Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertandingan Selesai
Suasana lapangan makin panas setelah Andre berhasil mengalahkan Rio baja. Sorak-sorai penonton pecah, sebagian mendukung SMK Bima Sakti, sebagian lagi ngotot teriak nama Kolombus. Adu mulut antarpenonton sempat bikin suasana makin ricuh.
Andre yang sudah babak belur digotong oleh Dodi dan Raka ke barisan mereka.
Raka, seperti biasa, nggak bisa lepas dari gaya celetukannya.
“Woy, Ndre, muka lu masih bisa dijual ke pasar enggak? Atau udah diskon 90%?”
Andre cuma mendengus, susah ngomong, tapi sempat ngangkat jari tengah lemes-lemes ke arah Raka. Penonton yang denger malah ketawa, suasana jadi sedikit cair.
Namun, kericuhan balik lagi ketika sorakan pendukung Kolombus makin keras. Mereka ngejek kalau kemenangan Andre cuma hoki, nggak ada teknik. Di sisi lain, pendukung Bima Sakti makin lantang membela, bilang Andre nunjukin daya tahan sejati.
Di tengah suasana itu, Bima akhirnya buka suara dengan tenang tapi jelas terdengar.
“Dodi, langsung lanjutkan. Jangan kasih mereka waktu ngeremehin kita lagi.”
Tatapannya menusuk, bikin semua di sekitar otomatis nurut.
Dodi ngangguk, lalu teriak ke arah barisan lawan,
“Lanjut! Berikutnya, Dimas!”
Dimas yang duduk langsung noleh dengan wajah pucat.
“Iya…” jawabnya lirih, jelas kelihatan terpaksa.
Raka langsung nyeletuk, nyengir.
“Gas, Mas Dimas! Jangan takut! Ingat, lawan lu bukan utang bank, cuma manusia.”
Beberapa penonton ketawa, tapi Dimas malah makin tegang.
Dari pihak Kolombus, Ferry Kalong maju dengan langkah ringan tapi auranya beda dari sebelumnya. Sorakan berubah jadi riuh lagi, apalagi saat Ferry mengangkat tangan santai, seakan nunjukkin kalau dia udah siap banget.
Pertandingan dimulai.
Secepat kilat Ferry nyerang. Gerakannya nggak cuma cepat, tapi juga nggak terduga—mirip dengan waktu dia sparing lawan Dodi kemarin sore, hanya kali ini jauh lebih tajam dan sempurna. Dimas langsung kelabakan, dipaksa mundur, tubuhnya kena hantaman berulang kali tanpa bisa nyerang balik.
Bima yang ngeliat itu langsung nyeletuk ke arah Dodi dengan nada dingin,
“Lu yakin dia udah beneran lu latih?”
Kalimat itu bikin Dodi langsung terdiam sepersekian detik.
Tapi Dodi buru-buru bangkit, teriak kencang ke arah Dimas.
“Timing, Mas! Fokus ke timing!!”
Suara itu ngehantam kesadaran Dimas. Dengan sisa tenaga, dia coba tarik napas, matanya mulai ngikutin pola gerakan Ferry. Satu-dua serangan masih masuk, tubuhnya babak belur, tapi perlahan dia mulai bisa nahan.
“Baca, Mas! Jangan buru-buru!” teriak Dodi lagi.
Dimas awalnya hampir nyerah—gerakan Ferry terlalu cepat, terlalu rumit buat dipahami. Tapi pas dia udah hampir tumbang, tiba-tiba instingnya jalan. Ada pola kecil yang mulai bisa dia baca: arah bahu Ferry selalu kasih clue ke arah serangan.
Sekali, dua kali, Dimas berhasil nahan. Penonton teriak makin kencang.
“Ayo Mas Dimas!”
“Gas Ferry, bantai aja!”
Benturan terus terjadi. Ferry makin frustrasi karena serangannya mulai bisa ditebak. Dimas, meski babak belur, tetap bertahan. Sampai akhirnya, di satu momen, Ferry melesat ke depan, tangannya terayun ke arah dada Dimas—
tapi kali ini Dimas udah siap. Dia tahan tepat di timing yang pas, lalu balas dengan pukulan keras ke titik yang selama ini dia incar.
Bughhh!
Ferry terhuyung, matanya kosong sepersekian detik sebelum tubuhnya ambruk. Penonton terdiam sepersekian detik, lalu langsung meledak bersorak.
“DIMASSS!!”
“Bima Sakti dua kosong!!”
Dimas berdiri goyah, wajahnya penuh lebam, bibirnya sobek, tapi tangannya terangkat setengah, tanda kemenangan. Dia hampir roboh kalau bukan karena Dodi dan Raka buru-buru nyamperin.
Raka langsung ngeledek sambil nahan badannya.
“Mas Dimas… lu babak belur gini masih bisa senyum? Lu jangan-jangan jatuh cinta sama Ferry tadi ya?”
Dimas cuma ketawa kecut, lalu hampir pingsan.
Dodi dan Raka bawa Dimas balik ke barisan untuk diobati. Penonton makin pecah, kini banyak yang teriak nama Bima Sakti. Di tribun, wajah-wajah Kolombus mulai tegang, nggak nyangka dua andalan mereka tumbang.
Di sisi lain, Bima hanya diam. Tapi sorot matanya tajam, seperti bilang: ini baru pemanasan.
***
Sorakan penonton masih bergemuruh setelah kemenangan Dimas. Suasana lapangan belum reda, tapi tiba-tiba suara berat dan penuh wibawa memecah kericuhan.
“Pertandingan berikutnya! Dodi lawan Ari Cobra!!”
Itu suara Bima.
Nggak ada diskusi, nggak ada jeda, nggak ada kesempatan buat siapapun nolak. Dodi yang kaget sejenak, bahkan Ari Cobra sendiri, sama-sama ngerasa mulut mereka terkunci. Lidah mereka kelu, seakan-akan kata “tidak” nggak bisa keluar. Tanpa sadar, kedua sosok itu udah melangkah ke tengah lapangan.
Sorakan langsung makin menggila.
“Dodi! Ari! Dodi! Ari!”
Sementara sebagian lain malah teriak ricuh, mendukung timnya masing-masing.
Begitu peluit tanda mulai dibunyikan, Ari Cobra langsung ngegas. Tubuhnya melesat, tangan kanannya ngehantam lurus ke arah wajah. Dodi sigap, miringin badan, nahan dengan lengan kiri. Dentuman keras terdengar.
Bughh!
Keduanya langsung balas.
Ari Cobra ngangkat lutut kanan ke arah perut, Dodi nahan dengan siku sambil balas dengan hook kiri ke arah rahang. Ari geser dikit, tangkis dengan bahu.
Bammm!!
Pertarungan ini beda.
Kalau Rio dan Andre tadi lebih barbar, Ferry dan Dimas penuh taktik membaca timing, maka pertarungan Dodi lawan Ari Cobra ini gabungan keduanya: teknik, kekuatan, strategi, plus insting liar.
Setiap pukulan yang diluncurkan nggak pernah asal. Ada perhitungan. Ada cara. Dan tiap serangan selalu ditangkis balik dengan sempurna.
Suara benturan tangan dengan tangan, tulang dengan tulang, berulang kali terdengar.
“Bughh! Bammm! Duggghhh!!”
Waktu udah berjalan satu jam, tapi mereka masih sama-sama berdiri. Tangan udah ungu lebam, kaki sama-sama bergetar, tapi mata mereka tajam—tidak ada keraguan.
Doni dari SMK Garuda yang nonton cuma bisa ngedumel,
“Anjir, beda banget sama waktu lawan gua dulu… sekarang dia nggak ada ragu sama sekali.”
Dia tersenyum tipis, tapi jelas senyuman itu bukan senyum lega, melainkan senyum ngeri.
Di tribun, seorang anak SMK Cakrawala nyeletuk ke temennya,
“Lu kira Dodi bisa lawan Ari? Ari kan terkenal kuat.”
Temennya geleng pelan, lalu bisik dengan nada kagum.
“Lu nggak tau ya? SMK Bima Sakti itu bukan baru kuat pas dipimpin Bima. Jauh sebelum itu, ada Dodi…”
***
Dulu, waktu Dodi baru kelas 1, tubuhnya masih kecil dibanding kakak kelasnya. Tapi dia udah jadi momok. Satu per satu kakak kelas coba ngetes dia, dan semuanya tumbang. Sampai akhirnya, pemimpin SMK Bima Sakti waktu itu—badan gede, kekar kayak bodyguard—turun tangan.
Pertarungan itu berat sebelah di mata orang. Semua yakin Dodi bakal habis.
Tapi hasilnya?
Dengan teknik bersih, efisien, dan dingin, Dodi menjatuhkannya.
Pemimpin itu nggak terima, sampai manggil kenalan gangster terkuat di wilayah itu. Pertarungan 1 lawan 1 pun terjadi. Anak-anak SMK pada ngumpul, deg-degan.
Dan hasilnya?
Dodi menang. Bukan cuma menang—dia menang tanpa luka di badan, kecuali tangan dan kaki yang lebam karena terus dipakai buat nahan dan mukul.
Nama Dodi langsung jadi legenda.
Kalau Bima terkenal dengan gaya brutal dan tenaga barbar, maka Dodi terkenal dengan teknik sempurna.
***
Balik ke pertandingan.
Udah dua jam berlalu, tubuh mereka babak belur. Wajah bengkak, pelipis pecah, napas ngos-ngosan. Tapi sorot mata mereka masih sama-sama fokus.
“Haaahhh!!”
Ari Cobra ngeluncur dengan pukulan lurus.
“Buggghhh!!”
Dodi tahan dengan dua tangan, terus balas dengan uppercut keras yang bikin kepala Ari keangkat.
Mereka terus saling jotos, saling tangkis. Penonton sampai bengong. Kagum, ngeri, tapi nggak bisa berhenti bersorak.
Di detik penentuan, keduanya sama-sama ngumpulin tenaga terakhir.
Ari Cobra teriak, maju dengan haymaker kanan penuh tenaga.
Dodi balas, tapi kali ini bukan cuma pakai tekniknya sendiri—dia meniru gaya Bima, cepat, brutal, tapi tetap terukur.
Duuuuugghhh!!
Keduanya terhantam. Ari mental ke belakang, tubuhnya jatuh terkapar. Staminanya habis, matanya terpejam.
Dodi pun jatuh berlutut, kedua tangannya menopang badan supaya nggak rebah. Tubuhnya gemetar, napasnya kacau. Tapi matanya masih terbuka, masih menyala.
Sorakan langsung pecah.
“DOOOODIIII!!!”
“BIMA SAKTI MENANG LAGI!!!”
Anak-anak Cakrawala berdiri, sorak sorai, udah yakin Dodi yang menang.
Doni dari Garuda cuma nyengir, tatapannya makin dingin.
“Lu makin gila aja, Dod… makin bikin gua pengen rematch.”
Sementara itu, Bima di sisi barisan mereka hanya tersenyum tipis.
Raka dan anggota lain buru-buru nyamperin Dodi, ngangkat dia ke pinggir buat diobati. Penonton masih ricuh, masih kagum, masih teriak-teriak. Tapi satu hal jelas: hari ini, SMK Bima Sakti nunjukin kalau mereka bukan sekadar geng yang bergantung sama nama Bima.
Mereka punya Dodi.
Legenda yang mulai hidup lagi.