Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Johan kembali dibuat terkejut dengan kehadiran sosok yang dia kenali serta dia hindari. Dia berusaha mungkin untuk menyembunyikan keterkejutannnya.
“Hai, dokter Adit? Apa kabar?” sapa Johan layaknya seseorang yang bertemu dengan kenalan yang akrab dengan dirinya.
“Baik! Ngapain kamu ke sini?”
Bibir Johan mengulas senyum, “tentu mau lihat keponakan saya lah, dok. Memang apalagi tujuan saya ke sini! Bukannya dokter tahu kalau saya adek kandung dari bang Adit. Masa iya, mendengar kematian abang saya, saya gak lihat dan mencari tahu.”
“Oh, ya? Bukannya kamu senang kalau bang Adi telah tiada?” balas dokter Adit dengan bibir menyeringai sinis. Dia majukan kakinya satu langkah ke depan, berhenti tepat di depan Johan. “Saya masih ingat jelas apa yang sudah kamu lakukan terhadap saya. Kira-kira kalau saya kasih tahu Sangkara bagaimana tanggapannya ya?” bisik dokter Adit pelan, namun menusuk ke gendang telinga Johan.
“Kamu, jangan pernah macam-macam sama saya! Mungkin kemaren kamu masih beruntung, tapi selanjutnya keberuntungan tidak lagi berpihak pada kamu!” balas Johan dengan cara berbisik juga.
Semua orang disana tampak bingung dengan interaksi dua laki-laki tersebut. Hingga akhirnya suara opa Herman memisahkan mereka.
“Kalian kenapa? Ada masalah apa? Kalau kalian ada masalah pribadi, silakan selesaikan di luar. Kami di sini bukan untuk melihat kalian bersitegang. Tapi kami ingin melihat cucu kami!” seru Opa Herman dengan suara tegas.
“Cucu??? Siapa yang anda maksud sebagai cucu itu pak? Apakah Dika? Soalnya saya sudah merasa tidak memiliki kakek atau keluarga yang lain!” sela Sangkara. Dia bersandar di lemari tua, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya menatap satu per satu semua orang yang ada di dalam rumahnya saat ini. Dari sekian banyak orang itu, hanya tiga yang dia kenali. Yaitu, Johan, Sarah dan dokter Adit. Selebihnya mereka sangat asing, walau sudah pernah melihat dari foto yang ada di kotak rahasia itu.
“Sangkara, saya kakek kamu. Saya Herman, ayah dari ibu kamu. Mungkin kita gak pernah ketemu, tapi di darah kamu mengalir darah saya.”
“Lantas kenapa kalau di tubuh saya mengalir darah anda? Apakah anda mau darah saya atau bagaimana? Kalau anda memang ayah dari emak saya, mengapa anda tidak mencari emak saya? Padahal anda tahu saat itu emak lagi mengandung saya!”
Opa Herman terdiam, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Sangkara. Bukan tidak bisa menjawab, namun terlalu panjang untuk menceritakan semuanya kepada sang cucu. Hubungan anaknya dan ayahnya Sangkara sangat rumit. Mereka saling mencintai namun banyak pihak yang tidak suka dengan hubungan mereka dahulu.
Seorang laki-laki tua lainnya berdiri. Dari sorot matanya terlihat jelas dia yang paling terlihat terluka dan penuh rasa bersalah. Dia berjalan kearah Sangkara dan menepuk pundaknya pelan.
“Jika kamu ingin menyalahkan, salahkan saya! Karena secara tidak langsung saya yang menyebab ini semuanya. Andai saya tidak pensiun cepat, andai saya tidak berniat menikmati hari tua di kampung halaman saya, andai saya tidak mempercayai semuanya pada ayah kamu. Mungkin semua tidak bakal terjadi. Tapi, ya bagaimana? Hanya Adi, ayah kamu yang dapat saya percaya! Hanya dia yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Bahkan walau dia sudah tidak tinggal di kota, perusahaan tetap berjalan lancar bahkan bertambah besar. Jadi, salahkan saya saja, nak? Jangan mereka!” ucapnya seraya meneteskan air mata penyesalan.
“Jika mau sakiti, sakiti saya saja! Saya ikhlas menerima semuanya!”
Sangkara semakin menatap sinis kearah laki-laki tua yang mengakui sebagai penyebab dari kematian keluarganya.
“Kalau saya sakiti anda, terus pelaku utamanya bagaimana? Mereka bebas dong? Dan secara tidak langsung anda melindungi pelaku?”
Mata laki-laki tua yang bernama Saputra terbelalak, “tidak! Bukan itu maksud saya? Jika masalah pelaku, itu bisa urusan kepolisian. Saya hanya tidak mau, jika kamu menyalahkan mereka semua.”
“Sudah ya pak, kakek, datuk, opa, grandfa atau apalah panggilan yang harus saya sematkan pada anda. Sekarang saya sangat sibuk, saya harus menyelidiki kematian keluarga saya. Agar pelaku atau dalang dari semuanya bisa langsung saya tangkap,” ujar Sangkara dengan mata terus tertuju pada Johan dan Sarah.
“Dan maaf, bukannya saya mengusir. Saya hanya belum bisa sepenuhnya percaya sama kalian semua. Jika kalian mau istirahat, jangan di sini. Silakan ke rumah dinas dokter Adit. Bukannya dia juga adeknya ibu saya. Jadi, kalian gak keberatan kan?” tambah Sangkara.
“Kamu mau kemana, Kara?”
“Saya mau ke rumah sakit. Hasil autopsi emak, abah dan Rara sudah keluar om.”
“Mau oom temani?”
Kepala Sangakara mengeleng tegas, “oom urus saja mereka semua. Kalau mereka masih tetap di rumah aku, bagaimana aku bisa pergi?”
Semua orang yang ada di sana menghela napas pelan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka memaklumi sikap Sangkara yang seperti itu. Dan berharap nanti hati Sangkara melunak dan bisa menerima mereka semua.
Saat mereka keluar dari rumah Sangkara, sebuah mobil mewah kembali berhenti tidak jauh dari rumah Sangkara. Dari mobil tersebut, keluar seorang laki-laki berusia 30 tahunan. Dia keluar dengan menggunakan kacamata hitam dengan mulut terus berkomat-kamit tidak jelas.
“Kara, lo gila! Benar-benar gila! Lo minta gue datang ke sini, sedangkan jalannya… Iwuueh, rusak paraaah!!!” serunya menunjuk luruh kearah Sangkara. “Lo lihat ini, mobil kesayang gue jadi aaah… Gak bisa gue jelasin! Pokoknya lo harus tanggung jawab!” sambungnya dengan wajah kesal.
Dia yang berniat hendak kembali mengomel, langsung terdiam ketika melihat banyak orang yang tengah menatapnya.
“Mereka siapa? Keluarga lo? Eh, gak mungkin ya? Kan keluarga lo udah mati semua? Mereka wartawan atau orang-orang yang mencari keberuntungan di setiap masalah lo!” cerca laki-laki itu kepada Sangkara.
Sangkara yang masih berdiri di depan pintu, kembali masuk dan menutup semua akses masuk ke dalam rumahnya.
“Ikut aku, Dik!” perintah Sangkara yang langsung diangguki oleh Dika.
“Ayoo, bang! Lama lo di sini, telinga gue bisa budek!” tarik Sangkara pada laki-laki yang baru tiba itu. Dia adalah Ello, kakak angkat Sangkara sekaligus orang kepercayaan dari daddy.
“Kara!”
“Om, aku pergi! Tolong urus mereka semua!” sahut Sangkara. Dia duduk di balik kemudi, dengan kemampuan tersimpannya. Dia dengan mudah memutar mobil di jalan yang sempit dan rusak itu.
“Hancuuur mobil gue!” seru Ello pasrah.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
“Dia siapa?” tanya Johan pensaran dengan laki-laki yang baru tiba lalu pergi lagi itu.
“Buat apa kamu tahu? Bukan urusan kamu juga?” sahut dokter Adit cepat. “Ma, pa, om, tante! Ayoo, ke rumah aku dulu! Aku ceritakan semuanya yang aku tahu tentang Sangkara dan juga bang Adi serta kak Naya dan Rara!”
“Hmm… Pa, ma, kayaknya aku dan Sarah gak bisa lama. Soalnya mau persiapan meeting bulan depan. Jadi, aku dan Sarah pulang duluan ya?” pamit Johan. Dia enggan berlama-lamaan di desa itu. Ada ketakutan dan kegelisahan yang terus menghantui hatinya.
Jawaban dari Saputra, ayah dari mereka. Membuat Johan terdiam dan terkejut.
“Gak bisa gitu dong, pa? Ka…”
“Apa yang tidak bisa Sarah? Sesuai dengan surat kuasa papa, jika Adi tiada. Maka penerusnya yang meneruskan. Jika penerusnya belum siap, maka papa yang akan turun tangan kembali. Jadi, bulan depan tidak ada meeting-meeting. Paham??” potongnya cepat. Lalu berjalan menyusul istri dan besannya.
Sementara itu, mata Johan dan Sara mengkilat. Mereka tidak terima dengan keputusan papanya itu.
“Kita salah bunuh orang bang!!!” desis Sarah dengan tangan mengepal erat.
Semangat untuk authornya... 💪💪