NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:353
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 26

Motor Aksa kembali melaju setelah hujan mereda. Jalanan licin membuat Zia semakin erat memegang ujung jaketnya. Udara malam menusuk kulit, bercampur aroma tanah basah sisa hujan. Sepanjang perjalanan, tak satu pun dari mereka bicara. Hanya suara knalpot dan deru angin yang menemani.

Begitu sampai di depan gerbang mansion, Aksa langsung membunyikan klakson sekali. Satpam membukakan pintu gerbang, menatap mereka sebentar, seolah tahu suasana di antara keduanya sedang tidak baik-baik saja.

Zia turun dari motor perlahan. Kakinya agak kaku karena dingin. Ia mengembalikan jaket Aksa sambil mengucap pelan, “Makasih.” Aksa hanya mengangguk, matanya sekilas melirik ke arah pintu utama mansion yang kini terbuka.

Sosok Azka berdiri di sana. Tubuhnya tegap, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya menusuk seperti pisau, tajam dan dingin. Lampu teras membuat bayangan wajahnya terlihat semakin tegas.

“Masuk,” ucap Azka datar.

Zia menelan ludah, melangkah pelan melewati Azka tanpa berani menatapnya. Tapi saat ia nyaris sampai di pintu, suara berat itu kembali terdengar.

“Kamu dari mana saja, kenapa telat?”

Langkah Zia terhenti. Suaranya bergetar saat menjawab, “Tadi hujan… jadi neduh di warung sama Aksa.”

Azka menghela napas panjang, tapi tatapannya justru beralih ke Aksa. “Dan kenapa lo nggak langsung bawa dia pulang sebelum hujan?”

Aksa menjawab tenang, “Kalau gue paksain, kita malah bisa jatuh di jalan.”

Azka melangkah turun dua anak tangga, jarak mereka kini hanya tinggal beberapa meter. “Gue udah bilang sama lo, jangan bikin dia pulang malam.”

Zia merasa udara di sekitarnya semakin dingin. Dia ingin menjelaskan, tapi takut salah bicara. “Kak, ini bukan salah Aksa. Aku yang—”

“Zia.” Nada suara Azka meninggi sedikit, cukup untuk membuat Zia terdiam. “Masuk kamar.”

Zia menatap Aksa sebentar, lalu berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Suara langkahnya yang ringan menghilang di balik pintu.

Tinggallah dua pria itu di teras. Hujan rintik-rintik kembali turun, menambah tegang suasana.

Aksa menatap balik kakaknya tanpa gentar. “Lo terlalu protektif sama dia, Bang. kita cuma neduh sebentar, nggak ada yang aneh.”

Azka mengepalkan tangan, tapi tidak mengangkatnya. “Gue cuma nggak mau dia kenapa-kenapa. Gue nggak percaya sama semua orang, bahkan sama lo.”

Ucapan itu menusuk, tapi Aksa tidak membalas. Ia hanya menyalakan kembali motornya. “Kalau lo nggak percaya, jaga dia sendiri. Gue cabut.”

Deru mesin motor memecah keheningan malam. Aksa pergi meninggalkan halaman mansion, meninggalkan Azka yang masih berdiri di teras, menatap ke arah gerbang dengan rahang mengeras.

Di lantai atas, Zia berdiri di balik tirai kamarnya, memperhatikan punggung Azka yang diam membeku di bawah hujan. Dadanya terasa sesak. Ia tahu Azka marah karena khawatir, tapi caranya membuat semua orang tegang.

Saat Azka akhirnya masuk ke dalam, Zia buru-buru menutup tirai dan duduk di tepi ranjang. Hatinya berdebar, tak tahu apakah malam ini akan berakhir dengan percakapan serius… atau pertengkaran.

____

Zia menghembuskan napas panjang, pandangannya kosong menatap lantai kamar. “Aku bener-bener nggak ngerti… Kak Azka tuh selalu marah sama aku,” gumamnya sambil menggeleng pelan. “Padahal cuma neduh, sampai segitunya marah…”

Ia mengacak rambutnya sendiri, mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya. Pandangannya lalu teralih ke luar jendela, mengingat sesuatu. “Tadi aku liat Aksa pergi lagi dari mansion…” ucapnya lirih, nada khawatir jelas terdengar. Bagaimanapun, Aksa masih jadi tanggung jawabnya selama di sini.

Dengan cepat Zia meraih ponselnya, niatnya langsung menekan ikon panggilan. Tapi jarinya terhenti di layar. Ia mematung sesaat, baru sadar sesuatu.

“Aduh… aku nggak punya nomernya lagi,” keluhnya, menjatuhkan ponsel di pangkuan.

Ia bersandar ke kursi, kedua tangannya menutupi wajah. Rasa gelisah semakin menekan. “Gimana kalau dia kenapa-kenapa di luar sana? Hujan masih turun, jalanan pasti licin…” pikirnya, bibirnya menggigit ujung jarinya sendiri.

Zia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, niatnya hanya ingin menyegarkan tubuh. Baju yang ia kenakan sejak sore tadi terasa agak lembap karena udara dingin dan sedikit gerimis yang mengenai dirinya saat berada di luar. Usai mandi, ia mengganti pakaiannya dengan baju tidur yang longgar dan nyaman. Rambutnya yang masih basah ia keringkan sekenanya dengan handuk kecil, lalu turun menuju lantai bawah.

Begitu menginjak anak tangga terakhir, matanya langsung menangkap sosok Azka yang duduk di kursi bar dapur, memegang gelas minuman hangat. “Kak Azka,” panggilnya pelan.

Azka menoleh, menaikkan satu alisnya dengan ekspresi datar. “Apa?”

“Kakak punya nomor Aksa nggak?” tanya Zia ragu-ragu, sambil memainkan ujung lengan bajunya.

“Kenapa emangnya?” Azka memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tetap dingin.

“Aku khawatir… takut dia kenapa-kenapa. Sekarang kan masih hujan,” jawab Zia dengan nada cemas.

Azka mendengus kecil. “Jangan khawatir. Dia pasti cuma ke rumah temannya.”

“Tapi… aku takut nanti Oma Ririn marah sama aku karena nggak ngurus semua tentang Aksa,” ujar Zia, wajahnya terlihat semakin gelisah.

Azka meletakkan gelasnya di meja dengan suara tok kecil, lalu mengeluarkan ponselnya. “Ckk, nih. Telepon dia.”

Zia langsung menggeleng. “Nggak papa, Kak. Kakak kasih aja nomernya Aksa ke hp aku.”

“Lo nggak mau pake hp gue kenapa?” tanya Azka, suaranya datar tapi tatapannya menusuk.

“Aku nggak mau hp mahal Kak Azka rusak… lagipula aku nggak ngerti,” ucap Zia sambil menunduk.

Tanpa membalas, Azka menekan beberapa angka di ponselnya lalu menunggu sambungan tersambung. Tak lama, suara di seberang terdengar.

“Halo? Ada apa, Bang?” suara Aksa terdengar santai.

Azka tak menjawab, hanya menyerahkan ponsel itu ke Zia.

“Halo, Aksa. Kamu di mana?” tanya Zia cepat, suaranya penuh kekhawatiran.

“Gue lagi di rumah temen gue,” jawab Aksa.

Zia menghela napas lega. “Syukurlah kalau kamu nggak papa.”

“Lo pasti khawatirin gue, kan?” tanya Aksa dengan nada menggoda.

“Iya… soalnya takut kamu kenapa-kenapa terus Oma marah,” jawab Zia jujur.

“Gue pulang sekarang. Mau nitip sesuatu nggak?” tanya Aksa tiba-tiba.

“Emang boleh?” Zia sedikit ragu.

“Boleh, asal bayar,” jawab Aksa santai.

Zia langsung meringis. “Nggak jadi deh.”

Azka yang sejak tadi hanya mendengar, tampak malas melihat Zia dan Aksa asyik mengobrol. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya kembali dari tangan Zia.

“Beliin aja dia donat, nanti gue bayar,” kata Azka singkat, lalu memutus sambungan telepon.

Zia hanya bisa berkedip bingung. “Eh, Kak… tadi kan aku—”

“Nggak usah banyak ngomong. Lo tadi mau nitip, kan? Ya udah, gue yang bayar. Diam aja,” potong Azka tanpa menatap Zia, lalu ia kembali meneguk minumannya.

Zia terdiam. Ada sedikit rasa hangat di hatinya, tapi ia juga tak mengerti kenapa Azka bisa sesantai itu soal uang tapi nggak pernah santai soal sikapnya ke Zia.

Hujan di luar semakin deras, terdengar jelas dari atap kaca di bagian belakang dapur. Sesekali, kilatan petir membuat suasana makin dingin. Zia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mengusir hawa dingin itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!