Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji yang sia-sia
"Mas Leon!" seru Leona langsung beranjak untuk memeluk pria yang baru saja menginjakkan kakinya di rooftop terrace. Pria dengan setelan jas berwarna abu gelap dan sedikit garis vertikal.
Pria itu lantas menyambut pelukan hangat wanita yang sangat berarti dalam hidupnya. Bahkan kehangatan itu di saksikan oleh Naren dan beberapa orang yang berada di tempat yang sama.
Bagaimana Leona diperlakukan sebaik mungkin membuat mereka yakin bahwa harta sesungguhnya Alexander Group adalah Leona. Kini pertanyaan dibenak Naren pun terjawab. Pertanyaan di mana ia merasa keluarga Leona berlebihan menghamburkan uang untuk mengawal Leona.
Padahal ini negara hukum, kejahatan tidak akan merajalela.
"Kenapa mas Leon datang tanpa mengabari lebih dulu?" Masih dengan nada manjanya, berbeda ketika bersama teman-temannya di mana ia tampak dewasa.
"Apakah pengawal barumu lalai menjagamu sampai tenggelam, hm?"
"Nggak." Leona mengelengkan kepalanya cepat. "Mereka menjagaku dengan baik, tapi kan yang nggak bisa berenang aku. Yang ngotot ke pantai aku."
"Ngeles ya kamu." Leon menjawil hidung mancung Leona.
Leon sendiri adalah saudara kembar Leona. Dia adalah CEO kantor keamanan sehingga tahu betul apa yang terjadi pada adik kesayangannya. Itulah mengapa sengaja mampir untuk mengecek situasi.
Dari interaksi hangat itu, ada dua wanita yang terpanah akan ketampanan Leon. Dia adalah Nadira dan Arina. Mulut mereka sampai terbuka saking kagumnya.
"Ternyatan keturunan Alexander nggak ada yang gagal," gumam Arina.
"Tapi nggak harus mangap juga kali." Shanaya membekap mulut Arina.
...
Tidak terasa liburan telah usai, kehidupan Naren pun tidak jauh-jauh dari Leona dan anak-anaknya. Meski begitu Naren hampir tidak pernah bertegur sapa dengan Leona setelah apa yang terjadi di Vila. Kedatangan Leon waktu itu hampir menghilangkan pekerjaan Naren, beruntung Shanaya bersaksi untuknya sehingga ia masih diberi kesempatan.
Jika Naren mendapatkan sift malam, pria itu akan terjaga di depan pintu apartemen. Kadang Leona berbaik hati memberikan makanan atau mengajak masuk, tetapi Naren menolak demi keselamatannya sendiri.
Jam enam pagi, Naren bersiap-siap pulang, apalagi William telah datang untuk menggantinya.
"Nona Leona ada jadwal ke museum hari ini," ujar Naren memberitahukan. "Sekitar jam 9 pagi, jika nona Leona nggak keluar, tekan belnya ...."
"Iya Ren aku tahu. Sudah kayak suami saja kamu ini," celetuk William.
"Maklum terbiasa." Naren mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Pria itu segera meninggalkan gedung apartemen dan menuju rumah ibunya. Membawa beberapa buah tangan, seperti sarapan untuk anak-anak yang pasti belum makan.
Rasa mengantuknya hilang mendapati anak-anaknya di ruang tamu dan sedang bersiap ke sekolah. Sudut bibir Naren tertarik membentuk setengah lingkaran kala Naresa dan Darian berlari untuk memeluknya.
"Naresa bangga punya ayah," ucap Naresa secara tiba-tiba."
"Dalian juga."
"Ayah juga bangga punya kalian." Naren berlutut, mengecup kedua mata anak-anaknya penuh kasih sayang.
Tidak masalah untuknya banting tulang jika setiap pulang anak-anak menyambutnya antusias. Mereka sehat dan tidak bersedih. Peran anak-anaknya mampu membuat Naren lupa akan rasa sakit pengkhianatan Nadira.
Anehnya, hal yang Naren takutkan tidak terjadi. Ketiga anaknya tidak ada yang mempertanyakan sang istri, padahal hampir satu bulan mereka tidak bertemu dan bertukar kabar satu sama lain.
"Naren coba lihat siapa yang ibu gendong," ujar ibu Naren.
"Cantik banget putri ayah." Naren segera mengambil alih Seren dari gendongan ibunya. Balita satu tahun lebih itu tampak cantik dengan pakaian karakter panda.
"Putri ayah mau kemana hm pagi-pagi?" tanya Naren menciumi pipi Seren berulang kali.
"Mau jalan-jalan sama kakek setelah mengantar kakaknya ke sekolah."
"Kalau begitu ibuk langsung pergi saja dengan ayah. Biar Naren mengantar Darian dan Naresa ke sekolah."
"Lebih baik kamu tidur saja. Nanti malam sift lagi," celetuk ayahnya.
"Setelah mengantar mereka ke sekolah." Naren tersenyum hangat.
Beruntungnya dia masih mempunyai orang tua yang begitu menyayangi anak-anaknya. Padahal dulu Naren tidak mendengarkan mereka, bahkan menikah tanpa restu orang tuanya
Sejauh apapun pergi, sejahat apapun seorang anak. Orang tua tidak pernah membencinya. Selalu menerima anak-anaknya dengan tangan terbuka meski di sakiti berulang kali.
Untuk menyegarkan diri, Naren terlebih dahulu mandi sebelum mengantar anak-anaknya ke sekolah seperti biasa. Banyak cerita random yang ia dengar dari Darian dan Naresa. Bahkan saking semangatnya mereka berlomba-lomba.
"Satu-satu, kakak dan adek harus belajar untuk bersabar. Ketika ada orang yang berbicara, adek atau kakak harus diam dulu meski memiliki pendapat atau saran. Nanti setelah dipersilahkan baru deh bicara," ujar Naren sembari menyetir.
"Kenapa ayah?" tanya Darian.
"Kalau nggak bicara sekarang nanti Naresa lupa," celetuk Naresa.
"Karena bicara saat orang lain bicara adalah tindakan nggak sopan. Orang lain akan merasa risih."
"Begitu ya ayah?"
"Iya sayang."
Pembicaraan selesai tepat ketika Naren menghentikan mobilnya dan mengantar anak-anak sampai di pintu gerbang. Apalagi sekolah Naresa dan Darian berseblahan sehingga tidak memakan waktu.
Setelahnya Naren berecana untuk pulang, dia sangat mengantuk sebab tidak tidur semalaman demi berjaga di depan pintu. Namun, di perjalanan ia tidak sengaja melihat mantan istrinya bertengkar dengan seorang pria yang ia kenal sebagai selingkuhan Nadira.
Awalnya dia ingin mengacuhkan, tetapi melihat bagaimana Rafka mendorong Nadira dan hampir terjatuh, Naren tidak bisa menahan diri. Pria itu menghentikan mobilnya dan menghampiri mereka berdua.
Andai selangkah saja Naren terlambat, Nadira sudah terjatuh ke rerumputan.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Naren.
"Apa sih mas, nggak usah sok baik!"
Naren terkesiap ketika tangannya dihempaskan begitu saja, padahal dia hanya berniat menolong.
Wanita itu mengejar Rafka yang berjalan menjauh padahal ada Naren yang sigap menolong jika terjatuh.
"Nggak bisa begini Rafka, kamu sudah berjanji untuk menikahiku!"
Samar-samar Naren masih mendengar pertengkaran Nadira dan Rafka.
"Aku memang berjanji, tapi aku nggak pernah berjanji untuk menepatinya. Memangnya siapa yang mau menikahi wanita murahan sepertimu?"
"Rafka!"
"Berbaliklah, di sana ada suamimu. Mungkin saja dia masih bersedia menerimamu."
Naren senyum simpul mendengar ucapan Rafka dari kejauhan. Sebelum Nadira sempat berbalik, Naren masuk ke mobilnya. Secinta apapun dirinya pada Nadira, dia tidak bodoh sehingga harus dijadikan pilihan di saat terpuruk.
Dia selalu mengusahakan yang terbaik, bukankah layak untuknya mendapatkan seseorang yang menghargai upayanya? Bukan dia yang seenaknya pergi dan menyakiti lalu kembali membawa maaf dan berharap di terima lagi dengan alasan masih cinta.
Naren melajukan mobilnya, melewati mobil Rafka di mana masih terlibat perdebatan dengan Nadira.
Naren, lihat siapa yang ada di toko aku
Sebuah pesan berserta foto masuk ke ponsel Naren, pria itu tersenyum melihat wajah mengemaskan putrinya di gendongan sang ibu. Di samping ibunya ada wanita cantik yang sedang tersenyum.
.
.
.
.
.
Kira-kira siapa wanita itu?
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren