"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Ancaman
Arya memandang layar ponselnya dengan perasaan bercampur aduk. Sebuah pesan baru dari Lisna masuk, dan isinya langsung membuat dadanya berdebar hebat. Sebuah foto test pack dengan dua garis merah terpampang jelas, disertai teks singkat.
"Mas, aku hamil." Arya tertegun. Pikirannya berputar. Bagaimana ini bisa terjadi? Meski ia dan Lisna memang sering melampaui batas selama masa pertunangan mereka, Arya tidak pernah benar- benar memikirkan kemungkinan ini. la menutup ponsel, lalu membukanya lagi, berharap pesan itu hanya ilusi.Tapi kenyataannya tetap sama. Dua garis merah.
Pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Arya tahu betul bagaimana keluarganya yang belum mau melihatnya menikah akan bereaksi jika mengetahui hal ini. Belum lagi keluarga Lisna, yang jauh lebih tegas dan keras dalam urusan moral. Apa yang akan mereka lakukan jika tahu putri kebanggaan mereka mengandung sebelum menikah?
Dengan tangan gemetar Arya mengetik balasan. "Kamu yakin,Lis? Udah periksa ke dokter belum?"
Pesannya terkirim, tapi beberapa menit berlalu tanpa jawaban. Arya mulai resah. la tahu Lisna mungkin sedang dilanda ketakutan yang sama, atau bahkan lebih besar. Akhirnya, setelah limabelas menit, ponselnya berbunyi.Sebuah pesan baru muncul.
"Aku belum ke dokter. Tapi garis dua ini udah cukup jelas, Mas.Aku takut."
Arya menghela napas panjang,mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ia harus bertindak tegas sekarang. Lisna pasti sedang kalu dan itu berarti ia harus menjadi tempatnya bersandar.
"Tenang dulu, ya. Besok kita ketemu, kita omongin baik- baik."
Lisna hanya membalas dengan satu kata. "Oke."
Arya memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia berusaha tenang meski hatinya tak nyaman usai mendapat kabar kehamilan Lisna. "Ada- ada saja." Ia lantas kembali bekerja.
"Arya? Laporan yang kusuruh buatkan tadi apa sudah selesai kau buat?" Arya yang baru saja hendak masuk ke ruangan didatangi oleh Pak Agung, atasannya.
"Belum, Pak. Masih tinggal sedikit lagi. Ini masih mau saya selesaikan," jawab Arya.
"Ya sudah, cepat, ya."
Arya mengangguk. Usai kepergian Pak Agung, ia menggerutu. "Enak banget kalau nyuruh. Dia kira laporannya cuma sedikit apa? Emang paling enak kalau punya jabatan tinggi. Apa-apa tinggal nyuruh bawahan."
Arya menyelesaikan laporannya, meski sesekali menggerutu tak jelas.Beberapa jam berlalu, akhirnya tugas selesai. Ia mengantar laporan tersebut keruangan Pak Agung. Akan tetapi, ia berpapasan dengan Raffa. Ia berdeham, namun enggan menyapa. Kejadian beberapa hari lalu membuatnya sedikit trauma.
Raffa sendiri juga diam tak menanggapi meski Arya nampak berusaha mencari gara- gara dengannya. Lelaki itu hanya fokus pada pekerjaannya.
Ponsel Raffa bergetar, ternyata telepon dari sang Papa. Tumben sekali papanya itu menelpon? la menepi, mencari tempat aman agar tak ada orang yang mendengar obrolannya dengan sang Papa.
"Halo?"
"Raffa, apa kamu beberapa hari lalu datang ke rumah?" todong Pak Brata.
"Kenapa? Apa istri Papa mengadu?" balas Raffa, sinis.
Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon.Raffa hanya mendengkus pelan."Ada apa Papa menelponku?"tanyanya lagi.
"Bisa tidak kamu tidak berpikir negatif sama Menik?" Pak Brata tak lagi menyuruh Raffa untuk memanggil Menik dengan sebutan Mama. Cukup lelah ia menasehati putranya untuk melakukan itu.
"Jangan terlalu banyak basa- basi. Papa tau aku sibuk. Aku matikan saja teleponnya kalau tidak ada hal penting yang mau Papa sampaikan," tukas Raffa.
"Raffa, ajaklah istrimu datang. Papa mau bertemu dengannya!"
"Bertemu? Untuk apa?" Satu alis Raffa terangkat.
"Aku mau tahu bagaimana menantuku itu, Raffa. Bawalah dia ke sini!"
Raffa berdeham. "Oke, kalau aku ada waktu luang akan kuajak Hanin ke sana. Aku tutup dulu teleponnya. Aku harus kerja," pamitnya.
"Baiklah."
Raffa memasukkan ponselnya ke saku celana. Lantas, kembali kerutinitasnya menjadi OB gadungan.
Lisna berdiri di depan cermin kecil di ruang istirahat puskesmas, merapikan seragam putihnya yang terasa lebih sempit dari biasanya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum kembali bekerja. Hari ini, ia harus memastikan tidak ada yang mencurigai keadaannya.
"Lisna, cepetan! Pasien udah nunggu di ruang periksa!" suara Bu Widya, bidan senior di puskesmas, memanggil dari luar.
"Iya, Bu! Sebentar lagi," jawab Lisna sambil bergegas merapikan jilbabnya.
Saat Lisna keluar, ia mendapati Bu Widya sedang berdiri di dekat meja pendaftaran, memeriksa catatan pasien. Wanita paruh baya itu menatap Lisna dari atas ke bawah, seolah mengamati sesuatu yang tidak biasa.
"Lis, kamu kelihatan pucat belakangan ini. Sakit, ya?" tanya Bu Widya, sambil terus menatap wajahnya.
Lisna tersenyum kaku. "Nggak, Bu. Saya cuma kecapekan. Mungkin karena kurang tidur."
Bu Widya mengangguk pelan,tetapi matanya menyipit, memerhatikan Lisna lebih saksama. Perubahan tubuh Lisna tidak luput dari pengamatannya. Pinggang yang sedikit lebih penuh,wajah yang mulai terlihat bengkak,dan gerakan Lisna yang tampak lebih hati -hati. Semua itu menguatkan dugaannya.
Sebagai bidan dengan pengalaman puluhan tahun, Bu Widya tahu betul tanda-tanda kehamilan, bahkan pada usia awal.Namun, ia memilih untuk tidak langsung menyampaikan pikirannya. Ia tahu Lisna adalah asisten yang dititipkan langsungoleh Pak Abdul kepadanya, tetapi jika dugaannya benar, hal ini bisa menjadi masalah besar, terutamajika kabar itu sampai ke telinga rekan- rekan kerja atau kepala puskesmas.
"Kalau capek, jangan dipaksakan, ya," ujar Bu Widya sambil tersenyum tipis. "Tapi, nanti mampir ke ruang saya, ya. Saya mau ngobrol sebentar."
Lisna mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. Apakah Bu Widya curiga? Apakah perubahan tubuhnya sudah mulai terlihat jelas? la menelan ludah, berusaha mengalihkan pikiran negatif itu.
Siang itu, Lisna sibuk membantu pemeriksaan ibu hamil di ruang periksa. Ia mengarahkan pasien untuk berbaring di tempattidur, mencatat berat badan, serta membantu Bu Widya menyiapkan alat pemeriksaan. Namun, beberapa kali ia merasa pusing dan harus bersandar sejenak di meja.
"Lis, kamu nggak apa- apa?"tanya salah satu perawat yang kebetulan masuk ke ruangan.
"Nggak apa- apa, Mbak. Lisna cepat- cepat berdiri tegak. Cuma agak lemes aja."
"Udah makan belum? Jangan sampai pingsan di sini," ujar perawat itu sambil tertawa kecil.
Lisna hanya tersenyum tipis, lalu melanjutkan pekerjaannya. Namun, di sudut ruangan, Bu Widya diam- diam memperhatikan gerak- geriknya. Wanita itusemakin yakin dengan dugaannya. Setelah jam kerja selesai, Lisna menuju ruang Bu Widya dengan langkah ragu. la mengetuk pintu pelan, lalu masuk ketika dipersilakan.
"Silakan duduk, Lis," kata Bu Widya sambil menunjuk kursi di depan mejanya.
Lisna duduk dengan gelisah, tangan gemetar di pangkuannya."Ada apa, Bu?"
Bu Widya tersenyum lembut,mencoba mencairkan suasana."Nggak apa- apa, kok. Saya cuma mau tanya, kamu sehat, kan? Akhir-akhir ini kamu kelihatan pucat dan lemes. Saya perhatiin badan kamu juga kelihatan lebih berisi. Kamu yakin nggak sakit?"
Lisna merasa tenggorokannya kering. Ia tahu Bu Widya adalah orang yang cermat, dan tidk mudah untuk mengelabui wanita itu. Namun, ia tetap berusaha tersenyum.
"Nggak, Bu. Saya sehat. Mungkin saya cuma kurang tidur."
Bu Widya mengangguk pelan, tetapi matanya tetap tajam mengamati Lisna. "Kalau memang kurang tidur, coba jaga pola makan dan istirahat, ya. Kamu tahu kan,kesehatan itu penting, apalagi kalau... ada kondisi khusus."
Lisna merasa dadanya semakin sesak. Apakah ini hanya kebetulan,atau Bu Widya benar- benar tahu?
"Ya, Bu. Saya bakal lebih jaga kesehatan," jawab Lisna cepat, lalu berdiri. "Kalau nggak ada apa- apa lagi, saya pamit dulu, ya."
Bu Widya hanya mengangguk, membiarkan Lisna pergi. Namun,begitu pintu tertutup, ia menghela napas panjang. Ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu, dan sebagai atasan sekaligus orang yang peduli pada Lisna, Bu Widya merasa perlu membantu. Tapi ia tahu, ia harus menunggu waktu yang tepat.
Sementara itu, Lisna berjalan ke luar puskesmas dengan pikiran kalut. Jika Bu Widya sudah mulai mencurigai, berapa lama lagi rahasianya bisa ia sembunyikan?
Hanin sedang merapikan barang-barang di meja kasir ketika jam dinding di toko Ko Yusuf menunjukkan pukul empat sore.Toko itu hampir tutup, dan ia bersiap untuk pulang. Suasana sore itu cukup sepi, hanya suara kendaraan dari jalan besar yang sesekali terdengar.
Saat Hanin melangkah keluar,ia terhenti. Dina, mantan karyawan toko yang dipecat sebulan lalu, berdiri di depan pintu dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya tajam, seperti belati yang siap menusuk.
Hanin menghela napas pelan, mencoba mengabaikan Dina dan melanjutkan langkahnya. Namun,baru beberapa langkah, Dina langsung menghadangnya.
"Hanin," suara Dina terdengar dingin. "Kamu pasti puas, kan?"
Hanin mengerutkan kening, bingung dengan maksud Dina."Puas? Maksud kamu apa?"
Dina mendekat, jaraknya hanya beberapa inci dari Hanin. "Jangan pura- pura nggak tahu! Gara- gara kamu ngadu ke Ko Yusuf buat pasang CCTV, aku dipecat. Kamu pasti senang sekarang, ya? Bisa cari muka ke Ko Yusuf dan nggak ada yang ganggu kamu lagi."
Hanin mundur selangkah, merasa tidak nyaman dengan sikap agresif Dina. "Aku nggak pernah ngadu, Dina. Kamu tahu sendiri alasan Ko Yusuf memecat kamu. Itukarena kamu sering nggak kerja, malah sibuk main ponsel."
Dina mendengkus sinis. "Jadi kamu mau bilang kalau aku yang salah? Padahal, kalau aku nggak kerja, kamu juga sering santai, kan? Tapi kenapa cuma aku yang kena?"
Hanin menggeleng, mencoba tetap tenang meski dadanya mulai berdegup kencang. "Aku nggak pernah cari masalah sama kamu,Dina. Dan aku nggak tahu kenapa kamu selalu menyalahkan aku."
Dina tertawa kecil, tapi tawanya penuh ejekan. "Kamu sok polos, ya? Semua orang tahu, Ko Yusuf lebih percaya sama kamu.Kamu anak emas di sini, Hanin.Aku cuma karyawan biasa yang gampang dibuang."
Hanin menggeleng lagi, merasa percuma untuk berdebat. "Aku nggak mau ribut, Dina. Kalau kamu masih punya masalah, bicarakan
saja sama Ko Yusuf." Dina mendekat lagi, membuat Hanin mundur hingga punggungnya hampir menyentuh dinding toko.
"Dengar, Hanin," bisik Dina dengan suara rendah tapi penuh ancaman. "Aku nggak bakal lupa ini. Kamu pikir hidup kamu aman- aman aja? Jangan harap."
Hanin merasa bulu kuduknya meremang mendengar kata- kata Dina. Tapi sebelum ia bisa menjawab, suara berat memecah suasana tegang itu.
"Hei! Ada apa ini?"
Ko Yusuf muncul dari dalam toko, ekspresinya bingung sekaligus kesal. Ia menatap Dina tajam, lalu beralih pada Hanin.
"Hanin, kamu nggak pulang?"
Hanin segera melangkah menjauh dari Dina, dengan kehadiran Ko Yusuf.
"Iya, Ko. Saya mau pulang."
Dina mendengkus, lalu berbalik ke arah Ko Yusuf.
"Saya cuma mau bicara sama Hanin, Ko. Itu aja."
"Bicara atau bikin masalah?" potong Ko Yusuf dengan nada tegas."Dina, kamu udah nggak kerja disini. Jangan ganggu karyawan saya lagi. Kalau kamu ada urusan, kita bicarakan baik- baik. Jangan kayak gini."
Dina menatap Ko Yusuf dengan sorot marah, tapi ia tidak menjawab. Setelah beberapa detik hening, ia berbalik pergi sambil melontarkan pandangan tajam terakhir pada Hanin.
"Ini belum selesai," gumam Dina pelan, tapi cukup jelas untuk didengar Hanin sebelum ia menghilang di kegelapan malam.
Ko Yusuf menatap Hanin dengan alis terangkat. "Kamu nggak apa- apa?"
Hanin mengangguk, meski hatinya masih berdebar. "Saya nggak apa- apa, Ko. Cuma sedikit kaget."
Ko Yusuf menghela napas."Hati- hati, ya. Kalau dia ganggu lagi, bilang saya. Kamu mau saya antar pulang?"
Hanin menggeleng cepat. "Nggak usah, Ko. Rumah saya dekat. Saya bisa sendiri."
Apa jadinya kalau ia diantar pria lain? Bisa jadi trending topik lagi nanti. Hanin part 2!
Ko Yusuf mengangguk, meski masih terlihat khawatir. "Oke, tapi hati- hati di jalan."
Hanin mengangguk lagi sebelum melangkah pulang. Namun, di sepanjang perjalanan, ucapan Dina terus terngiang di kepalanya.
"Ini belum selesai."
Hanin menggenggam tasnya erat-erat, merasa bahwa ancaman itu lebih dari sekadar kata-kata kosong.