Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warna Terakhir
Tembakan dari belakang menghantam punggung Ajie—dentuman keras dan cahaya menyilaukan menyapu lorong gelap fasilitas. Tubuhnya terhuyung, nyaris ambruk ke lantai beton yang retak karena ledakan sebelumnya.
Namun, detik berikutnya, sesuatu terjadi.
Kulit Ajie yang basah oleh keringat dan darah tiba-tiba dilapisi warna hijau menyala, seperti lapisan pelindung yang hidup. Warna itu menjalar cepat di punggungnya, membungkus tulang belikat, turun ke pinggang dan lutut. Tembakan yang barusan seharusnya menembus tubuhnya, hanya memantul, seperti dihantam perisai tak kasat mata.
“Dia... berubah warna lagi?” gumam Faisal dengan wajah setengah ngeri, setengah kagum.
Ajie berdiri perlahan. Wajahnya tak lagi panik. Sorot matanya tenang, tapi di balik ketenangan itu ada badai. Tangannya mengepal, dan dari sela-sela jari, tetesan cat ungu berkilau mulai menetes ke lantai. Cat itu panas, berdenyut, dan hidup.
Di sisi lain, Melly yang setengah terhuyung, berdiri dengan nafas terengah. Armor Torque Queen-nya sudah hangus di beberapa bagian. Bahunya berdarah, dan helmnya pecah di sisi kanan. Ia menatap Ajie dan menarik napas panjang, lalu mulai membuka satu per satu pengikat armor-nya.
“Apa yang lo mau, Ajie...” katanya lirih, “ambil aja. Ini armor... sekarang punya lo.”
Ajie menatapnya. Melly menjatuhkan armor itu ke lantai, membiarkannya bergetar saat menghantam besi.
Faisal menoleh ke mereka. “Gila... dia mau gabungin cat itu sama armor Torque Queen? Gila... ini pasti gila...”
Ajie menghampiri armor itu, lalu berlutut.
Tangannya bergetar. Ia menatap armor yang dulu dirancang untuk perang, kini kosong, hanya cangkang.
“Waktunya berubah,” bisiknya.
Dari telapak tangan kirinya, cat ungu meledak keluar—memercik seperti ledakan senyap. Ia menyapu permukaan armor itu, mengecat seluruh bagian depan dada dan bahu, seperti pelukis mewarnai kanvas. Warna cat itu tidak mengering biasa. Ia menyatu. Meresap. Membentuk lapisan baru. Retakan-retakan lama menyatu kembali. Sendi mekanik berderak seperti bangun dari tidur panjang.
Ajie berdiri, mengenakan armor satu per satu. Ketika helm-nya tertutup, cahaya ungu memancar dari mata helmnya.
Di bagian dada, Ajie mengukir dengan ujung jarinya. Sekali sentuh, huruf P berwarna perak terang muncul, berkilau di antara asap dan api.
Faisal tertawa pendek. “Paint Man... lo gila banget.”
Ajie menoleh padanya, lalu mengangguk. “Kali ini, kita selesaikan semua.”
Tiba-tiba dari ujung lorong, Cain muncul lagi, bersama pasukan elit Altheron yang masih tersisa—beberapa memakai senjata berat, lainnya dengan armor tempur ringan. Ratna juga berdiri tak jauh, setengah armor Junkcore-nya sudah rusak. Sebelah tangannya menggenggam pelat baja sebagai tameng, dan darah menetes dari pelipisnya.
“Berakhir di sini, Ajie!” teriak Cain. “Lo bukan pahlawan! Lo cuma eksperimen gagal yang gak sadar diri!”
Ajie maju satu langkah. Lantai di bawah kakinya meleleh karena suhu dari cat yang bocor dari armor barunya.
“Aku bukan eksperimen,” suaranya berat di balik helm. “Aku adalah hasil dari semua kegagalan kalian. Dan sekarang... aku balik buat hancurin semuanya.”
BRAK! Ajie melompat ke depan, meledakkan tanah dengan kekuatan cat ungu di kakinya.
Serangan pertama diarahkan langsung ke Cain, tapi para pengawalnya membentuk barikade—sebuah tameng pelindung otomatis memancar. Tapi cat ungu Ajie menembusnya. Warna itu memakan besi, melelehkan pelindung itu seperti plastik.
Para penjaga panik, mencoba menembak balik. Tapi Ajie bergerak cepat—warna hijau aktif lagi, menangkis semua peluru. Ia mencabut paku ledakan dari bahu armor Torque Queen, lalu menembakkannya ke kaki pasukan. Ledakan kecil membuat lantai runtuh di sebagian area.
Ratna melompat, mencoba meninju Ajie dengan sisa kekuatannya, tapi Ajie menangkap pukulannya. Tangannya menggenggam erat lengan Ratna.
“Masih mau bantu mereka?” tanya Ajie dengan suara yang mengandung luka, bukan kebencian.
Ratna menggeram, tapi tidak menjawab. Ia berusaha membebaskan diri, tapi gagal.
Ajie menurunkan genggamannya. “Lo gak harus ikut tenggelam sama mereka, Ratna.”
“Diam!” Ratna menyambar helmnya dan menghantam helm Ajie. Keduanya terpental, dan pertempuran kembali memanas.
Sementara itu, Faisal menarik Melly dari reruntuhan. “Gue udah aktifin bom waktu di generator sekunder. Kita cuma punya tiga menit sebelum semuanya meledak.”
Melly menatap Ajie yang kini bertarung dengan Ratna dan menghancurkan pasukan Altheron. Setiap gerakan Ajie seolah menari di tengah kobaran warna. Cat kuning menyilaukan musuh, cat biru membekukan senjata, cat merah menghancurkan dinding. Semua kekuatan itu kini terkendali dalam armor yang baru.
“Apa dia bakal bisa keluar?” tanya Faisal.
Melly menggigit bibir. “Dia harus bisa.”
Sementara itu, Cain yang mulai panik menarik senjata daruratnya—sebuah pelontar energi radioaktif, hasil eksperimen paling gila Altheron. Ia menargetkan Ajie, dan menembak.
DUAARR!
Ajie terkena di dada. Armor-nya terlempar ke belakang, menghantam dinding. Tapi... logo P di dadanya bercahaya. Warna ungu menyerap energi radioaktif itu, membalikkan arusnya ke dalam peluru itu sendiri.
Cain ternganga.
Ajie berdiri. Di tangannya, cat ungu seperti membentuk bentuk baru—seperti tombak spiral yang berdenyut.
“Ini... warna terakhirku.”
Ia melemparkan tombak cat itu ke arah Cain.
BLAARRRR!!
Cahaya ungu menelan Cain dan area sekitarnya. Ledakan besar membuat struktur atas fasilitas mulai runtuh.
“WAKTU KITA HABIS!” teriak Faisal.
Ajie menoleh ke Ratna yang masih bertahan berdiri. “Pergi. Lo masih punya kesempatan buat bebas dari semua ini.”
Ratna menatap Ajie. Ada sebersit rasa di matanya. Tapi ia berbalik dan berlari—menuju lorong lain.
Ajie menghampiri Melly dan Faisal. “Kita keluar sekarang.”
“Tapi pintu utama hancur!” Faisal panik.
Ajie menatap dinding samping yang retak.
“Gue yang buka jalan.”
Cat merah menyala dari tangan kanannya. Ia menghantam dinding itu dengan seluruh kekuatan.
BRAKKKK!!
Celah besar terbuka. Angin luar malam Jerman menerpa wajah mereka. Di luar, sebuah kendaraan tua—hasil rakitan Melly sebelumnya—masih menyala.
Mereka bertiga melompat ke dalam. Melly menyetir, Faisal duduk di belakang sambil menggendong Ajie yang mulai goyah.
Dari kaca spion, mereka melihat ledakan besar mengguncang seluruh fasilitas.
DOOAAAAARRR!!
Api menjulang, memakan bangunan, dan menghapus semua jejak eksperimen.
Namun... di tengah kobaran itu... sosok Ratna terlihat berdiri di atas reruntuhan.
Matanya menatap jauh, ke arah Ajie yang pergi.
Ia tidak tersenyum. Tidak menangis. Hanya diam.
Apakah ini akhir dari fasilitas Altheron? Atau hanya awal dari perang baru yang lebih besar? Dan apa arti warna ungu sebenarnya bagi Ajie… dan dunia?