"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 | LETAK KERTAS
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Tanggal merah, tanggal merah! Saatnya apa? Benar sekali, bersenang-senang! Waktu libur yang langka untukku yang setiap hari sekolah dari pagi hingga sore ini. Bahkan, biasanya, di hari Minggu pun aku masih harus berkegiatan.
Berhubung hari ini semua anggota keluargaku tidak akan ada di rumah hingga malam, menghadiri acara bisnis Mama, maka aku bisa bebas berleha-leha seharian. Yap, Mama membawa adikku bersama beliau, sementara Papa sedang ada kerjaan di luar kota.
Hal pertama yang perlu aku lakukan untuk memulai liburan singkatku adalah, membersihkan kamar!
Terdengar membosankan, ya? Tenang saja, ini hanya sebentar! Bukan kah perlu tempat yang nyaman untuk menghabiskan hari libur dengan memuaskan?
Aku sudah putuskan untuk habiskan waktu satu hari ini sepenuhnya di kamarku! Mendengar lagu kesukaanku, membaca buku, dan menikmati cemilan favorit!
Astaga, tak sabar ingin segera kulakukan segala hal yang sudah kusiapkan dalam daftar kesenanganku, yang sudah lama tertunda, dan sering kali terhambat tugas-tugas sekolah, dan tugas rumah!
Sambil berdansa seirama lagu yang terputar dari pengeras suara berwarna perak milikku, tangan dan kakiku bergerak lihai ke sana kemari; melangkah, menyapu, membersihkan barang-barangku dan debu-debu yang menempel di sebagian sudut kamar.
Hei, jangan berpikir negatif, aku rajin membersihkan kamarku, kok! Memang debunya saja yang membandel. Sungguh, percaya lah padaku.
Selesai menjalankan tugas sebagai tukang kebersihan pribadi di kamarku sendiri, bergegas lah aku menjangkau handuk yang tergantung di balkon mini kamarku.
Selain kamar, ada tubuhku yang sudah begitu lengket dan sekarang juga perlu dibersihkan. Akan kunikmati setiap tetes air hangat yang memanjakan kulitku nanti.
Kriing! Kriing! Kriing!
Tinggal selangkah lagi kakiku melewati pintu kamar mandi, tiba-tiba lagu dari pengeras suara berganti menjadi nada dering ponselku yang cukup menggelegar, akibat volume yang kusetel hampir maksimal.
Ya Tuhan, untung aku tidak punya riwayat serangan jantung!
Siapa kah yang meneleponku? Apa Mama ketinggalan sesuatu, dan ingin aku mengantarkannya? Atau, adikku merengek pulang karena tak betah menemani Mama? Tapi, kan, dia sendiri yang minta ikut Mama.
Kuputar balik langkahku yang tadinya hendak masuk kamar mandi, untuk mengintip ponselku yang masih bergetar dan berdering tanda panggilan masuk.
Zfn Angktn.
Mataku refleks terpejam, lalu kuambil napas dalam-dalam. Serius, kau, Zofan? Ingin merenggut waktu liburku juga? Tidak bisa kah bersabar sampai besok? Aku hanya punya waktu satu hari untuk menikmati ketenangan dalam hidupku, tanpa terusik!
Bahkan teman-temanku pun tak sesering itu menghabiskan waktu denganku.
Tak setega itu mereka mengganggu hari liburku!
Enggan mengangkat panggilan darinya, kusenyapkan saja suara ponselku. Tak lupa kumatikan pengeras suara. Setidaknya, biarkan aku mandi dengan tenang dan menyegarkan isi kepalaku dari segala beban yang datang begitu tiba-tiba.
∞
Selepas menyelesaikan urusanku di kamar mandi dan mengenakan pakaian santai ala anak rumahan, kududukkan diriku di atas kursi belajar. Kunyalakan alat pengering rambut, lalu mengarahkannya pada rambutku yang masih setengah basah.
Sambil mengusak-usak pelan rambutku dengan jemari yang bebas, sesekali kusempatkan tanganku itu menggeser layar ponsel dan memeriksa panggilan tak terjawab yang kutinggal mandi tadi.
Mataku membelalak kaget, napasku juga otomatis terhenti sejenak.
Ada sekitar lima panggilan tak terjawab. Salah satunya dari Zofan, sementara panggilan-panggilan lainnya dari pujaan hati yang belum kumiliki!
Astaga, astaga, astaga!
Hatiku memendam teriakan yang memberontak ingin diluapkan, sementara tenggorokanku mendengung tertahan hingga menimbulkan suara cicitan antusias dari celah gigiku yang terpampang jelas, menyengir.
Kakiku berjinjit, berjingkrak kesenangan. Keberuntungan ada di pihakku hari ini~!
Tunggu …
Kenapa Sora menelepon tepat sesaat setelah panggilan Zofan tak terjawab? Apa mereka sedang bersama? Jadi, ini berarti antara Zofan yang membutuhkanku, atau ada sesuatu yang terjadi pada Sora.
Setelah mengumpulkan tekad, akhirnya kuhubungi kembali nomor Sora. Tentu aku akan memilih Sora.
Belum dua detik kuhubungi, panggilan langsung ditolak.
Ada apa ini? Rasanya seperti Sora sedang dalam keadaan darurat.
Drrt. Drrt. Drrt.
Segera kumatikan pengering rambut dan kuletakkan sembarang di atas meja begitu mataku menangkap layar ponsel yang menampilkan kameraku sendiri. Sora menghubungiku melalui panggilan video?!
Bagaimana ini? Bagaimana ini?! Aku belum siap!
Drrt. Drrt. Drrt.
Hanya merapikan sedikit rambutku yang belum sepenuhnya kering, dan menyempatkan diri memakai sedikit bedak – yang penting wajahku tak terlihat kusam – baru lah kuterima panggilan dari Sora.
“Argh!” erangku begitu melihat wajah siapa yang terpampang begitu dekat, memenuhi layar ponselku.
“Kenapa ponsel Sora ada padamu?!” Aku menggeram pada lawan bicaraku, “aku menjawab untuk Sora, bukan kau, Zofan!”
Dari seberang sana, bocah menyebalkan itu menyambutku dengan tawa songongnya. “Aku tahu, makanya aku meminjam ponsel Sora untuk menghubungimu. Jadi, aku yang pintar, atau kau yang bodoh?”
Kembali menggeram frustrasi, kuletakkan ponselku di atas meja, agar kedua tanganku bisa memijat pelipis hingga kepalaku yang pusing menghadapi kelakuan Zofan.
“Apa kau tak punya kesibukan lain, selain menggangguku?! Ini hari libur, tuan Zofan! Tak bisa kah kau tunggu sampai besok—”
“Sst! Kau simpan dulu ocehanmu untuk besok. Sekarang keadaan sedang genting!” Zofan memotong celotehanku, disusul dengan jari telunjuk yang menempel pada bibirnya sendiri. Aku tak tahu apakah dia serius, atau hanya tak ingin mendengar protes dariku.
Kepalanya sesekali menoleh ke belakang dengan jarak ponsel yang dia jauhkan seperti hendak disembunyikan, tampak was-was. Sekilas bisa kulihat kondisi ruangan di belakangnya, dan aku langsung tahu itu ada di mana.
“Kau di tempat nenekmu?” Suaraku memelan waspada, hanya menyesuaikan reaksi Zofan, dan Zofan mengonfirmasi tebakanku dengan anggukan cepat.
“Aku butuh kau tunjuk langsung di mana posisi gulungan-gulungan kertas yang kau prediksi itu. Kita harus cepat, Sora sedang mengalihkan perhatian nenek di halaman belakang.”
Tutur kata Zofan yang penuh siaga, membuatku ikut berjaga-jaga dengan perasaan resah gelisah, bahkan tenggorokanku sampai ikut berdeham gugup, susah payah menelan ludah. “Tapi, bukannya kemarin kau sudah—”
“Nata, cepat lah! Aku mendengar suara nenek!”
“B – baiklah, baiklah! Sabar sebentar! Itu,” jariku menunjuk-nunjuk salah satu titik di layar ponsel, seakan Zofan bisa melihatnya, “dari sini aku sudah bisa lihat lokasi pertamanya. Letak salah satu gulungan itu ada di sela kuda-kuda atap, tepat di atasmu. Coba cek di sana.”
Arahanku lantas membuat kepala Zofan mendongak ke atas atap tak berplafon dengan mulut terbuka, “aku tak mengira akan disembunyikan di tempat setinggi itu?! Bagaimana bisa kau melihatnya?”
Zofan menggaruk kepalanya kebingungan setelah berkata demikian. “Bagaimana cara nenek menyembunyikan itu di sana? Dan bagaimana pula aku mengambil itu sekarang? Aku butuh tangga.”
Mana aku tahu bagaimana? Kau pikir saja sendiri.
“Tanyakan itu pada nenekmu. Sekarang, coba lihat ke arah dinding kayu di sebelah kiri sofa ruang tengah, di sana ada salah satu bagian yang keropos dan memiliki celah lebar, cukup untuk menyelipkan kertas seukuran A5. Aku sempat lihat ujung gulungan kertasnya di situ.”
Ya, aku ingat jelas ada bentuk lingkaran dengan ukuran diameter yang terhitung otomatis oleh mataku ketika aku menoleh ke sana, ke arah di mana mata nenek tertuju, pada saat aku berkunjung ke rumah beliau itu.
...
Bersambung