Bagaimana jadinya jika seorang penulis malah masuk ke dalam novel buatannya sendiri?
Kenalin, aku Lunar. Penulis apes yang terbangun di dunia fiksi ciptaanku.
Masalahnya... aku bukan jadi protagonis, melainkan Sharon Lux-tokoh antagonis yang dijadwalkan untuk dieksekusi BESOK!
Ogah mati konyol di tangan karakternya
sendiri, aku nekat mengubah takdir: Menghindari Pangeran yang ingin memenggalku, menyelamatkan kakak malaikat yang seharusnya kubunuh, dan entah bagaimana... membuat Sang Eksekutor kejam menjadi pelayan pribadiku.
Namun, ada satu bencana fatal yang kulupakan
Novel ini belum pernah kutamatkan!
Kini aku buta akan masa depan. Di tengah misteri Keluarga Midnight dan kebangkitan Ras Mata Merah yang bergerak di luar kendali penulisnya, aku harus bertahan hidup.
Pokoknya Sharon Lux harus selamat.
Alasannya sederhana: AKU GAK MAU MATI DALAM KEADAAN LAJANG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Lorong kastil Midnight di malam hari terasa berbeda dari siang. Jika siang tadi gelap dan dingin, maka malam ini… bukan hanya gelap. Seolah setiap langkah Sharon dijaga oleh bayangan yang punya mata.
“Kenapa aku melakukan ini?” gumamnya pelan, tapi ia tetap melangkah.
Setelah diskusi di kamar tamu bersama Gilbert, Leon, dan Althea, kepalanya tidak tenang.
Arthur seakan sengaja mengeluarkan potongan informasi lalu menutup pintu rapat—membiarkannya membaca isyarat sendiri dan Sharon benci setengah mati ditinggal dengan tanda tanya.
Ia berhenti di depan pintu besar dengan ukiran bulan sabit. Pintu kamar Arthur Midnight.
Jantungnya berdetak cepat, bukan karena takut… tapi karena ia tahu lelaki itu—bahkan tanpa sepatah kata pun—bisa membuat pikirannya berputar.
“Baik. Bahas sedikit, lalu pergi,” bisiknya menenangkan diri.
Sharon mengetuk sekali.
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi.
Masih tidak ada jawaban.
“…Astaga, jangan bilang dia tidur,” desis Sharon sambil menggigit bibir.
Akhirnya ia mendorong pintu perlahan. Pintu itu terbuka—anehnya, tanpa dikunci.
Kamar itu diselimuti cahaya perak dari lampu kristal kecil. Arthur duduk membelakangi pintu, di meja, membaca sebuah dokumen tebal. Bahunya rileks, seakan ia sudah tahu siapa yang masuk bahkan sebelum pintu bergerak.
“Malam-malam datang ke kamar pria…” suara Arthur terdengar pelan, datar namun sedikit terhibur. “ternyata kau cukup berani, Sharon.”
Sharon mendengus. “Jangan buat pernyataan yang aneh.”
Lalu, sebelum Arthur menyadari apa yang ia lakukan, bibirnya terangkat kecil—sedikit nakal, sedikit menggoda—refleks lama yang biasanya ia gunakan saat bersama Sharon.
“Aku senang kamu datang malam - malam, Sharon.”
Sharon mengabaikan, ia mencondongkan tubuh, menyandarkan punggung ke tiang pintu.
“Daripada itu… tidak apa-apa ‘kan kalau aku masuk?”
Arthur melotot. Mata merah itu menangkap sosok Sharon dari atas ke bawah—lambat, tenang, seperti seseorang yang membaca halaman buku yang ia hafal tapi tetap ingin mengulang.
“Apa kamu mencoba menggodaku? Dasar gadis nakal.”
“Bukan!” seru dia.
“Sebelumnya kau bahkan tidak perlu izin,” jawabnya.
Sharon meringis kecil. “Itu….”
Tentu untuk Sharon yang dulu!
Arthur berdiri dari kursinya. Gerakannya halus dan ringan, seolah udara mematuhi tubuhnya.
“Maka dari itu aku bertanya-tanya,” katanya sambil berjalan mendekat, “kau sebenarnya mau apa datang ke kamarku malam-malam begini?”
Sharon menelan ludah. Harusnya ia tidak gugup. Ia datang untuk bertanya.
Harusnya.
“…Aku ingin melanjutkan percakapan kita tadi,” katanya akhirnya.
“Tentang perjanjian keluarga. Tentang sejarah yang hilang. Dan hubungan Midnight dengan Lux.”
Sharon mengangkat dagunya sedikit. “Kau tahu sesuatu, kan? Dan aku ingin kau jelaskan.”
Lalu Sharon menambahkan sesuatu. “Apa ini ada hubungannya dengan tragedi Nadir bloom di masa lalu?”
Arthur berhenti tepat dua langkah di depannya. Cukup dekat untuk merasakan hawa dingin dari keluarga Midnight.
“Kamu ternyata cukup tahu.”
Sharon menelan ludah. Jadi tembakannya benar, dia sudah merasa aneh dengan peristiwa itu.
Jadi ia harap Arthur akan menjelaskan lebih lanjut…
Tapi yang keluar dari bibir Arthur hanya senyum tipis.
“Kalau aku bocorkan semuanya sekarang…” ia menunduk sedikit, mata merah itu menangkap mata Sharon dengan tajam halus, “…permainannya akan sangat membosankan.”
Sharon mendelik. “Arthur—aku tidak main.”
“Aku tahu.”
Ia menyentuh dagu Sharon pelan—hanya satu detik—lalu menarik tangannya kembali.
“Kau datang ke sini serius. Itu sebabnya aku juga ingin kau menemukan jawabannya dengan cara yang sama.”
“…Apa maksudmu?” Sharon mengkerut, mencoba menjaga wajah tetap stabil meski dadanya dipenuhi rasa kesal bercampur ingin tahu.
Arthur berbalik menuju meja. “Aku akan mempermudah satu hal.”
Ia mengambil sebuah kunci kecil berwarna hitam. “Kau ingin tahu? Maka cari sendiri.”
Kunci itu ia lemparkan perlahan—Sharon menangkapnya otomatis.
“Apa ini?”
“Kunci perpustakaan dalam kastil Midnight,” jawab Arthur ringan. “Hanya bangsawan inti Midnight yang boleh masuk.”
Sharon mematung. “Kau mengizinkanku… memakai perpustakaan pribadi Midnight?”
Arthur menyeringai. “Kalau kau cukup berani membuka pintu kamarku tengah malam, kurasa kau cukup berani membuka satu pintu lagi.”
Sharon meremas kunci itu kuat-kuat. “Jadi kau sengaja menyuruhku mencari sendiri.”
“Aku memberi petunjuk,” ralat Arthur. “Sisa langkahnya padamu.”
Arthur kembali duduk. “Di perpustakaan ada catatan lama. Kamu bisa cari di sekitar rak …” Arthur memegang dagu, mencoba mengingat. “Rak nomer 777 jawabanmu ada di sana, Sharon.”
Ia melirik Sharon, seakan menguji reaksinya.
“rak nomer 777? Baiklah akan kucari!”
Arthur memiringkan kepala sedikit. “Tidak malam ini, Sharon.”
Nada suaranya lembut namun tegas. “Pergilah ke perpustakaan besok pagi. Baca. Analisis. Kemudian baru datang padaku.”
“…Kalau aku tidak menemukan apa pun?”
Arthur tertawa kecil. “Oh, kau pasti menemukannya.”
Mata merahnya menyipit pelan. “Bagian yang dihitamkan paling tebal… coba cari buku yang seperti itu.”
Sharon menggenggam kunci itu lebih kuat. “…Baik. Aku akan cari tahu sendiri.”
Arthur mengangguk tipis. “Bagus. Aku menunggu.”
Sharon berbalik, membuka pintu, lalu sempat menatap Arthur sekali lagi. Lelaki itu masih duduk tenang, seolah ratusan rahasia tidur di bawah kelopak matanya.
“Aku akan kembali setelah aku membaca semuanya,” katanya sebelum pergi.
Arthur tersenyum samar. “Tentu saja. Karena kau… selalu datang kembali padaku.”
Pintu tertutup.Dan Sharon berdiri beberapa detik di lorong gelap, jantungnya berdebar… entah karena takut, marah, atau tertantang.
malah meme gw😭
Sharon sebagai antagonis palsu tuh bukan jahat—dia korban. Dan kita bisa lihat perubahan dia dari bab awal sampai sekarang.
pokonya mantap banget
rekomendasi banget bagi yang suka cerita reinkarnasi
dan villain
semangat thor