"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : POV Kasandra (2)
Malam Panas itu
Pagi itu dadaku bergemuruh, amarahku memuncak saat laporan sampai di meja kerjaku. Perempuan yang bernama Dea ada di rumah sakit yang sama dengan suamiku. Walaupun di dalam foto mereka tidak sedang bersama, tapi laporan perbankan menunjukkan kalau Devan baru saja memakai uang dengan jumlah yang fantastis.
Apa semahal itu biaya yang harus dikeluarkan untuk visum perempuan yang katanya menjadi korban kekerasan? Aku segera memblokir semua akun perbankan Devan yang ia pakai untuk membayar rumah sakit.
Siang itu Devan datang ke kantorku dengan wajahnya yang tidak biasa, ia marah sekali karena tindakanku memblokir dua ATM miliknya. Alasannya, satu ATM untuk pembayaran biaya operasi katarak mama Kartini dan satu ATM untuk belanja logistik kebutuhan batalion yang ia pimpin.
Pertengkaran terjadi di kantorku. Aku tidak ingin mengakui kesalahanku, karena aku masih terbakar api cemburu. Bisa saja itu hanya alasan dia untuk membiayai selingkuhannya kan?
Aku tetap menuduhnya memakai uang untuk selingkuhannya. Tapi ia menyangkal dengan keras. Ia mengeluarkan bukti kalau uang itu untuk membayar biaya operasi katarak mama Kartini.
"Demi Tuhan, uang itu untuk mengobati mamaku. Sekarang ia sedang di ruang operasi, Ca!" bantahnya
"Halah ngga usah bohong kamu, Van! Perempuan itu parasit, dia bukan hanya menggoda papa tirinya. Tapi juga menggoda lelaki sepertimu!" balasku
"Perempuan siapa yang kamu maksud? lelaki sepertiku? Aku lelaki seperti apa maksud kamu, hah?!" Wajahnya semakin memerah terbungkus amarah.
"Ah sudahlah, kamu tidak ubahnya mamamu. Anak seorang pelakor yaa... Jodohnya pelakor lagi!" ejekku
Devan mengusap wajahnya dengan kasar, airmata memenuhi matanya yang memerah, telunjuknya bergetar saat menunjuk wajahku. "Aku bingung apa isi kepalamu itu. Kenapa kamu selalu membenci mamaku?! Jangan pernah hina mamaku, Ca! Aku tidak akan pernah memaafkan penghinaan ini. Selamanya aku akan mengingat ucapanmu hari ini! Sampai kamu menangis darah tidak akan aku maafkan semua penghinaanmu terhadap mamaku, camkan itu!" Suara Devan menggelegar memenuhi ruang kerjaku.
Tubuhku goyah saat melihat kebencian menebal dari sorot matanya
"Selama ini aku berusaha mempertahankan rumah tangga kita. Aku berusaha setia padamu. Jika aku mau, sudah lama aku meninggalkanmu. Tapi itu tidak aku lakukan, hanya karena Zie... ya! Hanya karena Zie aku masih bertahan hidup bersama perempuan kasar sepertimu. Aku lelah, sungguh aku lelah dengan rumah tangga kita."
"Setia? setia katamu! Apa ini... kamu menghabiskan uang untuk perempuan parasit ini kan?!" Aku melemparkan foto dan menunjukkan bukti-bukti kalau perempuannya baru saja melakukan visum.
Kesalahan fatal aku lakukan!
Karena emosi aku justru membuka celah lagi bagi suamiku untuk mencari tahu kabar perempuan itu. Ternyata ia baru tahu justru dari mulutku sendiri, kalau perempuan yang bernama Dea menjadi korban kekerasan dan percobaan pemerkosaan papa tirinya.
Saat itu juga wajahnya berubah panik, amarah yang meluap-luap berubah menjadi wajah ketakutan. Lalu ia meninggalkanku begitu saja di ruang kerjaku. Aku menyesali tindakan ceroboh ku. Usaha yang aku bangun selama satu bulan agar ia kembali padaku seakan tidak berarti baginya.
Penilaianku salah, kuakui aku salah langkah. Selama satu bulan Devan tidak benar-benar kembali menjadi suami yang aku inginkan dan banggakan, tapi ia hanya menahan kerinduan pada kekasihnya. Ia tidak pernah bisa melupakan kekasihnya, ia hanya berusaha sadar akan tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah Zie. Juga menyadari akan sumpah janji seorang prajurit.
Malam itu, dengan keras kepalanya aku berusaha membangkitkan gairahnya. Kupikir, ini satu-satunya cara agar ia memaafkan ku, memaafkan kecerobohanku karena melarangnya membiayai pengobatan mama Kartini. Aku tahu Devan tidak pernah menolak jika aku memulainya lebih dulu, dan ia akan lebih mudah memaafkan ku jika nafkah batinnya aku cukupi. Aku berharap setelah itu kami berbaikan. Dan ia bisa melupakan gadis itu.
Tapi ternyata aku salah!
Aku tertampar kenyataan jika semestanya bukan lagi aku.
"Aku tidak ingin, Ca. Dan aku masih marah padamu!" bentak Devan lalu melewatiku
"Aku tidak sepenuhnya salah. Mamamu yang tidak mengerti maksud baikku." Aku tidak ingin disalahkan, karena tidak sepenuhnya aku yang salah.
Aku tetap memaksanya. Ia melipat satu lengannya untuk menutupi wajahnya. Aku tahu dia frustasi tidak sanggup menolak 'rayuan'ku.
"Jangan salahkan aku jika ini akan menyakitimu, Ca!" Devan mengeram saat aku memberi gerakan seduktif pada alat tempurnya.
"Aku lebih baik dari perempuan itu, Van! Aku lebih bisa memuaskan mu, Van." Aku memenjarakan tubuhnya di bawah kuasaku.
Ia mendorong tubuhku dengan kasar. "Kamu pikir perasaan cinta hadir hanya dengan hubungan seperti ini."
Devan bangkit dari kasur. Tapi aku menahannya, "buktikan jika dia memang lebih baik dariku!"
"Apa maumu, Ca?!" bentaknya lagi saat aku menghapus jarak di antara kami.
"Buktikan, jika kamu tidak akan mendesah dan mengerang saat bersamaku!" Aku menantangnya.
"Ini akan menyakitimu! Jangan paksa aku menyakitimu, Ca!" tolaknya, ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
"Buktikan Vano! Buktikan kamu tidak tergoda olehku!"
Devan menatapku dengan tatapan yang sulit ku artikan, hingga akhirnya ia mengikat tanganku di atas kepala.
Tubuhku hanya dijadikan pelampiasan fantasinya pada perempuan itu.
Matanya tidak lagi menatapku dengan begitu dalam seperti biasanya. Tangannya tidak lagi menyentuh tubuhku, bibirnya tidak lagi mencumbui ku. Tapi tangannya ia pakai untuk menggeser foto demi foto gadis itu dari galeri ponselnya.
Saat ia mencapai puncak, matanya menatap wallpaper ponsel yang memasang wajah perempuan itu, gadis yang berpose lugu sedang mengigit kuku dan tersenyum malu-malu.
Ia mengerang berkali-kali di atas tubuhku hanya dengan menatap wajahnya melalui foto.
Hatiku sakit ... Sakit sekali.
Aku terjebak dalam tantangan ku sendiri. Aku patah. Dan aku baru merasakan lelah mempertahankan rumah tangga, kata lelah yang selama ini sering Devan ungkapkan.
Meminta suaka
Pagi yang cemas.
Pagi itu aku melihat ia begitu bahagia, senyuman tidak lepas dari wajahnya. Ia membuatkan kami sarapan, kami menikmati dalam hening hanya suara Zie yang sesekali memuji nasi goreng sea food buatan Devan.
Aku akui, Devan ayah yang baik bagi Zie. Apapun yang putriku minta tidak pernah ia tolak. Ia selalu memastikan Zie bahagia.
"Papa, di foto itu siapa?" tanya Zie menunjuk wallpaper ponsel saat Devan baru saja meletakkan ponsel khusus untuk perempuan itu dan baru saja membalas pesan darinya.
"Guru tari untuk kamu sayang, Zie mau belajar tarian tradisional kan?" tanya Devan dengan wajah sumringah.
"Yeeeyyy ... Terima kasih papa. Zie ingin bisa menari seperti Nadia dan belajar ballet seperti Eve," seru putriku dengan bahagia.
Hatiku menangis, perih.
Pagi itu tekadku bulat untuk meminta suaka pada kantor tempat Devan berdinas. Ku abaikan rasa malu dan bayangan akan menerima cemooh dan nasehat panjang dari istri seniorku. Kesombonganku yang setinggi Burj Khalifah runtuh seketika.
Setiap langkah kaki terasa berat seakan membawa beban dunia atas peperangan entah yang ke berapa kali. Aku hanya menatap kilau marmer ruang kerja komandan suamiku. Aku siap jika harus disalahkan dan disindir dengan kata-kata pedas karena selalu menolak aktif di acara kesatuan yang menaungiku.
Udara dingin dari pendingin ruangan tidak mampu mendinginkan hatiku yang terluka dan berdarah.
Pintu kupu-kupu itu terbuka, langkah kaki sepasang suami istri itu menghentak lantai marmer dengan irama yang sama. Senyuman dan tatapan teduh ibu komandanku mengoyak pertahanan kesabaranku. Air mataku jatuh bagaikan air terjun di ujung tebing. Tubuhku bergetar menahan perasaan sakit di dadaku.
Belaian dan usapan lembut mendarat di punggungku. Ia memelukku seperti seorang ibu, pelukan sosok ibu yang aku rindukan. Dengan suara terbata aku menceritakan semua permasalahan rumah tanggaku.
"Kami mengerti perasaanmu, Ny. Devano. Kami akan menindak lanjuti permasalahan ini. Bagi kami keutuhan rumah tangga prajurit adalah yang utama. Kamu adalah keluarga kami, bagian dari keluarga besar ini. Jangan pernah sungkan untuk datang meminta perlindungan pada kami," ucapnya dengan lembut.
Sebuah oase hadir ditengah kemaraunya perasaanku. Aku diterima. Aku dilindungi dan aku dirayakan sebagai satu-satunya perempuan yang berhak ada di sisi Devano.
Kalau tahu mereka sebaik ini, aku tidak pernah menolak untuk aktif di setiap kegiatan kesatuan. Aku terjebak dengan pikiran sempit ku sendiri, mengkristal dengan ego yang aku agungkan, merasa lebih mulia dari mereka.
Cerita tentang perkumpulan istri prajurit yang kampungan dan kegiatannya tidak bermanfaat, justru mereka menerimaku dan mendukungku dengan tangan terbuka, mereka menjunjung tinggi martabat ku sebagai istri yang sah.
Tapi aku terlambat!
Hati dan pikiran Devan sudah jauh melenggang pergi meninggalkanku.
Aku kalah. Aku patah.
Semenjak itu, tatapannya tidak lagi sama. Ada gunung es yang makin meninggi tertutup salju di musim dingin. Wajahnya selalu datar, tidak ada lagi senyuman tipis dan wajah gugup serta kata-kata menggoda saat melihatku memakai seragam perkumpulan istri prajurit.
Tatapannya justru jengah melihatku memakai seragam ungu muda itu.
Aku berusaha bertahan sekuat cintaku yang mulai tumbuh padanya. Ini memang gila, disaat ia mengabaikan ku, aku justru makin mencintainya. Meski tahu terlambat, aku akan berusaha mempertahankan rumah tanggaku.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban