SEAN DAN SAFIRA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh empat
happy reading genkssss!!!
****
Mendadak Safira tidak bisa tidur. Ia merasa gerah dan panas, padahal pendingin ruangan menyalah seperti biasanya. Dan anehnya debaran jantungnya tidak juga berhenti. Padahal sudah hampir setengah jam setelah mereka berdua naik ke atas ranjang dan menutupi tubuh dengan selimut.
Safira ingin membalik tubuhnya menghadap Sean, ingin melihat apa lelaki itu sudah tidur atau belum. Ia mendadak tidak tenang, haruskah ia pindah kamar? Ayah Adrian juga sudah tidur pasti, dan tidak akan sadar kalau ia dan Sean tidak tidur satu kamar. Ah, Safira bingung.
Ia menghela dan tanpa sadar membalik tubuhnya. Pikirannya yang sedang diselimuti kebingungan akibat debaran jantungnya membuat Safira refleks berbalik, lalu menegang begitu matanya langsung bertubrukan dengan netra kelam yang menatapnya dari tadi.
Buru-buru Safira menyadarkan dirinya. "K—kamu belum tidur?" tanyanya gagap karena Sean memandangnya lamat.
"Elo juga belom tidur."
"Saya nanya kamu, Sean."
Lelaki itu mengedik, tiba-tiba menjulurkan tangannya menyentuh pipi Safira, mengelusnya pelan.
Ya Tuhan, Sean tidak sadarkah kalau sejat tadi Safira berusaha setengah mati menahan degub jantungnya yang berdebar, lalu kini ia menambahkan debaran itu semakin keras karena sentuhan jari jemarinya di pipi Safira.
"Gue cuma lagi kepikiran." ujar Sean.
Safira mengerjap malu. Semburat merah tercetak jelas di wajahnya. Kalau seperti ini ia bisa mati di tempat. "T—tentang?" Bahkan Safira tidak bisa mengeluarkan suaranya setenang mungkin. Sean tuh apa-apaan sih? Kenapa lelaki ini tidak peka sekali.
"Elo."
"Saya?" tanya Safira balik dengan kernyitan di dahi. "Kenapa saya?"
"Lo kemarin nangis, kok gue jadi kepikiran ya? Gue baru kali itu lihat lo nangis, ngerasa gak enak." akunya. Sean dan Safira memang dua orang dengan sifat berbeda. Sean mampu mengeluarkan isi hatinya tanpa beban sama sekali, sedangkan Safira tipe perempuan yang selalu berhasil menyimpan perasaannya.
"Saya gak apa-apa kok." Safira melarikan pandangan matanya kemana pun, kemana saja asal tidak menatap netra pekal milik Sean yang tidak lepas memandangnya. "Saya hanya lagi mikirin ayah kemarin."
"Bokap lo beneran udah sembuh, kan?" Ada nada kekhawatiran dari kalimat Sean barusan. Dibalik sifatnya yang konyol dan bodoh amat, Sean memiliki sisi yang peduli besar.
"Kemarin kata mbok Nah, ayah mengeluh sakit di dadanya. Maka itu saya minta izin sama kamu untuk menginap di sini, setidaknya tiga hari saja."
"Lo mau pindah ke sini?"
Kening Safira kembali mengernyit. "Maksud kamu?"
"Gue ngelihat lo khawatir banget sama ayah Adrian, kalo emang lo mau pindah ke sini gak apa-apa."
"Kamu?"
Lagi, Sean mengedik samar. "Gak tega gue lihat lo kayak gitu, kalo emang lo mau pindah ke sini gue di rumah sendirian gak apa-apa kok."
Safira terdiam sebentar. Pasti ada sesuatu yang Sean rencanakan. Tidak mungkin tiba-tiba ia mengizinkan Safira pindah ke sini sendirian. Pasti ada sangkutannya dengan Bella.
Cih, Safira benci sekali. Ia benar-benar merasa tidak tenang kalau sudah berurusan dengan Bella, selain hatinya yang berdetak tidak enak, ia selalu merasakan sesuatu yang buruk jika menyangkut Bella dan Sean. Mereka saja berani bermesraan di depan publik, apalagi kalau Safira pindah dari rumah itu.
"Nggak, saya gak masalah kok kalau harus bolak balik dari rumah kita ke rumah Ayah."
Sean mendengkus. "Pasti lo lagi mikir kalo gue mau berbuat yang macem-macem kan?"
"Pikiran saya gak tenang semenjak lihat kamu di restoran kemarin bersama seorang perempuan." jelas Safira jujur. "Saya harus memantau kamu, saya gak mau kamu masukin perempuan lain ke rumah kita."
"Tsk! Tuh kan pikiran lo buruk mulu," decak Sean kesal. "Ya enggak lah, gue kalo dari sini kejauhan, Fir kalo berangkat kerja. Lagian ya, meskipun gue masih pacaran sama Bella, gue gak mungkin melanggar perjanjian sama lo."
"Tapi kamu udah melanggar perjanjian Sean. Kamu udah bilang sama pacar kamu kalau kita memiliki perjanjian pernikahan."
Sean meringis. Ingatannya kembali pada saat dimana ia terpaksa mengatakan perjanjian itu pada Bella. "Sorry, gue kan gak sengaja." Ia menjeda kalimatnya sejenak. "Pas tahu kalo gye mau nikah sama lo, Bella ngamuk parah, gue gak tahu lagi gimana harus ngebujuknya. Terpaksa gue bilang itu."
Mata Safira menatap lurus pada lelaki di sebelahnya ini. Ada perasaan aneh yang menyusup, dan itu sedikit menyesakan. "Kenapa kamu gak nikah aja sama dia? Kenapa kamu setuju nikah sama saya."
"Emang kalo gue nikah sama Bella, lo setuju? Kan kalo gue nikahin Bella lo juga gak akan bisa nyelametin perusahaan bokap lo."
Kalimat Sean terdengar sangat tepat dengan kenyataan mereka. Benar juga, kalau Sean menikahi wanita itu, Safira pasti tidak akan bisa melihat perusahaannya sebaik ini. Mungkin saja ayah masih berada di rumah sakit. Ah, sialan, Safira tidak ingin mengumpat sebenarnya, hanya saja ia ingin sekali berkata kasar setelah menyadari kalau takdirnya benar-benar begitu sial.
Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah perusahaannya di ambang kebangkrutan ia harus menikah dengan lelaki laknat seperti Sean. Seandainya ia bisa memilih lelaki yang harus ia nikahi. Ahhh andai saja.
"Fir ... kenapa?"
Suara Sean menyadarkannya. Safira mengerjap dan melongo seperti keledai bodoh begitu tangan Sean menyentuh keningnya. Buru-buru ia menepis. "Ngapain sih kamu pegang-pegang, inget ya Sean gak boleh ada kontak fisik. Saya gak mau disentuh sama laki-laki yang sudah punya kekasih."
Tuh kan nada suaranya terdengar seperti wanita yang sedang menahan cemburu. Sean sih, bikin Safira baper saja.
Mengerutkan keningnya, Sean mengangkat tangan, mengatakan ia tidak akan menyentuh Safira lagi.
"Ya udah tidur sana." Sean menarik selimut mereka ke atas hingga sebatas dada mereka. "Lo tuh kalo ngomel kayak cewek yang lagi cemburuan tau."
Tentu Safira tidak terima dikatakan seperti itu, ia mencebik dan menyorot tajam ke arah Sean. "Saya gak cemburu."
"Iya gak cemburu," hela Sean malas. "Kan gue bilang 'kayak' ... tuh kalo marah gitu malah kelihatan kayak cemburu."
"Iih Sean, saya gak cemburu!!!" Ia bangkit, hendak memukul Sean. Ia tidak suka sekali kalau lelaki itu menuduhnya cemburu. "Kamu tuh percaya diri banget sih." Lalu telapak tangannya mendarat tepat di lengan Sean. Ia memukuli lelaki itu dengan kesal.
Sean meringis, namun menyelipkan kekehan kecil setiap Safira memukulnya. Tanpa aba-aba, Sean menahan pergelangan tangan Safira dan membalik tubuh mereka hingga kini ia berada di atas tubuh perempuan itu.
Safira tersentak dengan mata membulat. Astaga, Sean benar-benar membuat tubuhnya menjadi panas dingin.
****
terima kasih sudah baca ❤❤
udah dihapus ya thor?
dimana kalau mau baca kisah mereka lagi...🥺
tp masih ada yg belum diubah itu thor.
hmmm fir fir.. mending kamu biarin jona sm diana. Klo sama medusa, Ga berasa canggung apa ya jdi satu keluarga sm mantan tmn tidur suami? 🙄
lagian knp jd ngurusin dia
otak dipke dong
Ga ada alesan bantuin atau apapun itu. Ingat sdh berumah tangga.
Lemah bgt jd cow, gmn mau ngelindungin anak istri
Bukan kyk sean yg plin plan
Dia begitu krn obsesinya sendiri.