NovelToon NovelToon
KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

Status: tamat
Genre:Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..

yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Bab 24

Langit pagi itu tak benar-benar cerah. Awan menggantung di atas Desa Tembung, seperti menahan sesuatu yang tak ingin dijatuhkannya — entah hujan, atau air mata.

Udara lembap menyusup di sela dedaunan pisang dan rerumputan basah. Di halaman rumah Nek Wan, Yasmin berdiri diam sambil memandangi jalan tanah yang memanjang ke arah kota. Di ujung jalan itulah nanti Ziyad akan melangkah pergi.

Sudah dua hari Yasmin tahu rencananya. Sejak malam Ziyad berkata pelan di depan klinik — bahwa ia harus pergi, menuntaskan sesuatu yang tertinggal di kota. Ia menyebutnya “urusan lama”, tapi Yasmin tahu, itu tentang keluarga tunangannya dulu. Tentang luka yang belum selesai, dan dosa yang masih membayangi langkahnya.

Ia tahu ia harus mengizinkan. Tapi hatinya menolak.

Di balik jendela, Nek Wan duduk berselimut kain tebal. Wajahnya masih pucat, tapi senyum lembutnya tetap terlukis.

“Min, kau sudah siap sarapan? Kau menunggu dia, ya?” tanya Nek Wan lirih, senyumnya getir.

Yasmin berbalik, lalu mendekat. “Iya, Nek… katanya mau mampir sebentar sebelum berangkat,” jawabnya lembut dengan nada ragu.

Nek Wan menepuk tangan cucunya pelan. “Kalau dia pergi, jangan tahan. Ada perjalanan yang memang harus dijalani sendiri, nak,” ujar Nek Wan dengan lirih penuh makna.

Yasmin mengangguk, tapi tak mampu menyembunyikan matanya yang mulai berkaca. “Aku takut, Nek… takut kalau dia nggak balik lagi,” ucapnya dengan suara bergetar.

Nek Wan tersenyum samar. “Kalau cinta itu benar, dia tak perlu selalu dekat untuk bisa kembali,” jawabnya lembut dengan mata menerawang jauh.

Belum sempat Yasmin menanggapi, terdengar suara langkah di luar. Berat, mantap, dan dikenalnya begitu baik. Yasmin menoleh — Ziyad berdiri di depan pagar bambu, membawa tas hitam kecil di tangan kanan dan payung lipat di kiri. Bajunya sederhana, tapi matanya menatap dengan sorot yang dalam, seperti seseorang yang telah mengambil keputusan berat dan siap menanggung akibatnya.

“Assalamu’alaikum,” ucap Ziyad pelan dengan nada tenang tapi menahan sesak.

“Wa’alaikumsalam,” jawab Yasmin, nyaris berbisik dengan nada gugup.

Ziyad menatapnya beberapa detik, lalu memalingkan pandangan ke halaman. “Aku… berangkat sekarang,” katanya singkat dengan nada datar tapi berat.

Yasmin menunduk. Jemarinya gemetar tanpa bisa dikendalikan. “Sudah pasti, ya?” ucapnya dengan nada yang nyaris patah.

Ziyad mengangguk pelan. “Aku sudah janji pada keluarganya. Aku harus datang, menyampaikan semuanya. Tentang malam itu, tentang apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Ziyad tegas dengan nada getir.

“Dan setelah itu?” tanya Yasmin cepat dengan suara parau.

Ziyad menatapnya lama. “Aku akan pulang,” jawabnya tenang dengan nada meyakinkan, meski sorot matanya menampakkan ragu yang samar.

Yasmin ingin percaya. Tapi di antara kata-kata itu, ia merasakan sesuatu — seperti ketakutan tersembunyi. Ia menarik napas dalam, menatap Ziyad seolah ingin mengingat wajahnya satu per satu. “Kalau nanti kau ragu, ingatlah desa ini. Ingat hujan, ingat sawah, ingat aku,” ucap Yasmin lirih dengan nada bergetar.

Ziyad menelan ludah, matanya sedikit berkaca. “Aku ingat. Karena di sinilah aku belajar… mencintai tanpa rasa takut,” jawab Ziyad lembut dengan senyum kecil yang pahit.

Hening menelan udara di antara mereka. Angin menggoyang dedaunan rambutan, dan di kejauhan terdengar suara ayam berkokok tertahan — seperti enggan menyambut pagi.

Ziyad melangkah maju, lalu menatap Nek Wan yang berdiri di ambang pintu. Ia menunduk hormat. “Terima kasih atas semua kebaikan, Nek. Kalau tak ada Yasmin, mungkin aku sudah menyerah pada hidup ini,” ujar Ziyad penuh hormat dengan nada tulus.

Nek Wan tersenyum lemah. “Kalau kau benar-benar ingin menebus, jangan lewatkan kesempatan kedua. Tuhan jarang memberi itu dua kali,” jawab Nek Wan lirih dengan nada menasihati.

Ziyad mengangguk, menunduk lebih dalam. Lalu ia menatap Yasmin lagi, kali ini dengan mata yang tak bisa lagi disembunyikan: mata seseorang yang sedang berpisah tapi tak sanggup berkata selamat tinggal.

“Doakan aku,” ucap Ziyad pelan dengan nada bergetar.

“Selalu,” jawab Yasmin singkat dengan nada lembut tapi menahan tangis.

Lalu langkah itu terdengar — berat, perlahan, tapi pasti menjauh. Yasmin berdiri di depan pagar, memandangi punggung Ziyad yang semakin kecil. Angin menerbangkan sedikit debu jalanan. Di langit, awan menebal, seperti menahan air mata bumi yang sebentar lagi akan jatuh.

Dan benar. Begitu punggung itu hilang di tikungan, tetes pertama jatuh ke tanah.

Hujan lagi.

Selalu hujan setiap kali mereka berpisah.

***

Hujan turun tanpa suara guntur. Hanya rintik-rintik lembut, seperti suara napas seseorang yang baru saja menangis terlalu lama. Yasmin berdiri di teras, memeluk selendangnya erat-erat. Pandangannya tak lepas dari jalan basah yang kini kosong.

Di atas meja, secangkir teh hangat sudah dingin.

Nek Wan sudah tertidur di kamar, kelelahan setelah menahan tangisnya sendiri. Yasmin tak sanggup masuk. Rumah terasa terlalu sunyi tanpa langkah kaki Ziyad di sekitar.

Ia berjalan perlahan ke kamar, mengambil sesuatu dari laci — saputangan abu-abu yang pernah ditinggalkan Ziyad di klinik. Ada inisial kecil di ujungnya, huruf “Z” yang nyaris pudar. Yasmin menatap benda itu lama, lalu menggenggamnya di dada.

“Apa kau benar-benar akan kembali?” bisiknya lirih dengan nada sedih.

Di luar, suara hujan menjawab dalam bahasa yang tak bisa dimengerti.

Hari berganti siang. Yasmin mencoba mengalihkan pikiran. Ia pergi ke klinik untuk membersihkan, meski tanpa Ziyad di sana, tempat itu terasa berbeda. Bau obat dan alkohol menyengat, tapi udara di dalamnya seolah kehilangan denyut.

Beberapa warga datang, sekadar melihat atau bertanya.

“Dokternya pergi ya, Min?” tanya seorang ibu muda dengan nada ingin tahu.

“Iya, Bu… ada urusan di kota,” jawab Yasmin pelan dengan nada datar.

“Kasihan, ya. Padahal orangnya baik. Tapi katanya masa lalunya berat sekali,” ucap si ibu sambil berbisik rendah dengan nada iba.

Yasmin tersenyum tipis, menahan perih di dada. “Semua orang punya masa lalu, Bu. Yang penting dia berusaha memperbaikinya,” ucapnya lembut dengan nada tenang.

Si ibu terdiam, lalu mengangguk kecil. “Benar juga, Min. Semoga dia balik ya,” ujar si ibu dengan nada tulus.

“Semoga,” jawab Yasmin singkat dengan senyum getir.

Setelah ibu itu pergi, Yasmin duduk di kursi tempat Ziyad biasa menulis resep. Ia menyentuh meja kayu itu, meraba guratan kecil bekas pena yang sering ditekan terlalu keras. Lalu matanya berhenti pada selembar kertas yang terselip di bawah botol alkohol kecil. Ia menariknya perlahan.

Tulisan tangan Ziyad. Tegas tapi sedikit goyah.

“Jika aku tak sempat kembali, jagalah dirimu baik-baik. Tapi aku akan berusaha pulang, karena aku ingin hidup di dunia yang ada kau di dalamnya.”

Air mata Yasmin menetes di atas kertas itu. Ia menutup mulutnya, menahan isak yang nyaris pecah. “Kau bodoh, Ziyad… kenapa harus selalu menanggung semuanya sendiri…” ucapnya lirih dengan nada tersengal.

Hujan di luar makin deras. Angin menampar jendela, dan Yasmin menatap keluar dengan pandangan kabur. Dalam hujan itu, ia seperti melihat bayangan Ziyad berjalan menjauh — sama seperti tadi pagi, tapi kali ini lebih jauh, lebih samar, seolah dunia memang berniat memisahkan mereka.

Ia berlari ke luar tanpa payung, membiarkan tubuhnya basah kuyup.

Di tengah jalan, ia berhenti dan menatap langit. “Kau dengar, Ziyad? Aku tak marah! Aku cuma takut kehilanganmu lagi!” teriak Yasmin lantang dengan nada putus asa.

Tak ada jawaban, hanya gemuruh hujan di tanah. Tapi di antara tetes air yang jatuh di wajahnya, Yasmin merasakan sesuatu — hangat yang datang entah dari mana, seperti pelukan yang tak terlihat.

Ia menutup matanya. “Pergilah… tapi jangan hilang,” bisiknya pelan dengan nada pasrah.

Saat itu juga, kilat menyambar jauh di langit, memecah keheningan sore. Yasmin menatapnya, dan entah mengapa, di balik rasa takut, ada sedikit lega. Seolah langit memberi janji: setelah hujan ini, seseorang pasti kembali.

 sangat emosional)?

Bersambung.

1
Nadhira💦
endingnya bikin mewek thorrr...
Babah Elfathar: Biar ga sesuai sangkaan, hehehe
total 1 replies
Amiura Yuu
suka dg bahasa nya yg gak saya temukan dinovel lain nya
Babah Elfathar: mkasi jangan lupa vote, like dan subscribe ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!