Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Dua Dunia yang Mendadak Menyatu
Setelah beberapa menit menikmati angin malam di skydeck, Bhumi melonggarkan pelukan belakangnya, tetapi tidak melepaskannya sepenuhnya. Ia menggeser posisi tubuh, menempatkan diri di samping Bulan agar bisa melihat wajahnya. Wajah Bulan yang merona karena angin dan malu terlihat semakin memikat di bawah cahaya lampu kota.
“Udah cukup dingin?” tanya Bhumi pelan.
Bulan mengangguk, meski enggan meninggalkan pelukan itu. “Sudah… tapi aku betah.”
Bhumi tersenyum kecil. “Kalau aku turutin, kamu bisa betah sampai subuh.”
Bulan memalingkan wajah, pipinya memanas lagi.
Bhumi meraih tangannya, tidak terlalu erat, tapi cukup untuk membuat Bulan merasa dipandu dengan lembut. Mereka kembali menuju lift kaca yang menghubungkan skydeck dengan lantai restoran.
Begitu pintu elevator terbuka, keduanya masuk. Pintu tertutup di belakang mereka… dan suasana berubah total. Suasananya menjadi sunyi dan hening. Hanya suara lembut mesin lift menurunkan mereka sedikit demi sedikit.
Lampu kuning di elevator jatuh lembut di kulit Bulan yang terlihat bercahaya. Bhumi berdiri di sampingnya, bahunya hampir menyentuh bahu Bulan. Ada jarak kecil antara mereka—jarak yang terasa seperti ruang magnet yang menegangkan, membuat udara di dalam lift menghangat dengan cara misterius.
Bulan menunduk pelan, menyembunyikan rasa gugup yang sulit ia kendalikan. Dari refleksi kaca elevator, ia melihat Bhumi menatapnya. Menatap lama. Tanpa berkedip.
Seperti seseorang yang sedang menghafal setiap detail dari wajah yang sangat ia sayangi.
Bulan menghela napas pelan. “Mas… jangan lihat aku kayak gitu.”
“Kenapa?” Suara Bhumi pelan, rendah, namun dalam.
“Karena aku jadi… grogi.”
Bhumi tidak menertawakan. Tidak menggoda. Ia hanya menggeser tubuh sedikit mendekat dan memakai suara yang begitu lembut sampai bulu kuduk Bulan meremang.
“Bukan cuma kamu. Aku juga grogi.”
Bulan menoleh cepat. “Mas? Grogi?”
Bhumi menatap matanya, senyumnya tipis, jujur, tanpa pura-pura. “Aku takut kamu tiba tiba sadar betapa pentingnya kamu buat aku… dan kamu malah lari.”
Bulan merasa seluruh tubuhnya tertarik gravitasi baru.
Lift terus turun, tapi dunia di dalamnya berhenti bergerak.
Tanpa sadar, Bulan melangkah mendekat satu langkah kecil. Bhumi merespons dengan menahan pinggangnya perlahan, sebuah sentuhan ringan tapi membuat seluruh udara berubah.
Pintu lift berbunyi ding.
Bhumi menatap pintu yang terbuka, lalu menatap Bulan lagi. “Ayo pulang.”
“Ke… ke mana?” suara Bulan bergetar pelan.
Bhumi menggenggam tangannya erat, penuh kepastian.
“Ke tempat kita malam ini.”
**
Pintu penthouse Bhumi terbuka, menyambut mereka dengan ruang luas yang diterangi lampu warm-white yang lembut. Citylights Surabaya terlihat dari dinding kaca besar yang menghadap langsung ke kota. Ruang tamu itu modern, rapi, tapi tetap terasa hangat—seolah setiap benda di dalamnya dipilih untuk menciptakan ketenangan.
Bulan melangkah pelan masuk, memandang sekeliling dengan rasa canggung bercampur kagum. Ia memang pernah ke penthouse ini, tapi malam ini terasa berbeda.
Bhumi menutup pintu dan mendekat dari belakang.
“Kamu tidur di sini malam ini,” ucapnya lembut, bukan memerintah, tapi memastikan.
“Mas… apa nggak apa-apa?” tanya Bulan, ragu-ragu.
Bhumi menatapnya. Tatapan jujur yang tidak menyembunyikan apa pun.
“Aku nggak tenang kalau kamu pulang sendirian. Hari ini terlalu berat buat kamu. Kamu butuh istirahat. Dan… aku butuh kamu ada di tempat yang bisa aku lihat dan aku jaga.”
Jantung Bulan mencelos, tapi bukan karena takut—karena hangat. Hangat yang ia tidak pernah alami sebelumnya.
“Tenang aja, aku tidur di kamar sat—”
“Tidak,” potong Bulan cepat tanpa sadar.
Bhumi berhenti. Alisnya terangkat sedikit.
Bulan buru-buru meralat. “Maksudnya… nggak perlu. Aku nyaman.”
Bhumi tersenyum. Ternyata wanitanya ini bisa juga berpikiran yang hiya hiya.
Bhumi berjalan menuju ke arah dapur. “Mau teh atau cokelat panas?”
“Cokelat… kalau boleh.”
“Boleh banget,” jawab Bhumi sambil mengambil gelas yang berada di rak paling atas.
Bulan duduk di sofa, meremas ujung rok, melihat Bhumi menyiapkan minuman dengan ketenangan laki-laki yang sudah terbiasa mengurus semuanya sendiri. Cara Bhumi membuka lemari, memanaskan susu, menuang cokelat, mencampur dengan gerakan pelan… semuanya terlihat terlalu menawan sampai Bulan merasa pipinya panas lagi.
Beberapa menit kemudian, Bhumi datang membawa dua mug, satu untuk dirinya, satu untuk Bulan.
“Minum dulu. Biar hangat.”
Bulan menerimanya. Uap cokelat panas naik ke wajahnya, wangi manisnya melingkupi udara.
Ketika ia menyeruput, Bhumi duduk di sampingnya—tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk membuat kedua lutut mereka bersentuhan kecil.
“Kamu suka?” tanya Bhumi pelan.
Bulan mengangguk. “Suka. Hangat.”
Bhumi menatapnya dengan lembut. “Aku pengennya kamu hangat terus.” Dan wajah Bulan memerah lagi.
Mereka duduk lama tanpa bicara—bukan karena kehabisan kata, tapi karena hening itu terasa nyaman. Bulan meletakkan mugnya dan menyandarkan kepalanya pelan di bahu Bhumi. Ia tidak tahu kenapa ia berani. Tapi bahu itu terasa seperti tempat yang sudah lama menunggunya.
Bhumi menoleh sedikit dan mengecup ubun-ubun Bulan.
“Sini,” katanya pelan, menarik Bulan lebih dekat ke dadanya. Bulan mengikuti tanpa protes.
Dalam pelukan itu, citylights berpendar halus, cokelat panas menghangatkan tangan, dan hati Bulan menghangat lebih dari apa pun.
“Mas…” panggil Bulan pelan.
“Hm?”
“Aku… senang.”
Bhumi memejamkan mata sebentar, menahan rasa yang terlalu besar di dadanya.
“Aku juga, Sayang. Aku lebih tenang kalau kamu ada di sini.”
Dan malam itu, tanpa kata-kata besar, tanpa adegan berat— hanya dua orang yang belajar merasa aman di dunia masing-masing— hubungan Bhumi dan Bulan naik satu level yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Cokelat panas di tangan Bulan mulai menghangatkan ujung jarinya, sementara kehangatan tubuh Bhumi di sampingnya menghangatkan bagian yang jauh lebih dalam dari sekadar kulit. Mereka duduk berdua di sofa besar itu—citylight Surabaya memantul pelan di kaca, membuat ruangan terasa seperti kotak kecil yang hanya berisi mereka berdua.
Baru saja Bulan ingin menyandarkan kepala lagi, satu pikiran mendadak muncul.
“Mas…” panggil Bulan, melihat ponselnya yang tergeletak di meja kopi.
“Hm?” sahut Bhumi sambil menyesap cokelatnya.
“Aku… harus ngabarin Liora. Takut dia nunggu aku pulang terus panik. Dia kalau sendirian suka kepikiran macam-macam.”
Bhumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. “Kamu kira dia pulang ke apartemen kalian?”
“Iya dong,” jawab Bulan polos sambil meraih ponselnya.
Namun wajah Bhumi berubah—bukan terkejut, bukan bingung, tapi senyum tipis yang seperti menyimpan sesuatu yang manis. Ia menurunkan mugnya, lalu menatap Bulan dengan mata lembut namun penuh pengetahuan yang Bulan belum punya.
“Sayang… kayaknya kamu nggak perlu telepon buat nanya dia udah sampai apartemen atau belum.”
Bulan berhenti di tengah gerakan meraih ponsel. “Loh? Kenapa?”
Bhumi mengusap punggung tangan Bulan dengan ibu jarinya. “Karena Liora nggak akan pulang ke apart kalian malam ini.”
Bulan langsung menegakkan badan. Mata bulatnya membesar, mulutnya sedikit menganga.
“Ha? Maksud Mas?” tanya Bulan, bingung antara syok dan ingin tertawa.
Dan Bhumi—dengan ekspresi paling santai sedunia—mengatakan kalimat yang membuat Bulan hampir menjatuhkan ponsel.
“Liora pulang ke apartemen Marvin.”
Bulan mematung. Selama tiga detik, ia benar-benar diam seperti patung marmer.
Lalu matanya melebar lebih besar dari sebelumnya. “AP—?!”
Bhumi tertawa kecil. Tertawa pelan yang jarang muncul, tapi malam ini muncul berkali-kali karena Bulan memang selalu berhasil membuatnya luluh dengan reaksi-reaksi menggemaskan.
“Mas Bhumi serius?” Bulan memegang lengan Bhumi sambil menatapnya seperti memastikan apakah ia halu atau tidak.
“Serius,” jawab Bhumi tenang. “Marvin yang ajak dia makan malam. Dan Marvin juga yang bilang mau pastikan dia pulang dengan aman.”
“Tapi… pulangnya kok ke APART MARVIN?!” Bulan memegangi pipinya, kebingungan, panik, kaget, dan geli semua bercampur jadi satu.
Bhumi mengusap kepala Bulan dengan telapak tangannya. “Karena Marvin itu… kalau sudah peduli sama seseorang, dia bakal all out. Kamu tau sendiri. Dia bukan tipe yang setengah-setengah.”
“Tapi… tapi… Mas…” Bulan tampak tercengang, suaranya bergetar lucu. “Liora itu… dia kan—dia kan belum siap kalau tiba-tiba harus pulang ke tempat cowok… dan Marvin itu Marvin… gimana kalau Liora—”
“Sayang.” Bhumi menahan kedua pipi Bulan dengan kedua telapak tangannya.
Suara rendahnya menghentikan kepanikan itu seketika. “Tenang.”
Bulan berkedip cepat.
“Marvin bukan tipe yang akan ambil kesempatan. Kamu pikir dia kayak cowok-cowok yang ngejar Liora karena wajah dan sikapnya?”
“…nggak,” jawab Bulan pelan.
“Justru itu,” kata Bhumi lembut. “Marvin cuma mau pastikan dia aman. Sama kayak aku sama kamu.”
Bulan terdiam. Matanya melembut. Wajahnya memerah—kali ini bukan karena syok, tapi karena kalimat terakhir itu.
Bhumi mengusap pipinya sekali lagi sebelum melepasnya. “Kalau kamu mau telepon, telepon saja. Tapi jangan kaget kalau yang angkat Marvin.”
Bulan langsung menutup mulutnya, tak percaya. “MAS… jangan bilang—”
“Dia lagi ngurusin sahabat kamu itu,” kata Bhumi sambil menyandarkan punggungnya dan menyesap cokelat panasnya lagi.
Bulan memeluk bantal sofa, tubuhnya menegang karena shock lucu. “Ini… cepat banget, Mas… terlalu cepat…”
Bhumi meliriknya, tersenyum pelan. “Tapi kamu senang kan?”
Bulan diam sebentar… lalu akhirnya mengangguk kecil. “Iya… aku senang… Liora akhirnya ketemu orang yang bisa nanganin sifat bar-bar dia.”
“Dengan sabar,” tambah Bhumi.
“Iya…” Bulan menunduk, tersenyum, lalu pelan-pelan bersandar lagi ke bahu Bhumi.
Bhumi menggeser tubuhnya agar Bulan lebih nyaman. Satu lengannya naik melingkari pundak Bulan. Napasnya hangat di rambut Bulan.
“Mereka aman,” bisik Bhumi. “Dan kamu juga aman di sini.” Bulan memejamkan mata. Malam itu terasa hangat.
Dengan Liora di pelukan Marvin entah di mana… dan Bulan di pelukan Bhumi di penthouse tinggi ini…
**
Lift berhenti di lantai paling atas, dan Liora ikut terhenti bersama napasnya. Ia menatap angka lantai yang menyala, lalu menatap Marvin, lalu menatap nomor lagi.
“Mas Marvin…” suaranya kecil, ragu, lucu. “Ini… bukan apartement aku.”
“Memang bukan,” jawab Marvin santai sambil keluar dari lift.
Liora masih terpaku di dalam lift. “Tapi… tapi… apartemen aku kan di Solo Park bukan di—”
“Liora,” panggil Marvin sambil menahan pintu lift dengan satu tangannya. “Kamu turun, atau kamu mau nginep di lift?”
Liora langsung reflek melangkah keluar, tapi wajahnya sudah memerah dari telinga sampai ke leher.
Pintu lift tertutup di belakang mereka.
Lorong itu sunyi, lampu warm-white memantulkan cahaya lembut di lantai marmer hitam. Dua pintu saja di lantai itu—berarti ini lantai penthouse. Marvin berjalan tanpa terburu-buru menuju salah satu pintu, men-scan kartu, lalu membuka pintunya.
“Ayo masuk.”
Liora menahan napas. Setengah dirinya ingin masuk… setengah lagi ingin pingsan.
“Mas Marvin…” suaranya bergetar gemes. “Ini… rumah Mas ya?”
“Kalau bukan rumah aku, masa aku bisa buka pintunya?” jawab Marvin datar, tapi bibirnya naik sedikit—senyum yang hanya muncul saat bersama Liora.
Liora menunduk sambil menahan tawa gugup. “Ih jangan jawab begituuu… aku tambah grogi tau…”
Begitu masuk, Liora langsung terpana.
Apartemen Marvin adalah perpaduan sempurna antara kelas, kedalaman, dan kesenyapan yang terasa seperti bagian dari dirinya. Begitu pintu terbuka, udara ruangan langsung menyambut dengan aroma halus cedarwood dan musk—wangi maskulin mahal yang tidak menusuk, tapi melekat lembut seperti jejak kehadiran Marvin di setiap sudutnya. Dinding kaca setinggi langit-langit membentang dari ujung ke ujung, memperlihatkan citylight Surabaya yang menjuntai megah seperti permadani cahaya yang digelar hanya untuk pemilik tempat ini. Cahaya lampu kota itu memantul pada permukaan lantai marmer hitam yang mengilap—lantai yang begitu halus hingga seakan menyerap langkah, membuat segala gerakan terdengar sunyi dan berkelas.
Desain ruangannya minimalis modern, tanpa hiasan berlebih; setiap perabot tampak dipilih dengan teliti—bukan hanya karena mahal, tapi karena cocok dengan prinsip hidup Marvin yang efisien dan teratur. Sebuah sofa modular abu gelap duduk di tengah ruangan, potongannya tegas dan maskulin, sementara meja kopi marmer hitam dengan kaki metal matte menambah kesan dingin namun elegan. Lampu lantai tinggi berdiri di pojok, memancarkan cahaya warm-white yang lembut, menciptakan kontras manis antara kehangatan dan ketegasan. Rak dindingnya rapi, tidak penuh, hanya ditata dengan beberapa buku hardback premium, satu atau dua patung kecil berbahan metal, dan sebuah jam kaca minimalis yang berdetak pelan—suara yang nyaris tak terdengar, tapi memberi ritme menenangkan pada ruangan yang luas itu.
Liora memeluk tasnya. Otaknya langsung memutar kemungkinan paling bar-bar.
“Mas… aku… aku… kenapa aku dibawa ke sini—”
Marvin menutup pintu sambil menatapnya. “Karena aku nggak mau kamu pulang sendirian. Itu saja.”
“Tapi… tapi… kalo orang salah paham gimana?”
“Yang penting kamu sama aku.” Marvin melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja marmer. “Bukan orang lain.”
Liora membuka mulut… lalu menutupnya lagi… lalu membuka lagi… seperti ikan mas yang kehabisan air.
“Mas… aku deg-degan.”
“Aku tahu,” jawab Marvin sambil mendekat.
Liora mundur satu langkah. Marvin maju satu langkah.
Liora mundur lagi. Marvin tetap maju.
“MAS!” Liora panik lucu. “Jangan deket-deket duluuu! Aku jadi… jadi—”
Marvin menangkap tangan Liora dengan satu gerakan pelan tapi pasti. Tangan besar itu membungkus tangan kecil Liora. Dan Liora langsung terdiam.
“Kalau kamu panik, dengerin aku. Ambil nafas, hembuskan,” ucap Marvin dengan nada rendah yang membuat bulu kuduk Liora meremang manis. Tapi ia ikut juga instruksi yang diberikan oleh Marvin kepadanya. Setelah mengambil naas panjang lalu ia hembuskan perlahan.
Marvin mendekat sedikit, bukan dengan agresivitas, tetapi dengan ketenangan seorang pria yang memilih dengan hati-hati.
“Pegang,” ucap Marvin lagi, mengarahkan tangan Liora ke dadanya.
Liora meletakkan tangan di sana—dan ia langsung freeze. Dada Marvin hangat. Tegap. Jantungnya berdetak tenang dan stabil… berbeda sekali dari milik Liora yang sudah dangdutan.
“Mas… gila…” Liora hampir tidak bisa bicara. “Jantung Mas kok gak diskoan kaya jantung aku…”
“Karena aku yakin,” jawab Marvin lembut. “Dan karena aku tahu kamu aman sama aku.”
Liora meleleh mendengar ucapan Marvin, hidungnya terasa panas dan ia merasa ingin pingsan.
Marvin menggenggam tangan Liora, menurunkannya perlahan, tapi tidak melepaskan. “Ayo duduk dulu.”
“Mas… aku baru dua jam kenal sisi romantis Mas,” keluh Liora gemas. “Kenapa intens banget…”
“Karena aku nggak main-main.” Kalimat itu saja cukup membuat Liora berhenti bernapas.
Marvin menuntun Liora ke sofa. Ia menyuruhnya duduk, kemudian berjalan ke dapur kecil yang elegan, menyiapkan dua gelas air dingin. Bahkan cara Marvin menuang air terlihat mahal dan elegan. Tiak dapat dipungkiri kalau Liora benar benar terpesona oleh pria yang baru beberapa jam ini menjadi kekasihnya itu
Saat ia kembali, Liora duduk tegak seperti murid yang siap ujian.
Marvin duduk di sampingnya, tidak terlalu dekat. Tapi cukup dekat untuk membuat lutut mereka bersentuhan kecil.
Liora refleks menggeser diri— tapi Marvin langsung memegang pergelangan tangannya.
“Diam,” katanya lembut. Liora langsung mematung.
“Nggak usah jauh-jauh. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu.”
Liora menatapnya, mata besar berkedip cepat. “Mas… janji?”
Marvin mengangguk. “Janji.”
“Meskipun apartemen ini sepi banget… dan lampunya redup… dan Mas lagi duduk di samping aku… dan aku—”
Marvin menahan tawa. Luar biasa jarang.
“Liora.”
“Ya?”
“Kalau kamu terus ngomong begitu, aku beneran nggak bisa jaga diri.”
Liora langsung menutup mulut dengan dua tangan. “MASSSSS JANGAN NGOMONG GITUUU!”
Marvin mendesah sambil memijat pelipis, tapi senyumnya kelihatan.
Liora mengintip di balik tangannya. “Mas bohong ya… Mas bohong kan…”
Marvin menatapnya lama. Tatapan dalam yang tidak bisa berbohong.
“Aku tertarik sama kamu. Sangat.” Suaranya rendah, stabil. “Dan aku bawa kamu ke sini… bukan untuk macem-macem. Tapi karena aku ingin kamu ada di tempat yang bisa aku lihat dan aku jaga.”
Liora tertegun—detik itu juga semua paniknya mencair jadi sesuatu yang lebih lembut. “Mas… jadi aku…?”
Entah mengapa setiap bertatap muka dengan Marvin, jiwa ke bar barannya perlahan lahan malah meguap, menghilang entah kemana. Yang ada hanya kegugupan dan kegagapan setiap berbicara dengan Marvin.
Marvin mengusap puncak kepalanya perlahan. Sentuhan yang begitu lembut, seolah ia takut merusaknya.
“Kamu aman sama aku, Liora.” Ia menunduk, suaranya turun satu oktaf. “Selalu.”
Liora menutup wajahnya lagi—bukan karena takut, tapi karena hatinya penuh.
“Aku bar-bar banget nggak sih…”
Marvin tersenyum tipis. “Aku suka.”
Liora mendongak cepat. “Hah?! Suka?”
Marvin mengusap pipinya pelan dengan punggung jari. “Aku suka kamu apa adanya.”
Liora terdian, Dunianya seolah berhenti. Jantungnya mulai rusuh kaya siswa mau tawuran.
“Mas…” suaranya kecil. “Aku… boleh tidur di sini?”
Marvin tidak terkejut. Ia malah tersenyum kecil.
“Kamu memang tidur di sini,” jawabnya.
Liora terdiam. Ia melihat di mata Marvin, tidak ada niat buruk, tidak ada hasrat yang menekan.
Hanya ada ketenangan dan hanya ada kasih sayang baru yang masih panas, tapi terkendali dengan sangat indah.
“Tenang,” ucap Marvin lembut sambil mengambil selimut tipis dari sofa. “Aku tidur di kamar sebelah. Kamu pakai kamar tamu.”
Liora menghela napas lega—sekaligus kecewa lucu.
Marvin melihat itu. “Tapi kalau kamu butuh apa-apa, panggil aku,” tambah Marvin. “Sekarang makan dulu. Kamu belum makan dessert.” Ucap Marvin sembari memberikan pudding mangga kepada Liora.
“Iya Mas…” Liora tersenyum kecil.
**
tbc