Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab- 24 Jejak yang Tersisa
Matahari sudah condong ke barat ketika mereka berhenti di sebuah padang rumput kecil. Rumput liar bergoyang tertiup angin, suara jangkrik mulai terdengar, dan aroma tanah basah menguar setelah hujan pagi.
Revan meletakkan tas bawaannya, lalu duduk di bawah pohon.
“Kita istirahat di sini. Malam ini kita tidak bergerak.”
Ardan langsung menjatuhkan diri ke tanah, mengeluh panjang.
“Akhirnya! Aku pikir kamu akan terus menyeret kami sampai kaki kami putus.”
Mauryn duduk pelan, merasakan tubuhnya sendiri seolah terbuat dari timah. Ia menatap langit, menarik napas panjang.
“Entah kenapa… tempat ini terasa lebih ringan. Tidak seperti hutan kemarin.”
“Itu karena tidak ada mayat di sini.” Revan hanya meliriknya sebentar.
Ardan mendengus, menutup wajah dengan lengannya.
“Kau tahu cara merusak suasana, kan?”
Mauryn tersenyum tipis, tapi segera menunduk. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Sambil membersihkan pedang, Revan akhirnya bicara.
“Mauryn… apa kau pernah dapat sesuatu dari ayahmu? Sesuatu yang aneh. Bukan sekadar barang biasa.”
“Barang… aneh?” Mauryn tertegun.
Revan mengangguk, matanya fokus pada pedangnya.
“Tanda, simbol, atau mungkin sekadar benda yang selalu bersamanya. Sesuatu yang mungkin diwariskan padamu.”
Mauryn mengerutkan kening. Ia mencoba menggali ingatannya.
“Aku… hanya ingat sebuah liontin kecil. Bentuknya bulat, ada ukiran seperti huruf yang tidak pernah kumengerti. Tapi aku kehilangan liontin itu ketika masih kecil.”
Revan berhenti mengasah pedangnya.
“Liontin itu penting.”
Ardan yang berbaring malas langsung menoleh.
“Tunggu. Jadi semua kekacauan ini karena perhiasan kecil?”
“Bukan sekadar perhiasan.” Suara Revan berat.
“Kalau benar itu benda yang kupikirkan… itu kunci.”
“Kunci? Untuk apa?” Mauryn menatapnya dengan mata membesar.
Revan terdiam lama, seakan mempertimbangkan apakah ia harus bicara lebih jauh. Lalu akhirnya ia menghela napas.
“Untuk membuka sesuatu yang ayahmu tinggalkan. Sesuatu yang banyak orang rela mati untuk mendapatkannya.”
Hening mendadak jatuh.
Mauryn menggenggam jari-jarinya erat.
“Aku… bahkan tidak tahu apa yang ayahku lakukan. Yang kutahu hanya… ia pergi suatu hari dan tidak pernah kembali. Ibu tidak pernah bicara banyak tentangnya.”
“Kamu tidak pernah bertanya? Tidak pernah memaksa ibumu menjelaskan?” Ardan duduk, kali ini serius.
“Setiap kali aku menanyakan tentang Ayah… wajah Ibu langsung berubah. Seperti ada sesuatu yang menakutkan. Jadi aku berhenti bertanya.” Mauryn menggeleng perlahan.
Revan menunduk, nadanya datar.
“Kadang diam adalah cara orang melindungi yang mereka cintai. Tapi itu juga bisa menjadi beban paling berat.”
Suasana menjadi berat. Angin sore berembus, membawa aroma rerumputan basah.
Ardan tiba-tiba berdiri, menepuk celananya.
“Oke, ini mulai terdengar terlalu suram. Aku butuh sesuatu untuk dimakan. Kalau tidak, aku akan ikut menangis bersamamu.”
“Kamu selalu tahu cara mengubah suasana, Ardan.” Mauryn tersenyum samar.
“Itu bakat alami.” Ia melangkah ke arah semak-semak.
“Aku cari buah atau apa pun yang bisa dimakan. Jangan harap aku berburu kelinci atau rusa, aku tidak seahli itu.”
“Jangan pergi terlalu jauh,” kata Revan, nada suaranya tetap tegas.
“Ya, ya, Kapten Serius.” Ardan melambaikan tangan tanpa menoleh.
Mauryn tertawa kecil. Itu pertama kalinya ia bisa tertawa tulus setelah sekian lama. Ketika tinggal berdua, Mauryn menatap Revan yang masih sibuk dengan pedangnya.
“Revan…”
“Hm?”
“Kamu bilang liontin itu kunci. Apa kamu benar-benar tahu apa yang ayahku sembunyikan?”
Revan berhenti sejenak, lalu menatapnya. Matanya gelap, penuh rahasia.
“Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tahu… ayahmu pernah menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa kau bayangkan. Dan liontin itu… adalah jejak terakhirnya.”
Mauryn menghela napas, dadanya sesak.
“Kenapa semua orang selalu bicara setengah-setengah? Aku hanya ingin tahu kebenarannya. Tentang siapa aku. Tentang siapa ayahku.”
Revan menunduk, suaranya pelan tapi tajam.
“Kalau kamu benar-benar tahu kebenarannya, apakah kamu siap menanggungnya?”
Mauryn terdiam. Pertanyaan itu menusuk lebih dalam daripada jawaban apa pun. Akhirnya ia berkata lirih.
“Aku tidak tahu. Tapi aku lelah menjadi buta. Kalau itu berhubungan dengan semua orang yang ingin membunuhku… aku lebih baik tahu, daripada hidup dalam kebohongan.”
Revan menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk.
“Baik. Kalau begitu, kita cari liontin itu.”
Mauryn menatapnya dengan mata bergetar.
“Kamu akan membantuku?”
“Ya.” Suaranya tegas, tanpa ragu.
“Aku berjanji.”
Hening sesaat, tapi kali ini bukan hening yang berat. Ada sesuatu yang hangat, meski samar, mengisi udara di antara mereka.
Tak lama kemudian, Ardan kembali sambil membawa beberapa buah liar dan wajah penuh kemenangan.
“Aku menemukan harta karun! Lihat ini!”
“Itu hanya buah liar.” Mauryn tertawa kecil.
“Jangan remehkan! Bagi orang kelaparan seperti kita, ini sama berharganya dengan emas.”
Revan hanya menggeleng, tapi ada kilatan samar di matanya, seperti senyum yang ditahan.
Mereka bertiga duduk melingkar, berbagi buah seadanya.
Ardan, sambil mengunyah, tiba-tiba berkata
“Aku tahu aku sering mengeluh. Tapi aku… sebenarnya bersyukur bisa ikut kalian.”
Mauryn menoleh, terkejut.
“Benarkah? Kupikir kamu hanya menyesal setiap detik.”
“Ya, aku menyesal. Tapi kalau aku tidak ikut… aku sudah mati entah di mana. Setidaknya bersama kalian, aku masih punya harapan.” Ardan terkekeh.
Revan menatapnya singkat, lalu mengangguk.
“Kalau begitu, berhentilah mengeluh. Kamu butuh tenaga untuk bertahan.”
“Kamu selalu begitu, Revan. Tidak ada kata manis sedikit pun. Bagaimana Mauryn tahan denganmu?” Ardan pura-pura mendesah.
Mauryn nyaris tersedak buah yang dimakannya.
“Ardan!”
Ardan tertawa keras, hampir terjatuh.
“Wajahmu merah! Ah, aku benar-benar hidup untuk momen ini.”
Mauryn melempar sisa biji buah ke arahnya, tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan.
Malam turun perlahan. Api unggun kecil mereka nyalakan, meski harus hati-hati agar asap tidak terlihat terlalu jauh.
Mauryn duduk paling dekat dengan api, menatap nyala yang berkilat. Revan duduk di seberangnya, matanya tetap waspada. Ardan berbaring miring, sudah setengah mengantuk.
“Revan,” suara Mauryn lembut
“Kamu bilang ayahku membuat pilihan. Apa kamu juga pernah membuat pilihan yang kamu sesali?”
Revan menatap api sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Ya. Banyak.”
“Seperti apa?”
Ia terdiam lama, seakan kata-kata sulit keluar. Lalu akhirnya ia berkata pelan.
“Aku memilih bertarung… dan karena itu, aku kehilangan orang-orang yang kucintai. Itu pilihanku. Dan penyesalanku.”
Mauryn menatapnya, matanya berkilat oleh pantulan api.
“Aku… mengerti.”
Ardan menguap lebar.
“Aku tidak mengerti, tapi aku sudah terlalu ngantuk untuk peduli. Kalau kalian mau saling berbagi rahasia lagi, lakukan saja. Aku tidur dulu.” Ia membalikkan badan, dan dalam beberapa menit sudah terdengar dengkuran kecil.
Mauryn tertawa kecil, lalu menatap Revan lagi.
“Terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk tetap di sini. Untuk tidak pergi.”
Revan menatapnya lama, lalu berkata singkat
“Aku tidak akan pergi.”
Hati Mauryn bergetar. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia percaya pada kata-kata seseorang sepenuhnya.
Dan di malam itu, di padang rumput yang sunyi, tiga jiwa yang hancur menemukan sepotong ketenangan.
Bersambung…
Hai teman-teman terus support othor yah