Karena jika kau jatuh, aku akan menjadi orang pertama yang menebas kepalamu.”
Suara angin kembali menjadi satu-satunya yang terdengar. Kabut menutup mereka berdua, menandai berakhirnya hari pelajaran. Namun di dada Liang Chen, sesuatu yang baru mulai tumbuh, sebuah tekad yang lahir dari luka, dari darah, dan dari kesadaran bahwa keadilan sejati tidak pernah datang tanpa harga.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.