Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 – Yang Pernah Direncanakan
Langit malam sudah menghitam sempurna saat aku tiba di rumah.
Suara motor tetangga terdengar samar dari luar pagar, tapi suasana di dalam rumah kami tenang. Hangat. Lampu ruang tamu menyala redup. Umi sedang di dapur, terdengar sedang menelepon seseorang. Aku langsung melepas sepatu, lalu berjalan pelan menyusuri lorong menuju ruangan kecil di pojok rumah.
Ruangan Abi.
Pintunya terbuka separuh. Aku mengintip sebentar—Abi duduk di kursi kerjanya, mengenakan kemeja batik lengan pendek, dengan sarung yang terlipat rapi. Di depannya, laptop tua yang masih menyala. Jemari beliau menari pelan di atas keyboard, mengetik sesuatu.
Aku tidak ingin mengganggu. Maka aku duduk diam di kursi kecil di depannya, menunggu dengan sabar sambil memeluk lutut.
Aku selalu suka menatap wajah Abi saat bekerja. Fokusnya, ketenangannya, cara dia berhenti sejenak lalu mengetik lagi setelah berpikir dalam-dalam. Beliau seperti lautan yang tak terburu-buru menenggelamkan, tapi selalu mampu membuatku tenggelam dalam keteduhan.
Beberapa menit berlalu.
Abi akhirnya berhenti mengetik, lalu menoleh ke arahku.
“Sudah dari tadi duduk di situ?”
Aku tersenyum. “Lumayan.”
Abi ikut tersenyum kecil, lalu menutup laptopnya. “Kenapa? Mukamu kayak anak yang habis ngelamun sambil dengerin hujan.”
Aku menunduk, menarik napas. “Abi… aku mau nanya sesuatu.”
“Tanya aja, nak. Abi dengerin.”
Aku mengangkat wajah. Menatap mata teduhnya, lalu berkata pelan, “Abi masih ingat nggak… sahabat Abi yang namanya Fathur Rahman Hakim Ar-Rasyid?”
Abi langsung tersenyum. “Lho, itu pertanyaan atau nostalgia?”
Aku ikut tertawa kecil, tapi tak bisa menyembunyikan nada serius di suaraku. “Abi deket banget sama beliau, ya?”
“Dekat sekali. Dari dulu. Dari zaman kuliah. Dia itu saudara seperjalanan dalam banyak hal. Bahkan dulu kita sempat buka klinik hukum kecil bareng sebelum Abi pindah kerja ke kementerian.”
Aku mengangguk pelan. “Putranya, Abi kenal juga?”
Abi menyandarkan badan ke kursi, matanya menerawang. “Dulu kenal. Dua-duanya. Tapi yang paling sering main ke rumah itu anak keduanya... Fatur. Dia dulu kecil, tapi cerewet. Suka gangguin kamu yang lagi main masak-masakan. Kalian sering rebutan…”
Aku menahan napas.
“Abi pernah bilang aku dijodohin sama dia,” kataku pelan.
Abi tertawa kecil. “Itu cuma bercanda, Win. Waktu itu Umi sama istrinya Fathur memang suka ledek-ledek soal kalian. Tapi ya… siapa sangka sekarang kamu ketemu dia lagi?”
Aku menegakkan tubuh. “Abi tahu dia kerja di kantor tempat aku magang?”
Abi mengangguk. “Tahu. Fathur cerita waktu kita reuni alumni. Dia bilang Fatur sekarang bantu di firma, habis selesai dari Paris.”
Aku membatu sejenak. Seperti menelan informasi yang terlalu besar dalam satu suapan.
“Kenapa nggak bilang ke aku, Bi?”
Abi tersenyum lembut. “Abi pikir kamu bakal tahu sendiri. Lagipula… kadang, hal-hal yang sudah direncanakan Tuhan lebih rapi dari yang kita rancang.”
Aku menunduk.
> Fatur kecil itu… adalah Fatur yang sekarang.
Dan Fatur yang sekarang… adalah sosok yang menyerupai Ale.
Atau entah apa ini semua berarti.
“Abi,” kataku ragu, “kalau aku bilang… dia mirip seseorang dari masa laluku… Abi percaya?”
Abi tak langsung menjawab. Tapi ia menatapku lama, lalu menjawab dengan lembut:
“Orang-orang yang penting dalam hidup kita nggak pernah benar-benar hilang, Win. Kadang mereka datang kembali… dengan wajah berbeda. Tapi dengan rasa yang sama.”
Dadaku sesak.
Aku mengangguk, pelan. Tanpa berkata lagi. Lalu bangkit, memeluk Abi dalam diam. Dan di pelukan itu, aku merasa... sepotong demi sepotong masa lalu mulai menyatu dengan masa depan yang belum kutahu akhirnya.
Bab ini menghadirkan penguatan emosional lewat hubungan keluarga, mengaitkan kembali masa kecil dan nasib yang tersembunyi dalam gurauan, serta memberi ruang batin bagi Wina untuk bersiap memasuki babak selanjutnya: menerima bahwa mungkin Ale tak kembali... tapi cinta bisa hadir dengan cara lain.
Udah siap dengan kelanjutannya?...
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup