Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35: Malam bersama.
Setelah selesai makan malam bersama, mereka memilih duduk di ruang tamu. Lampu gantung berwarna kuning keemasan membuat ruangan terasa hangat, tapi Areum masih terlihat agak kaku berada di antara mereka. Jari-jarinya memainkan ujung sweater, matanya sesekali melirik ke arah Minjoon yang tak henti berusaha mencairkan suasana, melempar candaan ringan. Sementara itu, Yoonjae menempel seperti prangko di sisi Areum, seolah tidak rela memberi jarak satu senti pun.
"Hyung, menjauh lah sedikit, Ara tidak nyaman padamu," ucap Minjoon dengan nada setengah kesal. Yoonjae langsung mendelik, jelas-jelas tidak peduli.
"Biarkan saja… Lagipula manja pada adik sendiri apa salahnya?" katanya santai, bahkan tangannya masih bertengger di sandaran sofa dekat bahu Areum.
"Aku juga adikmu? Tapi kau tidak pernah manja padaku?" Balas Minjoon menghela napas panjang, Yang membuat Yoonjae melirik sekilas, wajahnya datar.
"Kau adik laki-laki. Aku tidak mungkin manja padamu." Balas nya yang membuat Minjoon menoleh pada Jihoon, minta pembelaan, tapi Jihoon hanya menoleh sekilas lalu berdeham kecil.
"Ouh ya, Ara… ada yang ingin aku berikan padamu," ucap Jihoon tiba-tiba, membuat ketiganya langsung menoleh.
Jihoon bangkit, berjalan menuju kamar orang tua mereka. Suara langkahnya terdengar pelan di lantai marmer, dan butuh waktu cukup lama sampai ia kembali dengan sebuah kotak kecil berwarna coklat tua. Kotak itu terlihat sedikit usang, tapi sangat terawat.
"Ini dia… kemarilah," ujarnya lembut.
Areum mendekat dengan langkah ragu. Jihoon membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah kalung sederhana dengan liontin putih berbentuk oval. Senyum tipis terbit di wajah Jihoon saat ia mengalungkan kalung itu ke leher Areum. Gadis itu sontak memegang liontinnya, menatapnya dengan mata sedikit membesar.
"Itu… kalung Eomma?" tanya Minjoon pelan, dan Jihoon mengangguk kecil.
"Dulu Eomma pernah bilang, kalau suatu hari kita menemukan Ara, kalung ini harus kita berikan padanya. Hari ini… aku menepati janji itu." Balas nya yang membuat Yoonjae menatap Areum dengan mata berbinar.
"Itu cantik sekali, Ara-ya." Puji nya yang membuat Areum menggigit bibirnya. Ada rasa hangat sekaligus perih menyelusup. Dia tidak pernah mengenal orang tua kandungnya, tapi kenyataan mereka sudah tiada membuat dadanya terasa sesak.
"Terima kasih…" ucapnya pelan, suaranya sedikit bergetar, Jihoon mencondongkan tubuh, menatap adiknya dalam-dalam.
"Tolong jaga itu untuk kami… bisa?" Tanya nya lembut.
"Aku akan berusaha." Balas nya sembari mengangguk pelan , senyum Jihoon merekah tipis. Tangannya terulur, refleks mengusap lembut kepala Areum. Gerakan itu begitu hangat hingga Areum merasa aneh sendiri—seolah benar-benar kecil lagi dan dilindungi.
"Mari tidur… pagi nanti kita bertemu Eomma dan Appa," ucap Jihoon pelan, meski kalimat itu membuat Areum kembali tertegun.
"Malam ini tidur dengan ku saja," sela Yoonjae cepat, yang membuat Minjoon langsung menoleh tajam.
"Tidak, Hyung. Tidak boleh." Ujar nya.
"Kenapa?" Yoonjae menatapnya tak terima.
"Kita sudah dewasa, i..."
"Kau pikir aku apa? Aku juga tahu diri, tahu siapa yang tidur denganku. Kau pikir aku akan macam-macam pada adikku sendiri?!" Ujar nya sambil bersungut-sungut, Yoonjae meraih kotak tisu di meja dan melemparkannya ke arah Minjoon. Kotak itu jatuh tepat di samping Minjoon, membuat Jihoon terkekeh kecil. Suasana yang semula canggung pun perlahan mencair dengan kehebohan mereka bertiga.
Areum hanya bisa menunduk, menahan senyum samar di bibirnya. Untuk pertama kalinya sejak tahu kebenaran pahit itu, dia merasa… mungkin tidak seburuk itu berada di tengah-tengah mereka.
"Pikiran mu kotor sekali... bukan itu maksudku... kita kan sudah dewasa Ara pasti lebih suka sendiri, iya kan?" Ujar Minjoon sembari menoleh pada Areum meminta persetujuan.
"Aku tidak masalah... apapun itu," ujar Areum yang membuat Yoonjae tersenyum menang merasa di bela.
"Apa-apaan kau tersenyum begitu, Hyung?" Minjoon mendengus kesal melihat Yoonjae yang tampak puas.
"Aku hanya senang akhirnya ada yang memihakku, selama ini aku selalu disalahkan olehmu dan Jihoon Hyung. Sekarang lihat, Ara pun mengerti aku." balas Yoonjae dengan nada sok menang.
"Hei, jangan bawa-bawa Ara untuk membenarkan sikap keras kepalamu," Minjoon langsung menukas, matanya melotot kecil. "Ara itu hanya terlalu baik hati untuk menolak, dasar kau—" lanjut nya yang langsung di potong Yoonjae.
"Dasar apa? Kalau berani bilang saja." potong Yoonjae, menaikkan sebelah alisnya sambil menantang. Jihoon yang duduk di kursinya hanya geleng-geleng kepala, terkekeh pelan.
"Kalian berdua tidak pernah berubah. Dari dulu sampai sekarang, selalu saja seperti anak-anak rebutan mainan." Ujar nya yang membuat keduanya berseru bersamaan.
"Apa?!" seru Minjoon dan Yoonjae hampir bersamaan, lalu saling melirik kesal.
"Hyung, jangan samakan aku dengan dia," ucap Minjoon, menunjuk Yoonjae.
"Benar, aku jelas lebih waras dari Minjoon," balas Yoonjae cepat. Areum yang sejak tadi menunduk akhirnya tak bisa menahan diri. Tawa kecil lolos dari bibirnya, membuat ketiganya serempak menoleh padanya.
"Aku… maaf," katanya buru-buru, wajahnya sedikit memerah. "Tapi kalian benar-benar seperti anak-anak." Lanjut nya yang membuat Jihoon langsung meledak tertawa, sementara Minjoon mengernyit dan Yoonjae ikut tersenyum samar, pura-pura tak terpengaruh. Tapi jauh di dalam, mereka bertiga merasakan hal yang sama: sudah lama sekali tidak ada tawa yang hangat seperti ini di antara mereka.
"Ara.. aku bahkan lebih baik daripada Yoonjae Hyung, dia itu manusia batu.. keras kepala kaku dan tidak mengerti apapun, sedangkan aku pasti sama dengan mu.. aku juga pencinta seni sedangkan mereka berdua, tidak tahu apa itu keindahan" ujar minjoon yang membuat Jihoon dan yoonjae menatap bersamaan.
"Apa katanya?!" Jihoon langsung bersuara lebih keras, pura-pura tersinggung. "Kau bilang aku tidak tahu apa itu keindahan? Minjoon-ah, aku yang bayar arsitek terkenal untuk desain kantor kita. Itu jelas bukti seleraku jauh lebih bagus daripada kau." Ujar nya dengan bangga.
"Arsitek? Itu kan kau bayar orang lain, Hyung. Aku sendiri yang menciptakan sesuatu. Itu bedanya!" balas Minjoon penuh percaya diri, menepuk dadanya.
Areum menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan tawa lagi. Tapi gagal. Tawanya kali ini lebih lepas, membuat suasana makin ringan. Yoonjae mendesah pelan, memasang wajah sok sabar.
"Astaga… dua-duanya sama saja. Tidak ada yang bisa disebut berkelas di sini." Ujar nya.
"Yaa!" Jihoon dan Minjoon serempak memprotes, membuat Areum semakin terpingkal.
"Ara, kau lihat kan? Mereka selalu sepakat kalau melawanku," gumam Yoonjae dengan nada dingin, tapi Areum bisa melihat ujung bibirnya terangkat sedikit. Areum mengusap sudut matanya karena terlalu banyak tertawa.
"Tapi… aku suka melihat kalian seperti ini," ucapnya tulus tanpa sadar.
Ketiganya mendadak terdiam, saling berpandangan, lalu menoleh ke arah Areum bersamaan. Areum buru-buru menunduk lagi, menyadari kalimatnya terlalu jujur.
"Maksudku… suasana ini… hangat." Ujar Areum cepat mengkoreksi. Jihoon tersenyum penuh arti, Minjoon justru tampak malu-malu, dan Yoonjae—meski berusaha menjaga ekspresinya tetap kaku—tak bisa menyembunyikan sorot matanya yang melunak.
"Ouh ya... aku dengar dari Ji-Sung kamu lulusan seni terbaik di universitas mu?" ujar Minjoon yang membuat Areum mengangguk malu.
"Aku memang suka seni, sejak remaja. Terutama seni film atau seni yang menggabungkan keindahan dan kenyataan," ujar Areum canggung.
"Sama berarti seperti Minjoon dan Eomma, kalian sama-sama pecinta seni... Eomma kita dulu pelukis," ujar Jihoon yang membuat Areum terdiam seolah tak percaya.
"Sungguh?" ujar Areum yang membuat ketiga nya mengangguk.
"Nama populernya... Yejinelle," sahut Yoonjae akhirnya, suaranya tenang tapi penuh rasa bangga yang samar. Areum ternganga kecil, mendengar nama yang di sebut, siapa yang tidak kenal Yejinelle pelukis Korea yang sudah terkenal seantero Korea bahkan keluar Korea.
"Yejinelle...? Maksud kalian... pelukis besar yang karyanya pernah dipamerkan di Paris? Yang karyanya Haneul-ui Nunmul (눈물의 하늘 / Air Mata Langit itu sungguh?" Ujar Areum masih terkaget kaget seolah benar benar tak percaya jika pelukis yang di kagumi semua orang termasuk dirinya itu adalah ibu kandungnya, Jihoon tersenyum tipis, matanya melembut.
"Benar. Dia bukan hanya Eomma kita, tapi juga inspirasi terbesar kami. Sayangnya, banyak orang mengenal namanya, tapi sedikit yang tahu cerita di balik lukisannya." Ujar jihoon yang membuat Minjoon ikut menunduk pelan, senyumannya agak getir.
"Eomma selalu bilang… seni adalah bahasa hati. Itu sebabnya aku memilih jalanku di bidang kuliner, karena bagiku, makanan juga bisa jadi seni." Ujar Minjoon yang membuat Areum terdiam, jantungnya berdegup lebih cepat.
"Aku... mengambil jurusan seni. Sejak remaja, aku selalu mencari cara untuk menyampaikan emosi lewat nilai keindahan yang tersembunyi," ujar Areum lirih. Suaranya lembut, tapi cukup untuk membuat ketiganya saling bertukar pandang—ada rasa tak terucap di antara mereka, seperti nostalgia yang tiba-tiba memenuhi udara malam itu. Jihoon menatap Areum lama, sebelum akhirnya berkata pelan.
"Kalau Eomma masih hidup... dia pasti akan sangat menyukaimu." Ujar nya yang di angguki Yoonjae.
Kalimat itu membuat Areum terdiam. Pandangannya kosong, menatap ke arah jendela yang memantulkan cahaya lampu ruang tamu.
"Andai dia masih ada... aku... mungkin akan bangga seperti kalian," ujarnya pelan. Suaranya bergetar, dan sebelum sempat menunduk, Yoonjae sudah merangkulnya dari samping.
"Tidak masalah... yang sudah berlalu, biarkan saja. Sekarang kita hidup di masa depan. Kita masih bisa membuat Eomma dan Appa bangga melihat kita dari surga," ujar Yoonjae lembut, menepuk bahu Areum. Jihoon dan Minjoon mengangguk setuju, menatap adik mereka dengan senyum tipis yang hangat.
Namun, di tengah kehangatan itu, suara dering nyaring ponsel di atas meja memecah suasana. Semua kepala menoleh bersamaan. Nama ‘Eomma’ terpampang jelas di layar.
"Halo... Eomma," ujar Areum pelan begitu panggilan tersambung.