Demi keselamatan jiwanya dari ancaman, Kirana sang balerina terpaksa dijaga oleh bodyguard. Awal-awal merasa risih, tetapi lama-lama ada yang membuatnya berseri.
Bagaimana kalau dia jatuh cinta pada bodyguardnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kujo monku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 : Ujian Sebelum Pernikahan
Cobaan atau ujian menjelang pernikahan itu nyata adanya. Bukan cuma bualan untuk menakut-nakuti saja atau hanya sekedar mitos. Akan tetapi , ujian sebelum pernikahan itu memang nyata. Bahkan, Kirana dan Davis yang saling mencintai pun juga tidak bisa terhindar dari ujian tersebut.
Davis mengalami mental break down, saat membayangkan kehidupan berumah tangga bersama Kirana. Apakah dia yakin bisa menjadi suami yang baik untuk Kirana? Apakah masa lalunya yang nakal akan diikuti keturunannya?
Di sisi lain, Kirana lebih posesif dibanding biasanya. Apalagi mereka terpisah jarak yang lumayan jauh. Membuat Kirana sering ngambek, jika Davis telat memberinya kabar.
H-14,
Davis berada di Jakarta, sedang makan siang di kafe bersama Glen. Dua bujang itu baru saja membahas proyek mereka bersama. Sekalian, Davis meminta Glen menemaninya untuk berbelanja seserahan yang akan dia berikan untuk Kirana. Sebagai sepupu bak kembaran, Glen pasti tahu selera Kirana.
"Jadi, Kirana belum nyebutin maharnya apa?" tanya Glen pada Davis. Keduanya sedang makan siang di Lunar Resto yang ada di mall mewah di pusat kota Jakarta.
"Kata dia terserah," jawab Davis yang terlihat datar, tetapi dalam hatinya sudah difase kebingungan.
Terserah? Hey, yang benar saja. Bukankah, mahar itu yang menyebutkan apa dan berapa nilainya adalah pihak perempuan?
"Terserah? Dasar wanita," ledek Glen.
"Lo tau kan, gue gak bisa kalau dia udah jawab terserah. Gue kasih mahar pulau ntar dibilang pemborosan. Serba salah gue," curhat Davis.
Glen tertawa. Dia tahu Davis pasti bercanda saat akan memberi mahar sebuah pulau untuk Kirana. Dia membayangkan wajah Kirana saat mengomel pada Davis. Dia paham yang sedang dialami oleh sahabatnya itu.
Kirana dan dirinya hidup tidak pernah kekurangan apapun. Baik kasih sayang, maupun materiil. Davis pasti bingung mau memberi mahar apa ke Kirana.
"Tanyakan saja ke Tante Elena,"
"Sudah sama aja yah, beliau bilang, terserah saja. Gue kayaknya beneran kasih pulau aja lah. Pusing gue,"
Satu irisan kecil daging empal yang diiris Davis, masuk ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, dia memikirkan apa yang harus dia berikan pada calon istrinya itu.
"Ya yang umum-umum aja lah kalau gitu. Pulau boleh juga," canda Glen.
"Beneran gak masalah kan kalau gue kasih pulau," balas Davis yang terlihat lebih berbinar.
Glen yang sedang menyendok kuah soto Betawinya, terhenti sejenak. Dia terkejut saat Davis serius akan memberi mahar sebuah pulau ke Kirana. Davis serius atau bercanda?
"Lo serius?" tanya Glen.
"Seriuslah. Makanya gue bingung kalau nanti Kirana ngomel. Tapi kan, dia dan orang tuanya jawabnya terserah gue," jawab Davis dengan entengnya.
Mulut Glen sudah menganga lebar. Tidak menyangka jika Davis serius. Eh, pulau yang mana nih?
"Pulau sebelah mana? Kok lo bisa kepikiran ngasih pulau?" tanya Glen penasaran.
Davis menyelesaikan mengusap bibirnya dengan tisu sebelum menjawab pertanyaan Glen. Dia baru saja menghabiskan satu set menu makan siang yang dia pesan.
"Gue gak mau ngasih mahar Kirana yang biasa-biasa aja. Dia itu spesial, jadi gue juga harus menghargai dan memberikan hal yang luar biasa buat bini gue," jawabnya.
Glen semakin tidak habis pikir dengan ide Davis yang sangat jauh dari nalar manusia biasa. Apakah Davis sudah terserang virus bucin yang langka?
"Trus jawab tuh pertanyaan gue yang satunya," desak Glen.
"Yang mana?"
"Yang pulau sebelah mana?"
"Oh, di pulau luar Kepulauan Seribu. Gue baru beli. Bukan sengaja beli, cuma ada relasi yang lagi butuh uang dan gue suka. Ya, gue ambil aja. Soalnya pulaunya kosong dan pasirnya agak merah muda. Gue langsung kepikiran Kirana. Dia kan suka warna pink,"
Glen tampak memikirkan sesuatu.
"Pulau luar Jakarta, Pulau Sebira? Bukannya itu ada penduduknya?" tanya Glen. Ternyata dia sedang memetakan wilayah geografis Kepulauan Seribu di dalam kepalanya.
Davis menggelengkan kepalanya.
"Bukan. Ada kok pulau kecil deket pulau Sebira, cuma pulau itu dari dulu milik pribadi keluarga mantan jenderal yang jaya pada masanya. Trus udah turun ke ahli waris generasi ketiga. Hidup sebagai keluarga mantan jenderal bikin mereka lupa diri. Makanya butuh duit cepet buat balikin finansial keluarga besar mereka,"
"Kok jual ke elo?" tanya Glen kembali yang masih penasaran.
"Hmmmm– karena doi curhat ke gue dan gue langsung klik ama tuh pulau. Ya gue ngajuin diri aja buat jadi pembelinya. Dia cocok sama harga yang gue kasih, langsung pengacara gue jalan buat periksa kelegalan surat-suratnya,"
Glen pun paham. Dia pun mendukung apa pun yang Davis akan berikan ke Kirana. Dia tahu apapun itu pasti yang terbaik untuk sepupunya.
Beberapa jam kemudian, Davis sampai juga di rumahnya. Dia pun merasa lelah seharian berada di luar. Bertemu banyak orang membuat energinya habis.
Air dingin yang keluar dari shower menyegarkan kepala dan tubuh polosnya. Aroma sabun yang membalut kulitnya, membuatnya lebih tenang. Hingga dia pun menyelesaikan aktifitas mandinya dan keluar dengan lilitan handuk di pinggang.
Saat keluar dari kamar mandi ternyata ponselnya terus berbunyi. Dia memang kehabisan batrei dan baru bisa ngecas saat pulang.
Kirana is calling .......
Davis langsung menekan ikon hijau di layar. Suara Kirana langsung menyambar sebelum dia mengucapkan salam pada calon istrinya itu.
[KAMU KEMANA AJA SIH? KENAPA DARI TADI GAK AKTIF? KAMU KENAPA SIH NYUEKIN KAU?]
Davis mengerjapkan matanya. Dia masih mencerna kata-kata tanya dari Kirana.
"Maaf, Sayang. Hapeku mati dan aku lupa bawa charger," jawab Davis dengan lembut.
[Kamu gak bohong kan?]
"Gak ada yang bohong, Sayang. Kau benar-benar lupa bawa. Aku seharian pergi sama Glen. Kalau kamu tidak percaya, tanya saja Glen,"
Davis mencoba bersabar dan tetap tenang. Dia sedang lelah dan Kirana yang seperti ini, membuat emosinya agak tersenggol.
[Kamu lebih betah jalan sama Glen ya? Harusnya kan kamu jalannya sama aku, bukan sama dia. Kamu tega sama aku! Kamu gak sayang lagi sama aku!]
Davis rasanya gregetan. Pengen sekali dirinya terbang ke Jogja sekarang dan mengurung Kirana malam ini. Kalau bisa dia akan menikahi calon istrinya yang rewel itu besok saja. Tidak usah menunggu dua minggu lagi. Dia kesal kalau Kirana berkata demikian.
Davis memilih duduk di tepian kasurnya. Dia mencoba untuk rileks agar tidak terpancing emosi.
"Hah, kamu kenapa bilang kayak gitu? Kurang bukti cinta dari aku? Aku harus gimana kalau gitu? Coba katakan!" tegas Davis.
Hening dari ujung sana. Sepertinya, Kirana sedang merenung.
"Sayang, jujur saja. Aku sekarang sedang berusaha memantaskan diri untuk menjadi suami kamu. Aku sedang fokus menyiapkan semua, termasuk kenyamanan dan masa depan kita,"
[Mas–]
"Aku tahu, aku hanya pria biasa, Sayang. Pria tidak sempurna yang dengan berani mencintai wanita sempurna seperti kamu."
Mulai terdengar suara isakan di ujung sana. Kirana pasti sedang menangis, pikir Davis. Pria itu jadi merasa semakin bersalah.
[Mas, maafin aku. A– aku gak bermaksud bikin kamu down. Aku cuma kangen kamu.]
"Kau juga kangen, Sayang. Mas yang salah sudah ngomong gak jelas ke kamu. Maafin aku ya,"
[Kita sama-sama kangen jadi kayak gini, Mas.]
"Iya, Sayang."
Begitulah adanya. Hal sepele pun bisa menjadi boomerang dalam suatu hubungan. Apalagi mendekati hari pernikahan, ada saja ujian yang harus mereka hadapi untuk mempersiapkan mental keduanya dalam berumah tangga nanti.
...****************...