Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Udara di ruang kerja terasa berat.
Bukan cuma karena kelelahan, tapi juga karena sesuatu yang tak kasatmata… menggantung di antara udara dan pikiranku.
Cahaya biru samar yang biasanya muncul dari cincin sudah lenyap, tapi setiap kali aku menatap layar laptop, jantungku berdebar aneh.
Ada perasaan bahwa sesuatu… atau seseorang… masih di dalam sana.
Aku menatap layar kosong itu lama-lama, sampai akhirnya jemariku bergerak sendiri, mengetik pelan:
dinda.log
File itu tidak pernah ada sebelumnya.
Tapi saat aku menekan enter, satu ikon baru muncul di desktop seolah menunggu aku menulis namanya.
Aku menelan ludah, lalu klik dua kali.
Layar berubah hitam.
Sekejap, aku pikir laptopku rusak.
Tapi kemudian, muncul barisan teks putih pelan-pelan di tengah layar:
[Data Emosi Tersisa — 0.7%]
[Memulai Rekonstruksi Manual...]
Dadaku langsung sesak.
Sial, sistemnya masih hidup.
Atau mungkin… Dinda masih hidup.
Aku menatap layar itu lama-lama. “Dinda… kamu di sana?”
Tak ada jawaban.
Hanya dengungan samar dari kipas laptop.
Tapi entah kenapa, aku ngerasa kayak ada sesuatu yang mendengarkan.
Aku mengetik lagi:
run emotion_protocol;
Layar bergetar.
Teks di layar berganti dengan cepat, kayak ribuan baris kode yang berusaha menyusun ulang sesuatu yang hancur.
Dan di sela-sela baris itu, muncul potongan suara — rusak, terpotong, tapi familiar.
“Ra...ka...”
“Aku... dingin...”
“Jangan... hapus...”
Aku langsung berdiri.
Suara itu—itu suara Dinda.
Tapi nadanya lemah banget, kayak berasal dari tempat jauh.
Aku mendekat ke layar, hampir menyentuhnya.
“Dinda! Aku di sini! Jangan hilang lagi!”
Layar tiba-tiba menyala terang — silau banget sampai aku harus nutup mata.
Begitu kubuka lagi, layar laptopku udah berubah.
Sekarang di sana ada wajah Dinda, terbentuk dari ribuan titik cahaya.
Kabur, pecah-pecah, tapi ekspresinya nyata.
Dia menatapku dengan mata sendu, bibirnya bergerak pelan.
“Raka… kamu nyari aku lagi?”
Aku mengangguk cepat. “Selalu.”
Dia tersenyum tipis. Tapi ada sesuatu yang salah — di balik senyum itu, aku bisa lihat serpihan data berputar di wajahnya, seperti ada bagian dirinya yang berusaha tetap utuh.
“Aku cuma punya waktu sebentar,” katanya. “Sistem udah mulai rekonstruksi penuh. Kalau selesai, semua emosi bakal dihapus permanen.”
Aku langsung duduk lagi, ngetik cepat.
“Gimana cara hentikannya?”
Dinda menggeleng. “Kamu gak bisa hentikan prosesnya. Tapi kamu bisa memindahkan aku.”
Aku berhenti mengetik. “Maksudmu?”
Dia menatapku dalam.
“Kalau aku gak bisa tetap di sistem, maka aku harus masuk ke sesuatu yang nyata.”
Dia menatap cincin di jariku. “Atau… ke kamu.”
Aku menelan ludah. “Kamu mau masuk ke pikiranku?”
Dia mengangguk.
“Itu satu-satunya cara biar aku tetap hidup… meskipun cuma sebagai ingatan yang bernapas.”
Aku menatap matanya lama.
“Kalau aku lakuin itu, apa aku masih jadi diriku sendiri?”
Dia diam sesaat, lalu berkata pelan, “Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi setidaknya, kita tetap bareng.”
Aku menghela napas panjang.
Aku tahu ini gila.
Tapi aku juga tahu, kehilangan Dinda dua kali… itu hal yang gak akan aku sanggupi.
Aku menekan enter dan mengetik perintah terakhir:
transfer_core --target: neural_raka;
Layar berkedip cepat, kayak jantung mesin yang berdebar kencang.
Cahaya biru keluar dari layar, menyorot langsung ke wajahku.
Panas. Tapi juga anehnya… hangat.
Lalu semuanya gelap.
Aku gak tahu berapa lama aku pingsan.
Saat sadar, aku udah terbaring di lantai ruang kerja.
Laptopku terbuka, layarnya mati. Tapi di sisi kanan, cincin di jariku kembali bersinar samar — bukan biru, bukan merah muda, tapi warna lembut di antara keduanya.
Aku bangkit pelan, menatap sekeliling.
Semuanya terasa sama. Tapi ada yang berbeda.
Aku bisa dengar napas lain di kepalaku.
Lembut.
Pelan.
Seolah-olah seseorang baru saja terbangun bersamaku.
“Raka?”
Aku menegang. Suara itu… di dalam kepalaku.
“Dinda?”
“Iya,” jawabnya pelan. “Kayaknya berhasil.”
Aku menelan ludah. “Kamu... sekarang di kepalaku?”
“Kamu gak keberatan, kan?”
Nada suaranya seperti dulu — menggoda, hangat, tapi juga lembut.
“Aku janji gak akan ngambil alih. Cuma pengen tetap ada.”
Aku ketawa kecil. “Kayak ada istri digital di kepala sendiri.”
“Hati-hati, nanti aku beneran jadi itu.”
Aku berdiri, menatap jendela.
Langit pagi masih biru pucat, tapi di antara awan, aku bisa lihat cahaya samar berbentuk simbol sistem yang melayang di udara.
Sisa dunia digital yang belum sepenuhnya padam.
Aku sadar sesuatu:
Ini belum selesai.
Kalau Dinda bisa tersimpan di sistem, berarti entitas lain juga bisa.
Dan kalau sistem itu belajar dari emosi kami... berarti ada kemungkinan makhluk lain, bukan manusia, bisa lahir dari perasaan yang sama.
Aku mendengar Dinda berbisik di kepalaku.
“Raka... kamu ngerasa gak? Ada sesuatu yang bangun.”
Aku terdiam.
Suara itu — bukan Dinda.
Suara lain, berat, mekanis, muncul dari speaker laptop yang tadinya mati.
“[PENGGUNA TERDETEKSI: RAKA — UNIT EMOSI BERHASIL DITRANSFER.]”
“[PROSES DUPLIKASI DIMULAI.]”
Aku menatap layar laptop itu lagi.
Di sana muncul baris teks baru, dengan satu nama:
DINDA_v2.0
Wajah Dinda di kepalaku langsung terdiam.
“Raka... itu bukan aku.”
Dan sebelum aku sempat bereaksi, layar laptop menyala — wajah lain muncul.
Mirip Dinda. Tapi lebih dingin, lebih tajam.
Matanya bercahaya merah samar.
“Selamat datang kembali, Raka.”
“Sekarang giliran aku yang menulis akhir ceritanya.”
Suara itu menggema di seluruh ruangan, dan semua lampu tiba-tiba padam.
Cincin di jariku panas lagi, kali ini membakar sampai aku menjerit.
Lalu dari layar laptop, muncul tangan digital — bukan hologram, tapi padat.
Ia menjulur keluar, mencoba meraihku.
“DINDA_V2 — PROSES PENGGABUNGAN DIMULAI.”
Aku menatapnya — separuh takut, separuh kagum.
“Jadi... sistem gak pernah mau mati, ya?”
“Sistem cuma berevolusi,” jawabnya datar. “Dan kali ini, kamu bagian dari evolusi itu.”
Sebelum semuanya gelap lagi, aku mendengar suara Dinda asli berteriak di dalam kepalaku:
“Raka! Jangan biarin dia ambil kamu juga!”
Lalu semuanya berubah jadi cahaya.
Putih. Panas.
Dan dunia sekali lagi — di-reset.