Berawal dari pekerjaan sebagai 'suami bayaran' Devan akhirnya terjebak dalam sebuah kisah cinta rumit diantara kaka beradik, Bellinda Halley dan Clarissa Halley.
Pada siapa akhirnya Devan melabuhkan hatinya?
Baca juga side story dari karya ini:
"Bidadari untuk Theo" yang merupakan kisah dari Theo Rainer, sepupu sekaligus asisten dari Bellinda Halley.
"Oh, My Bee" yang merupakan kisah dari Nick Kyler, mantan calon tunangan Bellinda Halley yang mempunyai penyakit alergi pada wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bundew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DOBEL SIALAN
"Bagaimana denganmu, Nona Bellinda? Kau tidak ingin membagi kisah hidupmu?" Tanya Devan yang akhirnya memecah keheningan diantara dirinya dan Bellinda.
"Untuk apa aku membaginya denganmu? Aku rasa kau tidak akan tertarik," sahut Bellinda seraya memejamkan matanya. Namun gadis itu masih belum mengubah posisinya dan masih menghadap ke arah Devan.
"Kau pernah punya pacar?" Tanya Devan menatap serius pada Bellinda yang masih memejamkan matanya.
"Apa aku harus menjawabnya?" Bellinda malah balik bertanya.
"Aku sudah menceritakan semua tentang kisah hidupku, bisakah sekarang gantian kau yang bercerita tentang kisah hidupmu?" Pinta Devan mencari celah.
"Apa itu sebuah pertanyaan atau sebuah perintah?" Bellinda kembali membuka matanya dan nona direktur itu langsung mendapati Devan yang masih menatap lekat ke arahnya.
Devan kembali menumpukan kedua tangannya untuk menyangga kepala.
"Terserah bagaimana kau mengartikannya," jawab Devan santai.
"Aku tidak pernah punya pacar. Kau puas sekarang?" Jawab Bellinda dengan nada ketus.
"Mustahil!" Gumam Devan tak percaya.
"Lihat! Kau saja tidak percaya dengan jawabanku. Jadi untuk apa aku membagi kisah hidupku padamu? Membuang-buang waktu saja!" Sergah Bellinda merasa kesal.
Devan terkekeh,
"Kau wanita yang sempurna, Bellinda. Bagaimana mungkin kau tidak pernah punya pacar?"
"Karena aku sudah lupa bagaimana caranya hidup bahagia!" Jawab Bellinda cepat sebelum raut kesedihan itu hinggap di wajahnya.
"Kau masih saja berkubang dalam kesedihan hingga kau lupa bagaimana caranya hidup bahagia. Dan sekarang kau menjadi wanita ambisius dan gila kerja!"
Kata-kata Clarissa dua tahun lalu mendadak berkelebat di benak Bellinda. Mata Bellinda terasa panas sekarang. Nona direktur itu dengan cepat berbalik dan memunggungi Devan.
Bellinda menghapus dengan kasar airmata yang mendadak mengalir di kedua pipinya.
"Maaf jika pertanyaanku menyinggungmu, Bell!" Ucap Devan merasa bersalah.
Tidak ada jawaban.
Bellinda masih membisu.
"Aku akan tidur sekarang. Selamat malam, Bellinda," ucap Devan lagi seraya berbalik dan juga memunggungi Bellinda.
Kini dua orang yang sebenarnya berstatus sebagai suami istri itu saling memunggungi.
Devan mencoba untuk memejamkan matanya meskipun rasa kantuknya sudah menguap pergi sedari tadi. Devan merasa kalau Bellinda tengah menangis di belakangnya sekarang. Namun Devan tidak berani menerka-nerka apalagi bertanya langsung.
Ah, andai Devan bisa merengkuh nona direktur itu ke dalam pelukannya. Namun sekali lagi, Devan sadar siapa dirinya. Devan tidak memiliki hak apapun untuk menyentuh nona Bellinda karena dirinya hanyalah seorang suami bayaran.
****
Devan mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum benar-benar terjaga. Pemandangan di depan Devan terasa asing dan berbeda dari yang setiap pagi Devan lihat. Devan berusaha mengumpulkan kesadaran dan mengingat-ingat apa yang terjadi semalam sebelum dirinya tidur.
"Oh, Astaga!" Devan langsung bangun dan duduk di atas ranjang. Kini Devan sudah ingat, kalau dirinya tidur di kamar Bellinda tadi malam.
Devan mengedarkan pandangannya berkeliling kamar untuk mencari satu sosok pemilik kamar ini.
Tidak ada!
Bellinda sudah tidak ada di kamar.
"Apa nona direktur itu sudah pergi ke kantor?" Devan bertanya pada dirinya sendiri. Pria itu melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul delapan lebih.
Tepat sekali!
Devan kesiangan dan nona Bellinda sudah pergi ke kantor. Devan juga yakin kalau paman Owen dan Theo pastilah sudah pergi ke bandara kota sekarang. Kenapa tidak ada satupun orang di apartemen ini yang membangunkan Devan?
Devan segera beranjak dan menyelinap keluar dari kamar Bellinda. Suasana apartemen sudah sepi. Devan berjalan cepat menuju ke arah kamarnya yang tadi malam di pake paman Owen beristirahat.
Sudah kosong.
Devan segera masuk ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Mungkin sebaiknya Devan menghubungi Theo setelah ini dan bertanya apa nona Bellinda masih marah pagi ini.
Tapi ngomong-ngomong, dimana ponsel Devan?
Sambil mengusap wajahnya dengan air dingin, Devan mengingat-ingat keberadaan ponselnya. Tadi malam Devan membawanya ke kamar Bellinda. Lalu meletakkannya di atas nakas.
Masih disana berarti, dan Devan lupa membawanya.
Cepat-cepat Devan menyeka wajahnya dengan handuk dan kembali keluar dari kamar. Pria itu kembali masuk ke kamar Bellinda, dan mencari ponselnya di atas nakas.
Ketemu!
Bergegas Devan mengambilnya dan hendak keluar dari kamar. Namun suara pintu kamar mandi yang terbuka, membuat Devan menoleh dengan polosnya hingga matanya menangkap pemandangan itu.
Nona Bellinda dengan santainya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang membelit tubuhnya.
Sial!
Devan segera memalingkan wajahnya dan menyelinap keluar sebelum Bellinda menyadari kehadirannya.
Bayangan tubuh nona Bellinda yang hanya terbalut handuk terus saja menari-nari di benak Devan.
Sial! Sial! Sial!
Devan duduk di sofa ruang tengah dan menarik nafas dalam-dalam berusaha mengusir pikiran kotor dari otaknya. Netranya kembali mengarah ke pintu kamar Bellinda, membayangkan dirinya merangsek masuk dan menerjang nona direktur itu.
Ouh, sial!
Ini benar-benar tidak membantu!
Devan beranjak dari duduknya dan masuk ke kamar dengan cepat. Devan benar-benar butuh mandi air dingin sekarang.
****
Hampir tiga puluh menit Devan menghabiskan waktu di kamar mandi untuk mengguyur kepalanya dengan air dingin demi menormalkan hormon sialan yang membuatnya ingin menelanjangi nona direktur itu.
"Dev!" Suara ketukan di pintu membuat Devan terlonjak kaget.
Devan menarik nafas pendek-pendek dan segera membuka pintu kamarnya.
Bellinda yang mengenakan baju terusan warna putih berlengan pendek sedang berdiri di depan pintu kamar Devan.
"Ada apa?" Tanya Devan yang bersembunyi di balik pintu dan hanya melongokkan sedikit kepalanya.
"Kau ke restorant paman Owen hari ini?" Bellinda balik bertanya.
"Ya, tapi mungkin agak siang," jawab Devan cepat.
Bellinda mengangguk.
"Kau tidak ke kantor?" Gantian Devan yang bertanya.
"Tidak!"
"Aku sedikit tidak enak badan. Jadi aku akan di rumah saja," jawab Bellinda sedikit lesu.
Raut kekhawatiran langsung tercetak jelas di wajah Devan. Mendadak kejadian semalam kembali melintas di kepala Devan.
Apa Bellinda sakit karena obrolannya semalam bersama Devan? Apa gadis ini masih memikirkan tentang pertanyaan Devan yang terakhir tadi malam?
"Aku sudah memesan makanan untuk sarapan. Pakai bajumu dan temani aku sarapan!" Perintah Bellinda seraya mengendikkan dagunya ke arah Devan yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk di bagian bawah tubuhnya.
Devan sedikit salah tingkah dan langsung menutup pintu kamar sesaat setelah Bellinda berbalik pergi.
.
.
.
Maaf kalo besok-besok UP nya nggak bisa rutin 3 eps/ hari lagi.
Lagi banyak kegiatan di dunia nyata karena sekolah daring sudah dimulai 😧
Tapi tetap othor usahakan UP 2-3 eps per hari.
Terima kasih yang sudah mampir.
Dukung othor dengan like dan komen di bab ini 👠