Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 : Kebencian yang Membara
Cahaya matahari menelusup lembut dari celah tirai apartemen mereka. Udara masih menyimpan dingin sisa malam, tapi hangatnya aroma kopi yang baru diseduh mengisi ruangan kecil tempat mereka biasa berbagi pagi.
Samantha duduk bersila di sofa, rambutnya masih berantakan, mengenakan kaus tipis milik Leonard yang kebesaran di tubuh mungilnya. Ia sedang membaca pesan masuk di ponselnya sambil tersenyum samar, hingga tiba-tiba suara langkah kaki mendekat.
Leonard muncul dari balik dapur kecil, membawa dua cangkir kopi. Wajahnya lelah tapi lebih tenang dari sebelumnya. Rambutnya sedikit acak, dan matanya menatap Samantha seolah ia ingin menatap lebih lama, lebih dalam, seakan takut waktu tak memberinya cukup kesempatan.
"Pagi," ucapnya pelan, menyodorkan secangkir kopi.
Samantha menerimanya, "Pagi…" jawabnya hangat.
Mereka duduk berdampingan. Diam yang tidak canggung, justru terasa nyaman. Sampai akhirnya Leonard berbicara, suaranya rendah dan tulus.
"Aku minta maaf," katanya. "Beberapa minggu terakhir ini... aku terlalu sibuk tenggelam dalam kekacauanku sendiri. Sampai lupa bahwa aku punya seseorang di sisiku yang selalu menungguku bicara. Sekadar... bicara sebelum tidur. Tanya kabar. Cerita tentang hari yang panjang."
Samantha menoleh, menatapnya. "Aku mengerti."
Leonard menggeleng pelan. "Tapi kamu tak seharusnya mengerti sendirian, Sam. Kamu juga lelah, kamu juga berjuang. Dan aku terlalu sibuk menahan beban sendiri sampai lupa... kalau kamu bukan hanya istriku. Kamu temanku. Orang yang selalu ingin kubagi segalanya."
Suara Leonard mulai bergetar, tapi ia menahannya. "Mulai hari ini, aku ingin bangkit lagi. Bukan hanya demi karierku. Tapi demi kita. Karena kamu sudah lebih dari cukup menjadi pilarku… Sekarang giliranku menjadi pilar buatmu."
Samantha menatap mata pria itu. Mata yang dulu membuatnya jatuh cinta karena ketulusan dan kehangatannya. Ia menyentuh tangan Leonard, menggenggamnya erat.
"Aku tidak butuh kamu sempurna, Leo. Aku hanya butuh kamu… tetap di sini. Bersamaku. Seburuk apa pun hari yang kita lewati."
Cangkir kopi yang mengepulkan uap tipis kini berada di meja rendah di hadapan mereka. Samantha menatap cairan hitam itu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku mendengar kau menolak panggilan investor dari Boston..."
Leonard menghela napas, mengangguk. "Aku butuh waktu. Butuh ruang. Aku tak ingin membuat keputusan besar saat pikiranku masih kabur."
Samantha mengangguk pelan. "Itu keputusan yang bijak."
Hening lagi. Namun bukan karena tak ada yang ingin dikatakan, melainkan karena terlalu banyak yang ingin diungkapkan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Lalu Leonard menyandarkan tubuhnya ke sofa, memandang langit-langit, dan berkata tanpa menatapnya, "Terkadang aku takut kehilanganmu, Sam. Bukan karena orang lain... tapi karena diriku sendiri. Aku takut kamu lelah. Takut kamu sadar bahwa kamu pantas mendapatkan yang lebih... yang stabil. Yang utuh."
Samantha menoleh cepat, matanya melebar.
"Leonard…" suaranya lirih, nyaris seperti bisikan. "Kamu adalah rumah. Aku pulang padamu bukan karena aku tak punya tempat lain. Tapi karena aku memilihmu. Setiap hari."
Ucapan itu membuat dada Leonard sesak, dan saat ia berbalik menatap istrinya, ia melihat wanita yang tidak hanya kuat tapi juga lembut dalam kesetiaan dan kasihnya. Bibirnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang bisa menyamai perasaan itu.
Samantha tersenyum kecil, memiringkan kepala. "Bahkan kalau dunia ini mencoba mengacaukan kita... aku tetap akan memilih memulainya kembali denganmu."
Dan saat itulah, Leonard tak mampu lagi menahan dorongan di dadanya. Ia berpaling sepenuhnya, meraih tubuh Samantha ke dalam pelukannya, meresapinya dalam keheningan yang penuh pengertian. Tak ada yang lebih benar dari momen itu, ketika dua hati yang sempat limbung akhirnya bertemu kembali dalam keutuhan yang mereka bangun dengan rasa sakit, pengampunan, dan cinta yang tumbuh di tengah badai.
Leonard tersenyum kecil, dan menarik tubuh Samantha ke pelukannya. Di sana mereka diam, hanya dengan detak jantung dan napas hangat satu sama lain. Dunia luar masih kacau, masih belum selesai. Tapi di pagi itu, di antara aroma kopi dan sentuhan hangat, mereka merasa cukup.
****************
Suasana kantor dalam beberapa hari terakhir tak lagi sekadar riuh oleh dering telepon dan ketukan jari di keyboard. Ada getar yang berbeda di udara, desas-desus, bisikan antarkubikel, dan tatapan-tatapan penuh tebakan. Semua orang tahu bahwa pengumuman promosi tahunan akan segera dilakukan. Dan setiap karyawan, terutama mereka yang berada di jajaran middle-management, diam-diam mulai menilai diri sendiri dan satu sama lain, siapa yang layak naik?
Daftar spekulatif pun mulai beredar tak resmi. Nama-nama seperti James dari divisi pemasaran, Olivia dari riset, dan masih banyak nama lainnya.
Namun satu hal yang membuat Clara menggeretakkan giginya adalah bagaimana tidak satu pun menyebut namanya.
"Padahal dia udah lama di sini, ya? Tapi kok kayaknya gak masuk radar?" bisik seorang staf admin saat mereka mencetak laporan.
"Mungkin dia butuh waktu tambahan," jawab yang lain dengan nada yang nyaris mengejek, "buat menyempurnakan… ya, kapasitas manajerialnya."
Kalimat itu menyebar seperti virus. "Butuh waktu tambahan" menjadi ejekan baru yang diam-diam disematkan pada Clara. Halus, tapi tajam. Sebuah sindiran terselubung bahwa selama ini ia hanya tampak sibuk, bukan benar-benar berhasil.
Clara mendengar semua itu. Ia tidak perlu berada di tengah kerumunan untuk tahu bagaimana tawa mereka menyusup pelan ke dalam egonya. Ia mencatat setiap nada, setiap nama, setiap orang yang tidak menoleh ke arahnya.
Clara merasa tenggelam dalam lava keirian yang mulai mendidih.
Tangannya mengepal, jemarinya menekan meja kerja hingga buku-bukunya memutih. Ini bukan hanya soal promosi. Ini soal harga diri. Tentang bagaimana seseorang yang baru beberapa tahun terakhir naik daun bisa menginjak semua jerih payahnya selama ini hanya dengan satu senyuman anggun dan gaya bicara tenang.
Dan saat itu juga Clara bersumpah, jika permainan ini tentang kesan, tentang citra, maka ia akan membuat citra Samantha runtuh, tak peduli seberapa tinggi wanita itu telah naik.
****************
Meski jabatan Head Editor telah resmi diemban Samantha sejak beberapa waktu lalu, baru kini kantor benar-benar mengakui otoritasnya. Bukan karena posisi itu diberikan, melainkan karena kualitas kerja dan caranya membawa perubahan nyata dalam ritme tim editorial.
Di meja-meja kerja, obrolan ringan yang dulu diwarnai nada sinis soal ‘wanita yang dekat dengan bos’, kini berubah menjadi kekaguman. "Samantha itu, ya… kalau udah review naskah, tajemnya kayak silet. Tapi anehnya, lo nggak sakit hati. Malah semangat ngerjain ulang," gumam salah satu editor muda sambil mengaduk kopi.
"Ada aura yang beda dari dia, sekarang. Lebih tenang, lebih… tahu apa yang dia lakukan," ujar yang lain.
Para kepala divisi mulai sering menjadikan Samantha sebagai rujukan. Beberapa bahkan meminta waktu khusus untuk diskusi dengannya, menandakan bahwa ia bukan hanya kepala editor, tapi juga thought leader dalam tim konten kreatif. Rapat mingguan yang biasanya terasa kaku, kini mengalir ketika Samantha memandu. Ia tidak mendominasi, namun memberi ruang dengan bijak, tahu kapan bicara dan kapan mendengarkan.
Di sisi lain, Clara merasa kursinya semakin dingin.
Dulu, setiap kali ide dilemparkan ke meja diskusi, mata-mata akan berpaling padanya. Kini, mereka menoleh ke Samantha, dan lebih buruknya, mendengarkan. Bukan hanya soal jabatan, ini soal pusat perhatian, dan Clara kehilangannya.
Saat manajemen menyebut nama Samantha sebagai delegasi utama dalam forum kreatif nasional mewakili perusahaan, Clara menahan senyum getir. Harusnya itu aku, batinnya. Aku yang lebih dulu, aku yang lebih berpengalaman. Tapi dia… dia merebut segalanya begitu saja.
Meski wajahnya tetap menyimpan senyum saat bertemu Samantha di lorong kantor, matanya menyimpan bara lain. Perlahan, ia menyusun ulang rencananya. Jika tidak bisa bersinar di bawah cahaya Samantha, maka mungkin, ia harus mulai mencari cara memadamkannya.