"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
“Baik, saya akan urus,” ucap Riko tanpa ragu.
“Terima kasih, Pak,” jawab perawat.
Perawat merasa kagum akan kebesaran hati Riko. Padahal, anak kandung Pak Ferdi sendiri enggan mengurus jenazah ayahnya. Mereka justru asyik berpacaran dengan selingkuhannya. Awalnya, perawat tidak terlalu berharap Riko mau mengurus jenazah tersebut, mengingat istri maupun anak kandung Pak Ferdi sama sekali tidak peduli. Namun kenyataannya, Riko justru mengambil tanggung jawab itu dengan tulus, tanpa sedikit pun menunjukkan keraguan di wajahnya.
Riko masuk ke ruang perawatan menemui Melati.
“Melati, Sayang…” ucap Riko, “Ayah mau keluar sebentar, ya.”
“Mau kerja, ya?” tanya Melati dengan wajah cemberut.
“Iya. Jangan cemberut begitu, dong,” Riko mencoba menghiburnya sambil tersenyum, berharap Melati tetap tenang.
“Melati, biarkan Ayah bekerja. Melati sama Kakak, ya,” ucap Melisa dengan suara lembut. Demi apa pun, Riko ingin selalu mendengar suara itu.
“Ya sudah, kalau ada Kakak,” jawab Melati manja, lalu memeluk bantalnya
,
Dalam pikirannya, Melati diliputi rasa takut. Ia khawatir kejadian semalam terulang—ada kuntilanak yang menyakitinya. Padahal, sosok itu adalah Rosidah, nenek kandungnya sendiri. Namun, karena Riko mengatakan itu kuntilanak, Melati percaya. Riko memang tak ingin menanamkan kebencian di hati Melati.
Riko memberi kode pada Melisa agar menjauh dari Melati.
“Mel, aku mau mengurus jenazah mantan mertuaku,” ucap Riko. Kini ia tak lagi memanggil “Mbak,” melainkan langsung menyebut nama, sesuai permintaan Melisa.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” ujar Melisa. “Baik, urus saja, Mas. Melati biar aku yang jaga.”
“Terima kasih, ya,” balas Riko.
Kemudian, Riko keluar dari kamar perawatan. Seorang perawat menghampirinya, lalu memandu langkahnya menyusuri lorong rumah sakit. Suasana terasa hening dan dingin. Riko mengikuti tanpa banyak bicara, hingga mereka berhenti di depan pintu kamar jenazah
“Bapak mau ikut memandikan?” tanya salah seorang petugas.
“Baik, saya akan memandikannya,” jawab Riko tanpa ragu, menatap penuh tekad pada tubuh yang terbaring kaku itu.
Lagi-lagi, perawat merasa kagum akan kebesaran hati Riko. Sementara itu, Laras dan Doni kini menjadi buah bibir di rumah sakit. Kelakuan mereka sungguh memalukan—berselingkuh di kamar perawatan, membiarkan orang tua sendiri meninggal tanpa ditemani, bahkan lebih parahnya lagi, enggan mengurus jenazahnya. Kontras dengan Riko yang tanpa hubungan darah pun rela mengambil tanggung jawab tersebut dengan hati yang tulus.
Setelah dimandikan, jenazah segera dikafani. Kain putih itu membungkus tubuhnya dengan rapi, menandai akhir perjalanan hidup di dunia. Semua dilakukan dengan penuh hormat, sesuai tata cara, sebelum prosesi selanjutnya dijalankan.
“Pak Riko, silakan ke ruang administrasi untuk mengurus kepulangan jenazah,” ucap seorang petugas.
“Baik,” jawab Riko tanpa ragu. Ia segera mengurus administrasi.
“Untuk biaya ambulans, lima ratus ribu, Pak,” ujar petugas.
“Baik, saya akan bayar,” balas Riko tegas.
Petugas itu menatap wajah Riko sejenak, seolah ingin memastikan sesuatu. Setelah itu, ia menandatangani beberapa berkas yang memang harus diselesaikan sebagai bagian dari prosedur, lalu menyerahkannya kembali kepada Riko dengan sikap profesional.
Riko segera menghubungi rekan ojolnya untuk berkoordinasi dengan pihak pengurus pemakaman, memastikan proses pemakaman dapat segera dilakukan. Setelah mendapat penjelasan, ia diberi tahu bahwa biaya yang diperlukan sekitar satu setengah juta rupiah. Tanpa ragu, Riko langsung membayarnya, meski kini uangnya hanya tersisa dua juta.
Ia juga menghubungi rekan ojol lain yang tinggal dekat rumah Ferdi, memintanya mengumumkan kabar duka tentang meninggalnya Ferdi kepada tetangga sekitar.
Tak lama, jenazah Ferdi dimasukkan ke dalam ambulans. Di dalam kendaraan itu hanya ada sopir, seorang petugas, dan Riko sendiri. Tidak ada satu pun anggota keluarga Ferdi yang datang untuk mengantar. Riko hanya bisa duduk terdiam, merasa miris menyaksikan kenyataan pahit tersebut.
Ambulans tiba di rumah Ferdi. Tak ada kursi yang disiapkan untuk pelayat, tak ada bendera kuning terpasang di depan rumah, dan tak satu pun orang datang untuk melayat. Suasana sunyi senyap, seolah kematian ferdi tidak berarti apapun.
“Ini benar rumah dukanya, Pak?” tanya sopir dengan ragu.
“Benar, Pak,” jawab Riko.
“Kok sepi?” tanya petugas.
“Saya juga tidak tahu. Teman saya sudah mengumumkan di masjid, tapi kok tetap sepi, ya?” ucap Riko heran.
Riko turun dari ambulans, sementara beberapa anak kecil berlarian mengerumuni kendaraan itu dengan rasa penasaran. Ia melangkah menuju rumah Ferdi, namun mendapati pintunya terkunci rapat.
“Kok dikunci?” gumam Riko pelan
Seorang tetangga datang menghampiri Riko.
“Riko, kami sudah mengumumkan bahwa Pak Ferdi meninggal. Tapi karena rumah ini terkunci dan tidak ada siapa-siapa, banyak warga akhirnya kembali pulang,” ujar tetangga bernama Rino.
“Apakah Pak Rino sudah menghubungi adik Pak Ferdi?” tanya Riko, berharap masih ada keluarga yang bersedia mengurus pemakaman bersama dirinya walau bagaimanapun keluarga lebih berhak mengurus ketimbang dirinya
“Sudah, tapi istrinya Pak Arsyad tidak mau ke sini. Katanya, ia sakit hati karena merasa ditipu oleh Pak Ferdi,” ucap Rino.
“Kalau kakaknya Pak Ferdi?” tanya Riko.
“Lebih parah lagi. Dia bilang, ‘Aku tak sudi mengubur Ferdi,’” ujar Rino dengan nada heran.
“Ya sudah, kalau memang tidak ada keluarga yang ditunggu, kita langsung saja salatkan,” ucap Riko
“Lah… Laras ke mana, Rik?” tanya Rino.
“Masih sakit, habis dioperasi,” jawab Riko, enggan membongkar aib Laras yang sebenarnya sedang berselingkuh dan tidak mau mengurus jenazah ayahnya.
“Terus, Ibu Rosidah ke mana?” tanya Rino lagi.
Riko terdiam, bingung harus menjawab apa. Riko tidak mau mengumbar aib orang lain dan mengatakan kalai rosidah dipenjara karena mencoba membunuh melati, biar mereka tahu tapi bukan dari dirinya.
“Ah, sudahlah. Paling dia kabur. Begitulah Bu Rosidah, maunya enak saja. Giliran begini, tidak mau mengurus. Untung saja ada kamu, Rik,” ucap Rino.
“Sudahlah, ayo kita salatkan saja Pak Ferdi,” jawab Riko, berusaha mengakhiri pembicaraan.
Sesampainya di musala, sudah ramai ojol dan beberapa warga yang hadir. Berita kematian mertua Riko cepat menyebar di grup ojol. Begitu mendengarnya, banyak rekan ojol menyempatkan diri untuk datang melayat. Mereka merasa wajib hadir karena keluarga salah satu rekan mereka sedang berduka.
Para ojol itu mengenal Riko dengan baik, meski tidak pernah mengenal Ferdi secara pribadi. Andai Riko tidak mengumumkan kabar duka tersebut, kemungkinan besar tidak akan ada yang menyalatkan jenazah Ferdi. Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa persaudaraan tidak selalu terikat oleh darah, melainkan oleh rasa peduli dan solidaritas.
Setelah dishalatkan jenazah di bawa ke tempat pemakaman sampai mau dikuburkan saja satu prangpun keluarga ferdi tidak ada, yang rekan-rekan ojol, pengurus makam, dan tetangga terdekat
Seorang ustaz memimpin doa untuk Ferdi. Ia meninggal, dimandikan, dikafani, dipulangkan dari rumah sakit, disalatkan, dan akhirnya dimakamkan—semua diurus oleh Riko, menantu yang selama ini tak dianggap. Menantu yang tak pernah menyentuh istrinya, sering diremehkan, namun di saat terakhir justru menjadi orang yang mengurus segalanya.