“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Tersangka
Kevia terdiam, hatinya memberontak. "Kenapa harus aku?"
Di bawah tatapan guru dan teman-temannya, Kevia hanya mampu mengangguk kecil. “Baik, Bu.”
Riri dan Ani buru-buru memalingkan wajah. Tatapan mereka bertemu, senyum terselubung muncul di balik ekspresi pura-pura polos.
“Rasain, lo!” batin Riri puas. “Ini baru pemanasan. Jackpot masih menunggu.”
“Mampus!” gumam Ani dalam hati. “Riri memang pintar.”
Dengan langkah berat, Kevia kembali melangkah masuk ke kelas. Bau busuk itu semakin menusuk, seperti menampar hidung hingga ke lambung. Napasnya terengah, menahan mual yang kian menggumpal di kerongkongan.
Semakin dekat ke deretan bangku, matanya membeku. Sebuah kantong plastik hitam tergeletak, isinya tumpah sebagian. Sampah busuk berbaur cairan anyir, belatung menggeliat di permukaan.
Bibir Kevia pucat, perutnya bergolak. Namun ia tetap bergerak. Tangan mungilnya meraih satu per satu tas, menumpuknya di bahu.
“Cepat… cepat…” ia berbisik lirih, suara tercekat di antara napas yang terengah. Setiap langkah terasa seperti menembus kabut racun.
Begitu keluar dari kelas, wajah Kevia pucat pasi. Perutnya mual, nyaris muntah, sebelum ia buru-buru menghirup dalam-dalam udara luar yang terasa jauh lebih segar. Ani sigap meraih semua tas dari bahu Kevia, termasuk tas milik gadis itu, lalu meletakkannya di dekat pintu. Murid-murid lain segera berhamburan menghampiri, sibuk mencari tas mereka masing-masing di tumpukan itu.
Dalam kekacauan kecil tersebut, Ani bergerak cepat. Dengan gerakan halus dan nyaris tak terlihat, ia menyelipkan sesuatu ke dalam tas Kevia. Tak seorang pun memerhatikan. Semua terlalu sibuk dengan barang-barang mereka sendiri.
Kevia masih berusaha menetralkan rasa mualnya. Namun belum sempat ia menarik napas lega, Ani bersuara lantang, seolah sengaja agar semua mendengar.
“Aduh… Kevia jadi bau busuk, ya. Pantas aja, kelamaan di kelas yang bau.”
Tawa cekikikan pun terdengar. Beberapa murid buru-buru menutup hidung sambil menjauh darinya.
Dalam hati Kevia bergumam getir, "Bukannya berterima kasih, malah mengejek." Ia hanya bisa menghela napas berat.
Dan tepat saat itu, Kevin datang bersama beberapa siswa lain yang baru kembali dari kantin. Mereka terhenti di depan kelas, melihat Kevia berdiri lelah dengan wajah pucat, bajunya tercium bau tak sedap.
Murid-murid lain buru-buru meraih tas mereka dari tumpukan. Suasana jadi riuh. Tapi Kevin hanya berdiri di ambang pintu, matanya menajam. Ia menangkap sekilas senyum licik di bibir Riri dan Ani.
"Pasti ini ada hubungannya dengan mereka." batinnya.
Dengan rahang mengeras, Kevin mengambil tasnya sendiri dari tumpukan. Lalu ia melirik Kevia yang masih berdiri menunduk. Ada sesuatu di sorot matanya: marah, iba, sekaligus tekad yang baru terbentuk.
Para murid akhirnya diarahkan ke aula. Suasana riuh, kursi-kursi berderit, tapi begitu Kevia ikut masuk, tatapan-tatapan langsung mengarah padanya. Mereka menutup hidung, wajah terlipat jijik.
“Kevia, kamu jauh-jauh deh di pojok sana. Bau tahu!” Ani berteriak sambil meringis pura-pura tak tahan.
Riri menyambar dengan suara lebih tajam. “Iya. Orang miskin memang biasanya bau, 'kan? Mana mampu beli parfum.”
Beberapa murid lain ikut menimpali, menahan tawa. “Kevia, pengertian sedikit dong. Bau kamu bikin mual.”
Kevia berhenti di tengah aula, tubuhnya kaku. Dada sesak, tapi ia menegakkan bahu. Matanya menatap satu per satu teman yang menertawakan. Suaranya serak, namun tegas.
“Aku bau, iya. Tapi kalian lupa kenapa? Karena kalian semua memaksaku masuk sendirian ke kelas busuk itu demi ambil tas kalian. Kalau aku gak masuk, mungkin sekarang tas kalian masih di sana. Seharusnya kalian berterima kasih… bukan mengejek.”
Keheningan mendadak jatuh. Suara berisik aula teredam, hanya tersisa tatapan tak percaya. Beberapa anak yang tadi tertawa terdiam, tak bisa menyanggah.
Kevia menarik napas panjang, lalu berjalan ke bangku paling pojok. Ia duduk sendirian, memunggungi mereka, menunduk sambil menahan air mata yang hampir jatuh.
Kevin, yang sejak tadi menyaksikan, tidak berkata sepatah kata pun. Wajahnya tetap tenang, seolah tak peduli. Tapi jarinya yang menggenggam pulpen mengetuk-ngetuk meja pelan, tanda ia menahan sesuatu. Sesekali matanya melirik ke arah Kevia. Sorotnya penuh gelisah, lalu cepat-cepat dialihkan, pura-pura menulis.
Saat Kevia mengusap wajahnya diam-diam, Kevin menunduk lebih dalam, meremas pulpen hingga buku catatannya sedikit tergores mata pena. Bibirnya mengatup rapat, jelas ia ingin bergerak, ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.
Ia tahu, satu langkah salah bisa membuat Kevia makin disudutkan. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah duduk di sana, berpura-pura tak peduli, sementara hatinya bergejolak.
Dan justru sikap diam itu membuat dada Kevia makin perih.
“Tak apa, Kevia. Kamu kuat. Kamu baik-baik saja,” batin Kevia bergetar, mencoba meneguhkan diri.
Ruangan aula mendadak lebih riuh dari biasanya. Kevia masih duduk di pojok, berusaha menenangkan napas setelah kejadian di kelas. Namun suara Ani tiba-tiba terdengar lantang.
“Natali! Aku tadi belum bayar uang kas. Nih, aku bayar.” Ani menyodorkan selembar uang merah cerah dengan senyum tipis penuh arti.
Natali menerima sambil mengangguk. “Oke, bentar aku ambil kembaliannya di tas.” Ia melangkah ke arah kursinya.
Detik berikutnya, suaranya pecah, panik. “Lho… uang kasnya… hilang!”
Aula langsung riuh. Bisik-bisik merambat cepat, lalu pecah jadi kegaduhan. Kursi berderit, murid-murid berdiri, saling menoleh, mata membesar.
“Apa? Uang kas hilang?”
“Gak mungkin!”
“Padahal aku lihat sendiri Natali taruh di tas tadi!”
Ani buru-buru menutup mulut dengan tangannya, wajah dibuat tegang. “Astaga… jangan-jangan…” Tatapannya bergerak, berhenti pada Kevia yang duduk sendirian. “Tadi cuma Kevia yang masuk ke kelas sendirian buat ambilin tas, 'kan? Mungkin… saat itu…”
Riri langsung menyambar, nadanya lantang, menyalakan api. “Iya! Itu masuk akal banget. Siapa lagi kalau bukan dia? Kita semua ada di luar waktu itu.”
Puluhan pasang mata langsung menancap pada Kevia.
Gadis itu membeku, tapi tidak ketakutan. Ia mengangkat wajah, meski jantungnya berdegup tak terkendali.
“Bukan aku…” ucapnya tegas, suaranya bergetar halus. “Aku sama sekali gak—”
“Tapi cuma kamu yang punya kesempatan!” potong Riri cepat.
“Dan kamu 'kan… memang miskin. Mungkin tergoda,” sambung Ani, nadanya manis tapi menusuk, pura-pura prihatin padahal meracuni.
Suasana mendidih. Suara-suara lain ikut menyalak.
“Parah banget, Via.”
“Uang kas itu buat kepentingan kita semua!”
“Gak nyangka…”
Kevia menggeleng kuat, wajahnya pucat tapi matanya masih berusaha teguh. “Aku gak ambil! Aku cuma nurut ngambilin tas kalian. Itu saja!”
Riri menyeringai samar. “Kalau gitu, buktikan.” Suaranya lantang. “Periksa tasnya!”
Seolah komando, beberapa murid bergerak serentak. Tas Kevia yang terletak di kursi segera diseret ke tengah aula.
Kevia menatap tasnya. Tenggorokannya tercekat. Ia tahu dirinya tak bersalah, tapi ada rasa dingin merayap di tulang, firasat buruk yang menusuk, seolah sesuatu yang mengerikan sedang menunggu di balik resleting itu.
Dengan langkah pelan, ia maju, berusaha terlihat tenang. Namun di dalam dadanya, detak jantungnya terdengar bagai gendang perang.
Natali, wajahnya tegang, tetap membuka tas itu dengan tangan bergetar. Aula mendadak hening, semua menahan napas.
Di dalam tas Kevia, terlipat rapi, tampak ikatan uang kas yang tadi Natali susun.
“Ini… ini dia…” suara Natali pecah, nyaris berbisik.
Mata Kevia terbelalak. Jantungnya seolah berhenti berdetak. "Tidak… bagaimana bisa ada di sana?"
Napasnya tercekat, tubuhnya membeku. Ingatannya berkelebat: Riri dan Ani yang tadi tumben tak langsung keluar dari kelas, sampah busuk yang tiba-tiba muncul, jebakan halus yang membuatnya masuk sendirian… Semua potongan itu menyatu di kepalanya. Dan sekarang, jebakan itu menutup rapat.
Ejekan meledak serentak, memecah udara.
“Ketahuan!”
“Ternyata beneran dia maling!”
“Pantes aja sok baik tadi, biar gak ketahuan!”
“Dasar miskin! Ujung-ujungnya nyolong!”
Suasana aula mendidih. Teriakan dan tawa sinis menusuk Kevia dari segala arah. Gadis itu terpaku di tempat, wajahnya pucat pasi, seolah seluruh darah menghilang dari tubuhnya. Lidahnya kelu, suara terkunci di tenggorokan. Ia ingin membela diri, tapi hanya udara kosong yang keluar dari mulutnya.
Di sudut aula, Kevin duduk bersandar. Wajahnya dingin, tak terlibat dalam keributan. Namun matanya… tajam, penuh sorot gelap, mengikuti setiap detail. Rahangnya mengeras, tangan kanannya perlahan mengepal di bawah meja, menahan dorongan yang mendesak untuk bergerak.
Hening mendadak patah.
BRAK!
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....