NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gelimang Wanita Cantik

Hendrik sedang asyik memperhatikan seorang atlet yang sedang melakukan latihan shadow boxing dengan samsak ketika Dion menarik tangannya agar meneruskan langkah.

Dion kemudian mencolek seorang pria yang sedang merapikan deretan dumble di atas meja. “Eh, kau Dion,” ujar pria itu menoleh dan mendapati Dion di belakangnya.

“Lihat siapa yang kubawa menghadap sama Abang!” Dion menunjuk Hendrik yang berdiri di belakangnya.

“Bah, kau itu Hendrikus!” seru Sampe kaget karena sudah lama tidak bertemu dengan pemuda yang dulunya adalah anak didiknya di kelas Gulat Yunani-Romawi.

“Bang Sampe!” seru Hendrik juga kaget lalu memeluk pria itu.

Dion membiarkan keduanya melepas rindu dan berjalan menuju ruang ganti dan bersiap untuk melakukan latihannya.

Hingga Dion menyelesaikan pemanasan dengan lompat tali selama dua puluh menit, Hendrik dan Sampe masih saja terlibat dalam obrolan.

Sampe kemudian meninggalkan Hendrik karena harus memandu seorang atlet melakukan latihan memukul target.

Hendrik mengalihkan perhatiannya pada Dion yang melakukan shadow boxing. Ia kagum pada gerakan-gerakan lugas Dion yang tanpa henti melakukan pukulan-pukulan sambil terus bergerak mengitari kanvas.

Meskipun badannya tampak basah oleh keringat, tak ada tanda-tanda Dion kelelahan. Dion bahkan menambahkan kecepatan dan meningkatkan bobot pukulan sambil sesekali mengeluarkan suara dan teriakan karena ingin menghembuskan napas dengan cepat.

Hendrik langsung bisa mengetahui bahwa Dion memiliki stamina prima karena terus saja melakukan latihan dengan pukulan cepat selama hampir lima belas menit tanpa henti.

“Luar biasa si Dion ini. Tak kenal capek dia rupanya,” pikirnya.

“Sepertinya kau sekarang malah tertarik dengan tinju,” ujar Sampe yang tiba-tiba muncul di samping Hendrik.

“Ah tidak bang. Aku mau kembali latihan gulat saja, seperti abang bilang tadi. Aku takut tak bisa punya stamina seperti si Dion ini,” sahut Hendrik.

“Bagus. Kita bisa mulai minggu depan. Lagipula aku membutuhkan asisten di tempat latihan,” ujar Sampe gembira. Ia kemudian menghampiri Dion yang sudah menghentikan latihan shadow boxing untuk membantu Dion mengenakan sarung tinju.

“Bang Sampe pelatihnya si Dion, ya? Kupikir Abang masih aktif,” tanya Hendrik pada Sampe.

“Enak saja. Si Dion ini biasanya lawan sparring-ku. Instrukturnya hari ini ada urusan, aku hanya pengganti sementara saja,” jawabnya.

Sampe kemudian memandu Dion melakukan latihan memukul target. Hendrik kembali kagum bukan hanya oleh kecepatan tangan Dion memukul tapi juga akurasi yang tinggi.

“Tangan tetap di atas, perhatian target bawah, beri tenaga di atas, jab! jab! jab!” teriak Sampe memberi perintah pada Dion.

“Awas counter punch! Bagi fokus. Bertahan sambil menyerang!” perintahnya lagi dengan suara lantang.

“Coba lagi! Rentang waktu antara mengelak dan menyerang balik masih terlalu lama. Gerakkan bahumu lebih efisien dan beri tenaga pada counter punch,” Sampe kembali memberikan instruksi.

Hendrik memperhatikan keduanya dengan serius sambil membulatkan bibir, kagum pada semangat, kecepatan, tenaga dan stamina Dion yang terus terjaga mengikuti panduan instrukturnya.

Setelah limabelas menit, Dion berhenti dan membuka sarung tangannya. Karena tak memiliki lawan tanding, hari itu Dion melakukan landmine punch, latihan menambah bobot pukulan.

Sambil membuka sarung tinjunya, Dion mendengar Hendrik ingin mencoba melakukan latihan memukul target.

Sampe menyarankan Hendrik agar melakukan pemanasan terlebih dahulu tapi ditolak olehnya. “Cuma mau coba beberapa saat saja Bang. Penasaran,” katanya. Sampe kemudian membantu memasangkan sarung tinju ke tangan Hendrik.

“Jangan salahkan aku kalau bahumu lepas atau cedera lain, ya,” Sampe mewanti-wanti setengah bercanda.

Dion yang latihan dibantu atlet lain dengan melempar-tangkap besi beban tertawa melihat Hendrik mulai ngos-ngosan kehabisan tenaga usai melakukan beberapa pukulan.

“Bah, cuma semenit habis tenagamu. Lambat pula itu. Seperti perempuan saja kau memukul. Ayo pukul lagi, lebih cepat lebih keras,” ejek Sampe memberi instruksi.

Merasa dirinya diejek, Hendrik mengerahkan tenaganya kembali melancarkan pukulan ke target di tangan Sampe. Tapi tak sampai dua menit Hendrik sudah lemas dan menopangkan kedua tangannya ke atas lutut karena kehabisan napas.

“Sudah, Bang! Aku menyerah. Gila! Aku tak tau bagaimana kalian mampu melakukan itu sampai lima belas menit non-stop,” katanya terengah-engah mengumpulkan nafas membuat Sampe dan beberapa atlet di sekitarnya tertawa.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, Dion masih mendapat Sampe dan Hendrik kembali ngobrol. “Bang! Ayo ngobrol sambil makan di luar, aku traktir,” ajak Dion pada Sampe.

“Ah, hari ini Bang Tohap tak masuk. Sebentar lagi kelas berikut akan dimulai. Ada beberapa anak baru yang harus aku pandu,” jawab Sampe.

“Kalau begitu di kafetaria atas saja. Hitung-hitung Abang istirahat sebentar,” ajak Dion lagi. Sampe pun menyetujui ajakan itu.

Melihat Dion kembali bersama Hendrik dan Sampe, Karenia tampak gembira dan langsung nimbrung bersama ketiganya.

Lebih setengah jam mereka bercengkerama di kafetaria itu sampai akhirnya Sampe mengatakan harus kembali ke lantai bawah untuk persiapan kelas berikut.

Dion dan Hendrik pun kemudian berpamitan pada Sampe dan Karenia.

“Ingat datang hari Selasa pagi, ya. Kau juga Dion, aku mau ajarkan kau gerakan dasar gulat. Bila perlu biar si Hendrik yang ajarin, gratis,” pesan Sampe pada Hendrik dan Dion.

“Iya, Bang! Aku pasti datang. Badanku rasanya sudah pegal karena lama tak latihan,” sahut Hendrik.

...***...

Beberapa saat setelah sepeda motor berjalan, Hendrik merasa heran karena arahnya berbeda. Bukan menuju kantor atau indekos Dion. “Bro kita ke mana sekarang?” tanyanya.

“Ke rumah Andi. Dik Tria ulang tahun hari ini. Ada acara syukuran di rumahnya, jadi kau akan dibutuhkan di sana buat bantu-bantu,” jawab Dion.

“Aku drop kau di sana. Nanti malam sepulang kerja aku datang lagi. Bagaimana menurutmu, Bro?” Dion meminta persetujuan Hendrik.

“Usul bagus! Aku juga tak ingin pulang ke rumah atau berdiam di kamarmu sendirian,” sahut Hendrik.

Sesampainya di rumah Andi, Dion mendapati Pakdhe dan Budhe Sugeng sedang asyik ngobrol dengan tamunya.

“Kulo nuwun Pakdhe, Budhe! Sugeng sonten!” sapa Dion.

“Eh Nak Dion! Monggo! Ada Nak Hendrik juga, Monggo! Monggo!” sahut Budhe Sugeng, ibunya Andi yang tersenyum menyambut kedua tamunya.

“Mung kowe loro, Le?” tanya Pakdeh Sugeng sambil menyalami kedua pemuda itu.

“Nggih. Calon mantune Pakdhe wis lunga menyang ngendi-endi,” jawab Dion membuat seisi ruang tamu itu tertawa.

“Wong ulang tahun neng endi, Budhe?” tanya Dion sesaat sebelum menduduki sofa di samping Budhe Sugeng bersama Hendrik.

“Tria! Iki kakangmu nggoleki,” seru Budhe setengah berteriak ke arah belakang.

Tria, adik bungsu Andi kemudian muncul dari ruang dapur. Ia tersenyum mendapati Dion dan Hendrik sudah berada di ruang tamu. “Kang Dion, Bang Hendrik!” sapa remaja itu mendekat.

“Selamat ulang tahun! Sugeng ambal warsa! Pakdhe, benar ya kalimatnya?” tanya Dion pada Pakdhe Sugeng sambil menyelamati Tria.

“Benar, Le,” jawab Pakdhe Sugeng tersenyum.

“Muga-muga Dik Tria tansah pinaringan kesehatan lan kamulyan,” tambah Dion belum melepas tangannya yang menyalami Tria.

“Matur nuwun, Kang!” sahut Tria malu-malu.

“Aku kudu kerja bengi. Sepurane ora bisa menehi hadiah sing larang,” Dion memberikan kotak kado yang ia keluarkan dari tasnya pada Tria.

“Wah! Matur nuwun. Iki opo, Kang?” tanya Tria.

“Opo sing dijaluk wingi? Sepatu wae toh?”

“Mung sepatu sih. Nanging yen Kang Dion duwe dhuwit akeh, tuku HP, gitu,” canda Tria membuat semua orang tertawa.

“Ayo ndungo sing akeh rezeki.”

Ketika Hendrik juga menyalaminya, Tria sempat protes meminta hadiah. Tapi hatinya senang ketika Dion mengatakan hadiah dari Hendrik sudah ada di dalam kotak.

Dengan gembira gadis itu membawa kado pemberian Dion ke dalam kamarnya. Ia mendapati kado itu berisi sepatu kets berwarna putih dengan aksen merah muda.

Sudah lama ia menginginkan sepatu seperti itu, yang bisa digunakannya ketika mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Ia bahkan tak sadar ketika ibunya juga sudah berada di kamar karena Tria sibuk mencoba sepatu ke kakinya.

Tampak pas dan nyaman di kaki membuat Tria senyum-senyum sendiri.

“Ukurannya pas. Kelihatan sepatu mahal, tuh,” ujar ibunya membuat Tria tambah senang.

Tria tambah gembira ketika membuka amplop yang disertakan di dalam kotak. Kartu ucapan selamat ulang tahun yang ditujukan padanya atas nama Dion dan Hendrik beserta empat lembar uang pecahan 50 ribu rupiah.

“Uangnya ditabung. Jangan dibelikan macam-macam. Sudah sana pergi buatin minum buat Kang Dion sama Bang Hendrik,” perintah ibunya.

Tria baru hendak membuatkan minuman untuk kedua sahabat kakak tertuanya itu ketika ia mendengar Dion hendak pamit. “Pakdhe. Aku pamit dulu soalnya sudah hampir jam kantor.” Dion dan juga berpamitan pada Budhe Sugeng yang kembali ke ruang tamu itu.

“Lho, nak Dion tidak makan malam dulu?” tanya ibu Andi.

“Takut telat, Budhe. Nanti habis jam kantor aku kemari lagi. Kalau bisa sepotong opor ayam disisain buatku.”

“Oh. Tentu. Tapi benaran datang, ya!”

“Iya Budhe. Dion pamit dulu!”

Di depan rumah, Andi sudah menunggu Dion dengan senyuman. “Ndi, si Hendrik lagi patah hati. Atik sudah putusin hubungan mereka. Sepertinya dia butuh penghiburan tuh!”

Andi kaget mendengar pengungkapan Dion. Ia melirik sekilas ke dalam rumah dimana Hendrik tampak duduk sambil bercengkerama dengan Tria.

“Astaga! Pantas wajahnya kusam gitu. Ya udah, nanti aku bikin dia sibuk di dapur. Sepulang kerja mau datang lagi, kan?”

Dion menganggukkan kepala menjawab Andi. “Iya, nanti aku bawain minuman. Hendrik jangan dikasih minum dulu kalau masih ada tamu. Takutnya dia keterusan dan mabuk.”

Andi balik mengangguk sambil tersenyum.

...***...

Malam itu Dion memenuhi janji untuk kembali ke rumah Andi sehabis jam kantornya. Ia mendapati Hendrik, Andi dan Surya adik Andi sedang sibuk berberes di ruang tamu karena para tetamu baru saja meninggalkan rumah itu.

Mengetahui kedatangan Dion, Budhe Sugeng langsung menyuruh pemuda itu untuk makan di dapur. Dion senang mendapati Opor telah disiapkan buatnya di atas meja. “Tadi ramai, Budhe?” tanya Dion sambil menikmati opor ayam yang disiapkan untuknya.

“Lumayan, Nak! Cuma saudara-saudara dekat dan tetangga sini, kok. Habis makan ngobrol ngalor-ngidul, baru saja pada bubar,” jawab ibu Andi itu sambil membereskan peralatan dapur.

“Budhe istirahat saja. Disambung besok pagi.”

“Iya, tanggung sedikit lagi.”

“Tadi Nita kemari, Budhe?”

“Ada. Dia malah bawain banyak es buah satu termos besar.”

“Lho, kok calon mantunya disuruh pulang duluan, nggak bantu Budhe?”

“Ee.. Budhe yang suruh pulang. Habisnya dari tiba dia di dapur terus bekerja. Budhe jadi nggak tega kalau dia kecapean apalagi kan besok pagi dia harus kerja,” Budhe bercerita.

“Budhe malah takut dia kapok kemari lagi kalau disuruh kerja begitu. Kalau dia tinggalin Andi, bisa repot. Andi yang pendiam begitu mau cari pacar ke mana lagi?” lanjutnya membuat Dion tertawa.

“Nita itu memang orangnya begitu. Kalau bekerja rajin banget, nggak mau diam. Andi tak salah pilih kan, Budhe?”

“Iya Budhe suka dengan Nita. Tapi Andi jadi agak minder soalnya Nita sudah sarjana, nah Andi cuma tamat SMA, kerja saja masih nyari,” Budhe mengungkap kekhawatirannya.

“Ah, nanti juga Andi pasti dapat kerjaan, kok. Aku yakin. Lagipula kan Andi bukannya pengangguran, dia ada penghasilan juga,” Dion coba mengurangi kekhawatiran Budhe Sugeng.

Akhirnya Budhe Sugeng menyelesaikan pekerjaannya dan meminta diri untuk beristirahat. “Budhe istirahat, ya. Kalau mau tambah, ambil di lemari itu tuh. Itu memang Budhe siapkan buat Dion.”

Setelah menghabiskan makan tengah malamnya, Dion lalu menggabungkan diri dengan Andi, Hendrik dan Surya yang ngobrol di teras rumah.

“Bro, jadi beli minuman tadi?” tanya Andi.

“Ada dong,” jawab Dion lalu membuka tas duffle-nya dan mengeluarkan plastik besar berisi botol-botol minuman.

“Wah! Minuman mahal nih. Beli di mana?” tanya Andi sambil memegangi botol vodka impor.

“Pemberian seorang klien. Katanya dia beli langsung dari negara asalnya, Swedia. Nah sementara yang ini brandy pemberian pimpinanku tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun. Katanya sih asli Perancis,” jelas Dion.

“Selama ini tersimpan di mejamu?” tanya Hendrik heran.

“Iya. Aku kan bukan peminum jadi aku simpan saja untuk momen seperti saat ini,” jawab Andi.

“Bah, momen patah hati maksudmu, Bro?” celetuk Hendrik membuat Andi, Surya dan Dion tertawa bersamaan.

“Bukan itu, Bro. Tapi momen ulang tahun ke-17 Dik Tria. Tapi kalau dipikir-pikir, patah hati juga bisa jadi alasan yang baik,” canda Dion membuat mereka kembali tertawa.

“Malam ini kita seperti orang kaya. Minum vodka Swedia, brandy Perancis dan bir Denmark,” kata Andi, sementara Surya masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan beberapa gelas.

“Sebelum ke sini sore tadi kalian berdua dari mana saja? Apa langsung kemari?” tanya Andi.

“Tadi pagi aku datang ke kos Dion. Habis aku suntuk sekali. Tengah hari bangun dan ikut dia mengunjungi banyak tempat,” jelas Hendrik yang merasa dirinya berhutang penjelasan pada Andi.

“Suntuk kenapa, Bro? Ada masalah kah?” tanya Andi lagi sambil menyambut gelas yang dibawakan Surya di atas nampan.

Sejenak Hendrik menatap ke arah Dion. “Bukannya sudah cerita pada Andi?” tanyanya.

“Lho, cerita apaan? Aku kan tidak tahu apa-apa. Kecuali satu kalimat pendekmu tadi pagi, ‘Bro, Atik sudah memutuskan hubungan kami.’ Selain itu tidak ada padahal seharian aku menunggumu cerita,” sahut Dion.

Hendrik lalu tersenyum sambil garuk-garuk kepala. “Benar juga, aku belum ceritakan selengkapnya.”

“Itu sih gara-gara Dion juga yang membawaku keliling-keliling. Perhatianku jadi teralihkan. Eh, kalian tahu? Hari ini aku baru mengetahui kalau kehidupan Dion bergelimang wanita cantik.”

Mendengar perkataan Hendrik, Surya tertawa terkekeh. “Yang ada itu bergelimang harta, Bang. Bagaimana pula itu bergelimang wanita cantik?”

“Sur, harusnya kau ikut Dion sekali-sekali. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan dia dikelilingi, bukan satu, bukan dua. Tunggu aku hitung…” Hendrik lalu coba menghitung dibantu jari-jari tangannya.

“Tujuh wanita cantik!” seru Hendrik.

Dion yang juga tertawa jadi penasaran dengan hitungan Hendrik. “Tujuh bagaimana, Bro? Coba hitung ulang!”

“Ada Rina di percetakan, Meyleen sekantor Dion, Astrid kenalan Dion, Karenia pemilik fitness, trus dua orang klien,” jelas Hendrik.

“Bukannya itu enam? Mana yang satu lagi?” tanya Andi mulai menuangkan vodka ke gelas-gelas di atas nampan.

“Yang terakhir ibunya salah satu klien. Masih kelihatan cantik dan hot,” jelas Hendrik membuat ketiganya tertawa cekikikan.

“Benaran Ndi, Sur! Mereka bukan cuma kenalan Dion. Aku bisa tahu, semua wanita itu naksir berat sama si Dion ini. Kalau duduk, semuanya berlomba menempel rapat Dion. Sedekat-dekatnya.”

“Bahkan si Astrid yang cantik dan seksi, terang-terangan menawarkan selangkangannya pada Dion. Aku lihat dengan mata kepala ku sendiri,” tutur Hendrik bersemangat membuat Andi dan Surya tertawa keras, sementara Dion mengusap tengkuk sambil tersenyum malu.

Surya yang penasaran kemudian menanyakan detil ‘penawaran’ selangkangan itu. Hendrik pun menceritakan kejadian di mana Astrid dengan sengaja membuka pahanya ketika Dion mencari sesuatu yang terjatuh di bawah meja restoran siang tadi.

Tak lupa ia menceritakan bagaimana kepala Dion sampai terbentur meja saking kaget melihat pemandangan itu. Penuturan itu membuat Andi dan Surya tertawa panjang.

“Astaga! Sulit dipercaya tapi mendengar ceritamu dan pelakunya ada di sini, aku tak punya alasan untuk tak percaya,” ujar Andi.

“Aih, si Astrid itu cuma suka usil, kadang sampai berlebihan,” timpal Dion lalu menyeruput minuman vodka yang baru dituang ke gelas.

“Trus siapa yang paling cantik, Bro?” tanya Andi pada Hendrik.

“Tunggu,” jawab Hendrik lalu coba mengingat-ingat para perempuan itu.

“Dari segi wajah, Rina paling cantik. Dia mirip orang Italia. Yang paling seksi itu Astrid, yang paling menggairahkan itu Karenia, ia tahu benar bagaimana cara memikat pria. Jantungku berkali-kali hampir meledak dibuatnya,” terang Hendrik.

“Waduh! Semuanya pake ‘paling’, pasti bikin Kang Dion pangling,” celetuk Surya.

“Tapi menurutku yang paling berpeluang itu justru wanita yang bernama Meyleen itu. Dia istimewa karena merupakan gabungan dari semuanya, cantik, seksi, pintar dan perhatian sekali pada Dion,” Hendrik melanjutkan penjelasannya.

“Aih. Perempuan pada dasarnya sama saja seperti kita para pria. Ada yang nyentrik, ada yang pemalu, ada yang suka guyon dan sifat-sifat lainnya. Di balik penampilan dan sifatnya itu, mereka, terutama si Astrid dan Meyleen itu, adalah pekerja keras, cenderung workaholic.”

“Karenia bahkan mengelola beberapa bisnis sekaligus padahal usianya baru 25 tahun,” tambah Dion yang tak ingin Hendrik memandang para wanita kenalannya sebagai objek seksual semata.

“Kalau Rina bagaimana, Bro?” tanya Hendrik yang penasaran mengenai perempuan itu.

“Rina itu pintar. Dalam beberapa bulan ini, tak sekali pun, ingat, tak sekali pun ia menyodorkan calon klien yang menolak jasaku. Artinya, ia sangat jeli menilai orang. Ia bisa tahu kemampuan ekonomi dan keseriusan seseorang lewat obrolan,” jelas Dion membuat ketiga sahabatnya kagum.

“Jadi harus hati-hati menyikapi mereka. Tidak boleh terbawa perasaan dengan mudah. Aku tak menafikan beberapa perempuan menjadikan itu seperti sebuah game atau permainan. Mereka berpakaian dan bersikap genit untuk mengambil keuntungan dari para pria, bahkan dalam lingkungan pekerjaan atau bisnisnya,” tambah Dion membuat Surya dan Andi mengangguk-angguk.

“Tapi tetap saja menjadi fakta, Kang Dion memang bergelimang wanita cantik,” kali itu Surya yang berkomentar membuat Hendrik, Andi kembali tertawa keras. Dion yang tak bisa menampik ucapan Surya, ikut tertawa.

“Sepertinya ada sesuatu antara kau dan si Meyleen itu,” ujar Andi penasaran.

“Ah! Dia itu sebenarnya orang Singapura. Aku hanya membantunya agar mudah berasimilasi dengan orang Medan yang mempunyai kultur berbeda,” sahut Dion.

“Hanya itu, Bro?” tanya Hendrik.

“Aku memang suka berteman dengan Meyleen. Dia baik, pintar dan respectful alias tak suka memandang remeh orang lain,” tambah Dion.

Tapi ketiga sahabatnya; Hendrik, Andi dan Surya masih menatap Dion dengan diam karena tak puas dengan jawaban tadi.

“Baiklah. Aku tak jatuh cinta padanya, kalau itu yang ingin kalian tahu,” ucap Dion kemudian.

“Celaka dua belas! Pertanda buruk untuk orang yang patah hati,” seru Hendrik. Giliran Dion sendiri yang tertawa.

“Aku hanya belum ingin memulai suatu hubungan. Masih sedikit trauma dengan rasa sakitnya. Hendrik mungkin lebih pintar mengatasinya,” jelas Dion.

“Lalu bagaimana ceritanya Ito Atik memutuskanmu?” tanya Dion.

Hendrik menghela nafas panjang. Lalu mereguk minuman sebelum mengeluarkan kata-kata.

“Itulah, Bro. Aku kaget mendengar pengakuannya. Ternyata sudah beberapa bulan ini ia menerima lamaran tak langsung dari paribannya. Ia baru mengakuinya kemarin siang, ternyata selama beberapa bulan ini ia menduakan aku. Ia memintaku untuk melupakan hubungan kami.”

“Lamaran tak langsung itu bagaimana, Bang?” tanya Surya.

“Pada masyarakat adat Tapanuli sepupu wanita, putri dari saudara lelaki ibu atau paman kita disebut pariban. Bisa dipahami toh?” tanya Dion membuat Andi dan Surya mengangguk.

“Secara default, atau pada keadaan wajar, kedua bersepupu pariban itu akan dijodohkan apabila usia keduanya tidak terpaut jauh. Itu dimaksudkan agar hubungan kekerabatan antara dua keluarga terus terjalin,” jelas Dion.

Hendrik membenarkan keterangan Dion dengan anggukan kepala. Lalu mengambil alih penjelasan.

“Nah, sebenarnya si Atik itu sudah dijodohkan dengan paribannya sejak lama. Dulu pria sepupunya itu menolak perjodohan karena ingin fokus pada karir di bidang perbankan. Beberapa bulan lalu, paribannya itu berubah pikiran dan meminta ibunya kembali menjodohkannya dengan Atik. Itu yang kusebut sebagai lamaran tak langsung.”

“Sialnya, Atik menyetujuinya. Mungkin karena pria itu punya karir cemerlang dan berjanji akan mencarikan pekerjaan buat Atik di Batam. Kemarin Atik mengaku sudah membeli tiket pesawat dan akan berangkat minggu depan. Ia mengatakan hubungan kami sudah berakhir.”

Dion, Andi dan Surya hanya terdiam mendengar keterangan Hendrik.

“Apa kau sudah pernah meminta atau berjanji untuk menikahinya?” tanya Dion setelah beberapa saat.

“Aku sempat tanyakan itu padanya. Aku tanya apa ia ingin aku melamarnya tapi jawabannya malah sangat menyakitkan hati. Ia bilang sudah tidak ada hati lagi padaku. Ia juga bilang kemungkinan tak pernah benar-benar jatuh hati padaku. Aku seperti disengat listrik mendengarnya.”

“Apa tak ada jalan lagi untuk menyelamatkan hubungan kalian?” kali itu Andi yang bertanya.

“Tidak. Aku pun sudah tak menginginkannya lagi. Aku tak terima dikhianati. Yang aku sesali adalah pertemuan kami dan hubungan yang pernah kami jalani. Rasanya manis, tapi tiba-tiba seperti dicekoki empedu.”

Suara Hendrik terdengar sendu. Lalu menatap Dion dan melanjutkan, “Sekarang aku baru paham apa yang terjadi padamu, Bro. Patah hati itu sangat menyakitkan.”

“Kita berdua sudah kandas,” timpal Dion sambil mengisi gelasnya dan gelas Hendrik.

Dion lalu mengangkat gelasnya dan memberikan gelas lainnya pada Hendrik. “Untuk yang patah hati!” seru Dion lalu menghabiskan vodka di gelasnya.

Hendrik pun mengikutinya. “Semoga cepat berlalu!” timpal Hendrik, ikutan menghabiskan minuman di gelas dengan sekali tegukan.

Dion kembali mengisi penuh keempat gelas di atas nampan. “Sekarang, tinggal Bro Andi! Jangan sampai kandas seperti kami berdua.”

Dion menyerahkan gelas-gelas yang ia isikan tadi kepada Andi, Surya dan Hendrik. Sambil mengangkat gelasnya sendiri Dion berkata, “Semoga seumur hidupnya, Andi tidak pernah merasakan patah hati seperti yang kami alami.”

"Untuk Andi dan Nita!”

Dion mengangkat gelasnya dan menghabiskan minumannya. Andi, Surya dan Hendrik mengikutinya.

Dion kembali mengisi gelas-gelas yang kembali kosong. “Nah kali ini, kita toast untuk Dik Tria dan Surya. Terutama Dik Tria yang berulang tahun, semoga dia sehat selalu dan Tuhan membantunya meraih cita-cita.”

Ia menyodorkan gelas-gelas pada sahabatnya.

“Untuk Dik Tria dan Surya!” seru Dion kembali melakukan toast seperti sebelumnya, diikuti tiga sahabatnya.

Andi mulai khawatir ketika Dion kembali mengisi gelas-gelas itu. “Bro, yang berikut untuk apa?” tanyanya.

“Kita habiskan vodka ini. Yang terakhir ini untuk kesehatan Pakdhe dan Budhe. Ayo masing-masing kan cuma seperempat gelas,” sahut Dion lalu kembali melakukan toast dan juga diikuti tiga sahabatnya.

Pakdhe Sugeng yang penasaran dengan aktivitas para pemuda itu sempat tertawa melihat tingkah mereka dari balik jendela terutama ketika Dion melakukan toast patah hati dengan Hendrik.

Tapi jadi terharu ketika mereka juga melakukan toast untuk kesehatannya bahkan juga untuk anak perempuannya yang berulang tahun. Ia pun membiarkan para pemuda itu bercengkerama dan masuk ke kamar.

“Sekarang vodka sudah habis. Kita lanjutkan dengan campuran brandy dan bir. Sur, ambil gitar, dong! Kita menyanyi,” ujar Dion.

Mendengar itu Surya pun gembira karena sedari tadi ia sudah ingin mengajak Dion bernyanyi.

...***...

Perkiraan Dion tidak meleset. Hendrik tidak membutuhkan waktu lama untuk pulih. Hanya dalam beberapa hari, ia sudah disibukkan dengan aktivitas lamanya, mengelola warung internet milik kakaknya yang dulu adalah rental komputer.

Aktif secara fisik ternyata sangat ampuh mengobati sakit hati. Hendrik mulai aktif latihan gulat gaya Yunani-Romawi dan menjadi asisten Sampe yang menjadi pelatih di sebuah universitas.

Hendrik juga mengajarkan beberapa gerakan dan kuncian dasar pada Dion yang beberapa kali mengikutinya latihan bersama Sampe.

Secara diam-diam, Hendrik juga mendaftarkan dirinya mengikuti kelas fitnes pada pagi hari di klub yang sama dengan Dion.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!