Felisha (Find The Destiny)

Malam berlalu dan pagi ini seperti biasa Feli sudah memulai aktivitasnya. Hari ini dia berencana memberitahu Febian tentang rencananya untuk kembali ke Indonesia dalam dua bulan kedepan, dia akan pulang setelah acara wisuda selesai.

"Pih ayo makan siang bersama," ucap Feli melalui sambungan telpon ketika dia menghubungi Febian yang tentu langsung mendapatkan persetujuan. Bahkan Febian diseberang sana merasa heran dan sangat bahagia tidak biasanya sang putri akan lebih dulu berantusias.

**

"Tuan, maaf tidak ada pelamar untuk room service atau sejenisnya dengan nama itu," ucap Mark pada Alther di lobby hotel mereka setelah selesai mengecek berkas data pelamar dari bagian perekrutan.

"Tidak mungkin, aku melihat dia disini saat interview waktu itu." Ucap Alther.

"Tapi aku sudah mencarinya dan tidak ada,"

"Hah kalau begitu cari informasi di hotel kita menginap saja," jawab Alther mengambil keputusan. Sudah berapa hari dia menginap di hotel itu, bahkan dia selalu memesan layanan kamar tetapi dia tidak bertemu dengan wanita itu, kecuali sekali ketika di lobby saat itu.

"Susah susah membuat pengembangan mesin pencarian goAG tetapi untuk mencari seorang wanita saja dia masih merepotkanku," gerutu Mark.

"Kau bilang apa?" Alther memicingkan mata.

"Kenapa tidak mencarinya lewat goAG?"

"Kau bercanda, dengan hanya berbekal namanya? Kau pikir hanya ada sepuluh nama yang sama disini."

"Iya juga, apalagi yang mau kau temukan adalah seorang room service, coba saja jika artis terkenal pasti akan sangat muda untuk menemukannya," sindir Mark menghilangkan gaya formalnya.

"Hey, kau sedang mengataiku?" Alther memberikan pelototan tajam.

"Tidak menyindir, aku bahkan mengatakannya langsung," jawab Mark dengan senyuman yang dipaksakan sembari berjalan meninggalkan Alther.

"Semakin lama dia semakin menyepelehkanku ckckck," gumam Alther sambil menyusul sang asisten yang seharusnya berjalan dibelakangnya.

**

Dua hari kemudian

Hari ini Alther sudah harus kembali ke negaranya dengan penerbangan malam. Febian juga sudah kembali ke Indonesia. Rencana makan malam antara mereka tidak berjalan dengan baik karena kesibukan masing-masing. Alther yang sibuk memeriksa persiapan pembukaan hotel sekaligus sibuk mencari seorang wanita dan Febian yang sibuk merenung dengan keputusan sang putri tercinta.

"Tuan," panggil Mark.

"Ish berbicara santai saja, bahkan kita sedang menikmati hidangan dengan pakaian santai seperti ini."

"Hhmmm aku sedang ingin membahas pekerjaan," ucap Mark.

"Ada apa?"

"Apa anda yakin akan memberikan tanggung jawab penuh kepada general manager disini?" tanya Mark yang sebenarnya mempunyai maksud lain dengan pertanyaannya itu.

"Tentu saja, biasanya juga seperti itu," Alther cuek menganggap itu sesuatu yang tidak penting untuk mereka bahas, karena memang seperti itulah yang selalu terjadi di cabang-cabang Willard Hotel sebelumnya.

"Ehmm, apa anda tidak ingin mengawasi secara langsung?" dengan ragu Mark bertanya.

"Hey apa kau pikir aku tidak memiliki tanggung jawab yang lebih penting dari sekedar turun langsung mengurus cabang hotel disini?" Alther menggelengkan kepala.

"Padahal aku bermaksud baik, sudahlah iya kau memang orang penting yang sangat sibuk,"

"Maksud baik apa?" Alther sedikit penasaran.

"Bukankah kau ingin mencari seorang wanita? Menetaplah disini jika kau serius untuk mencarinya," kata Mark yang memang beberapa hari ini dia merasa Alther begitu uring-uringan karena mereka belum juga menemukan wanita yang dicari. Namanya tidak terdaftar dalam list rekrutan karyawan room service dan juga mereka tidak bisa menemukan informasinya dengan jelas di hotel tempat mereka menginap karena dia bukanlah karyawan tetap.

Alther tersenyum, "Mark. aku memang sangat ingin mengetahui informasinya, aku begitu penasaran dengannya, tetapi aku juga masih sedikit waras," dia sedikit terkekeh, "biarkanlah aku menunggu sebuah kebetulan kembali datang menghampiri, jika kita bertemu lagi mungkin kita adalah jodoh yang sudah ditakdirkan." Lanjut Alther yang sebenarnya dia juga bingung, beberapa kali mereka selalu saja bertemu secara kebetulan, tetapi kenapa disaat dia ingin mencari informasi lebih jauh kebetulan itu seraya menghilang.

"Jangan hanya menunggu untuk sesuatu yang kita inginkan, kau juga harus memperjuangkannya,"

"Iya kau benar, tetapi bukan sedikit tanggung jawab yang kita punya di Los Angeles,"

"Hmm," Mark hanya mengangguk, dia membenarkan memang mereka memiliki segudang tanggung jawab baik di goAG maupun di Willard Group.

**

Disudut yang lain masih dalam cafe yang sama Feli sedang duduk santai menikmati lime mojito kesukaannya bersama Gabriel yang terus saja mengeluh karena seharian dia kelelahan bekerja atau lebih tepatnya menjalani internship hari pertama.

"Fel, aku benar-benar lelah, jadi anak magang ternyata lebih buruk dari seorang part time," ucap Gabriel setelah selesai dengan berbagai dessert yang dia pesan.

"Memangnya apa yang terjadi? Magang di hotel membuatmu terlihat seperti baru lari maraton mengelilingi danau Jenewa."

"Mereka benar-benar memanfaatkan tenaga seorang intern," jawab Gabriel lemas.

"Terima saja, kau harus semangat dan anggap itu sebagai pengalaman buat nanti," Feli memberi semangat kepada temannya yang harus menjalankan internship dua bulan kedepan. Berbeda dengan Feli yang tidak lagi melakukan internship karena dia sudah mendapatkan rekomendasi dari hotel tempat dia bekerja part time sebelumnya. Sebenarnya itu sudah lebih dari cukup, dengan status part time bahkan Feli sudah bekerja dalam waktu dua tahun dan menjadi kepercayaan menejer.

"Kau benar, aku memang harus semangat," ucap Gabriel, "oh ya kenapa waktu itu kau mengabaikan telponku? padahal aku ingin sekali mengajakmu menemaniku mencari keperluan internship dadakan itu," sungut Gabriel.

"Maafkan aku Briel, aku hanya kurang enak badan," ucap Feli.

"Aku ke apartemenmu dan terkunci dari dalam," Gabriel memicingkan mata, "benar tidak terjadi sesuatu?" lanjutnya kembali memastikan.

"Tidak ada, hanya ingin beristirahat saja," Feli menjawab sembari memberikan sedikit senyuman.

"Hhmmm," Gabriel berdehem tidak ingin membahas lebih lanjut.

"Oh ya Fel, bisa aku bertanya sesuatu? Itu jika kau tidak keberatan," Gabriel kembali mengangkat suara usai terjadi keheningan disana.

"Apa?"

"Siapa pria yang malam itu datang bertemu denganmu?"

Hening sejenak

"My daddy" jawaban singkat keluar dari mulut Feli setelah sebelumnya dia sempat butuh waktu berpikir untuk memberikan jawaban apa kepada temannya.

"Kau serius?" Gabriel sedikit terkejut. Dia bahkan sudah memiliki pikiran negatif kenapa seorang pria parubaya datang mencari temannya waktu itu.

"Iya memangnya kenapa? Apa aku tidak mirip dengannya?" tanya Feli menatap Gabriel, "tentu saja aku tida mirip," lanjutnya dalam hati.

"Bukan itu, kalian memiliki perawakan yang mirip," jawab Gabriel membuat Feli tersenyum miris seakan berkata mana mungkin dia mirip dengan orang yang bahkan bukan ayah kandungnya.

"Hanya saja.." lanjut Gabriel agak ragu tetapi tatapan Feli membuat dia harus melanjutkan kalimatnya.

"Kau terlihat bukan anak dari pria itu karena penampilanmu dan penampilan pria itu jauh berbeda," Gabriel tersenyum menunjukan deretan giginya.

"Maksudnya?

"Dia terlihat begitu berkelas sedangkan kau tidak," jawab Gabriel terkekeh, "dia terlihat seperti seorang sugar daddy," lanjutnya pelan.

"Hay yang kau katakan sugar daddy itu adalah papiku," Feli melotot tidak terima, "dan apa maksudmu? Aku sugar baby begitu?" Feli menggelengkan kepala.

"Aku hanya mengatakan penilaianku, aku rasa orang-orang juga akan memberikan penilaian yang sama,"

"Ya nilailah sesukamu,"

"Apa pekerjaan papimu Fel?" tanya Gabriel penasaran, dia yakin yang disebut papi oleh Feli bukanlah orang sembarangan, bahkan hanya dilihat sepintas rasanya dia tidak percaya dengan apa yang Feli katakan.

"Heh kau banyak bertanya Briel, aku ke toilet dulu," ucap Feli segera beranjak menuju toilet malas membahas hal itu.

"Ish aku curiga kau berbohong," gumam Gabriel menatap punggung Feli.

**

Beberapa saat kemudian di depan toilet dua orang baru saja keluar dari sisi yang berbeda tanpa memperhatikan apa yang ada di depan mereka.

"Auch," keluh Feli sembari memegang tangannya yang tidak sengajah tersenggol seorang pria.

"Maaf," ucap Alther yang merasa bersalah.

Keduanya saling menatap dengan sedikit keterkejutan. Feli menghelah nafas kesal, kali ini dia ingat dengan pria didepannya, pria yang ada di lobby hotel beberapa hari yang lalu dan bersikap seolah mengenalnya. Berbeda dengan Alther yang tersenyum senang penuh makna.

"Permisi, jangan menghalangi jalan," ucap Feli seraya melangkah tetapi Alther segera menahan tangannya dan bergumam, "kebetulan ini terjadi begitu cepat, mungkin takdir memang sudah menjodohkan kita."

...🍓🍓🍓🍓🍓...