Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Nungguin balasan dari Erencya via Lusi itu rasanya seratus kali lebih nyiksa daripada nungguin loading screen game yang lemotnya minta ampun. Serius. Akbar tahu Erencya udah terima suratnya, Lusi udah kasih konfirmasi singkat lewat DM Instagram kemarin: "Misi sukses. Stand by." Tapi 'stand by' itu ternyata siksaan level dewa.
Dua hari itu, Akbar beneran ngerasain hidup kayak di film-film. Bukan film romantis yang manis-manis, tapi lebih ke film agen rahasia kere yang lagi nyamar. Duitnya menipis, jadi dia pindah dari guesthouse yang lumayan itu ke sebuah kamar kos bulanan di gang yang lebih kecil. Kamarnya cuma sepetak, cukup buat satu kasur tipis, satu kipas angin yang bunyinya berisik, dan tas ranselnya. Nggak ada AC, nggak ada TV. Tapi anehnya, Akbar malah ngerasa lebih bebas di sini.
Rutinitas hariannya jadi super simpel. Pagi-pagi, setelah salat dan sarapan sebungkus nasi kuning seharga delapan ribu perak, kerjaannya adalah menunggu. Untuk membunuh waktu dan kegelisahan, dia jalan kaki keliling Jambi. Bukan buat wisata, tapi buat riset. Dia sengaja melewati sekolah Erencya dari kejauhan, cuma buat ngerasain atmosfernya. Dia duduk di taman kota, mengamati orang-orang, mencoba memahami kota yang udah membentuk gadis yang dicintainya.
Siang hari, makan siangnya nasi bungkus lagi, lauknya tempe orek sama telur dadar. Sambil makan, dia buka buku catatannya, mulai nulis draf surat berikutnya buat Erencya. Pikirannya penuh dengan hal-hal yang pengen dia ceritain. Malamnya, setelah seharian 'bertugas', dia bakal balik ke kamar kosnya yang pengap, makan mi instan, dan lagi-lagi, menunggu.
Ponselnya jadi satu-satunya jendela ke dunia. Dia sengaja nggak buka media sosial lain, takut nggak sengaja lihat postingan salah satu kakak Erencya dan bikin hatinya makin ambyar. Fokusnya cuma satu: nunggu DM dari Lusi.
Dan akhirnya, di hari kedua setelah surat pertama dikirim, notifikasi yang ditunggu-tunggu itu muncul.
Lusi: Woy, Pangeran. Gue ada sesuatu buat lo. Ketemu di tempat biasa, jam 4 sore. Jangan telat.
Akbar ngerasa seluruh beban di dadanya keangkat. "Tempat biasa" mereka adalah kedai kopi kemarin, tapi dia bakal pesan es teh aja biar hemat. Tepat jam empat sore, Akbar sudah duduk di sana. Beberapa menit kemudian, Lusi datang dengan langkah cepat, mukanya kelihatan capek tapi matanya berbinar.
"Gila, Bar. Lo nggak akan percaya drama di sekolah sama di rumahnya Erencya," kata Lusi sambil duduk dan langsung nyeruput es teh Akbar tanpa izin.
"Gimana dia? Dia baik-baik aja?" tanya Akbar, nggak sabar.
"Secara fisik, aman. Secara mental, kemarin kayak zombi. Tapi hari ini..." Lusi tersenyum penuh arti. "Hari ini dia beda. Dia senyum-senyum tipis, ada semangat lagi di matanya. Sumpah, surat lo itu kayak health potion di game, langsung nambah nyawa."
Mendengar itu, Akbar tersenyum lega. "Syukurlah."
"Tapi jangan seneng dulu," lanjut Lusi. "Pengawasannya makin ketat. Si Koko Bryan yang sok keren itu kayaknya nyuruh beberapa temennya buat 'jagain' Erencya di sekolah. Jadi kita harus lebih pinter lagi. Gue tadi ngasih surat ini ke lo aja harus nunggu momen pas di toilet cewek. Berasa jadi agen CIA gue lama-lama."
Lusi lalu merogoh tas sekolahnya dan mengeluarkan sepucuk surat yang terlipat rapi, dibungkus plastik biar nggak lecek. Kertasnya berwarna peach. Hati Akbar langsung menghangat.
"Ini," kata Lusi sambil menyodorkan surat itu. "Titipan dari kapten kapalmu."
Tangan Akbar sedikit gemetar saat menerimanya. "Makasih banyak, Lus. Sumpah, aku nggak tahu harus balas budi gimana ke kamu."
"Santuy. Anggap aja gue lagi investasi buat kebahagiaan sahabat gue," kata Lusi. "Udah sana, baca. Gue tahu lo udah nggak sabar."
Tapi Akbar menggeleng. "Nggak di sini. Aku mau baca di 'kos'," katanya, membuat Lusi tertawa.
Setelah berbincang sebentar, menyusun strategi untuk komunikasi selanjutnya, Akbar pamit. Dia berjalan cepat kembali ke kamar kosnya, surat dari Erencya terasa hangat di sakunya.
Sesampainya di kamar, dia mengunci pintu, menyalakan kipas angin, dan duduk di lantai bersandar ke dinding. Dengan hati-hati, dia membuka lipatan surat itu. Tulisan tangan Erencya yang indah dan sedikit bulat menyambutnya.
Kak Akbar-ku yang paling nekat dan keras kepala,
Dia tersenyum membaca kalimat pembuka itu.
Kakak tahu nggak? Aku baca surat ini sambil nangis jelek banget. Tapi ini nangis bahagia, kok. Sumpah, Kak, aku kira aku bakal gila beneran. Aku kira semuanya sudah berakhir. Makasih... makasih karena Kakak nggak pergi. Makasih karena Kakak tetap di sini.
Akbar bisa membayangkan Erencya menangis saat menulis ini, dan hatinya terasa sakit sekaligus bahagia.
Di rumah situasinya masih kayak perang dingin. Aku kayak tahanan politik, hehe. Tapi setelah baca surat Kakak, aku ngerasa lebih kuat. Aku nggak takut lagi. Oke, bohong, aku masih takut banget. Tapi sekarang aku juga merasa berani.
Aku nggak tahu ini akan berakhir gimana. Aku nggak tahu apa kita bisa melewati ini. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku juga nggak akan menyerah. Kakak sudah berjuang sejauh ini untukku, sekarang giliranku untuk berjuang demi kita.
Ciuman kita di candi itu... aku masih bisa merasakannya. Itu adalah hari terbaik dalam hidupku. Kita harus bisa menciptakan hari-hari seperti itu lagi, ya, Kak? Kita harus.
Akbar tanpa sadar menyentuh bibirnya. Dia juga masih bisa merasakannya.
Aku juga sayang banget sama Kakak. Selalu.
Tunggu surat balasan dariku selanjutnya,
Erencya-mu.
Akbar membaca surat itu tiga kali. Setiap kata meresap ke dalam hatinya, menjadi bahan bakar baru untuk tekadnya. Dia tidak sendirian dalam perjuangan ini. Erencya ada di pihaknya, siap bertarung bersamanya. Perasaan ini begitu kuat, begitu membara.
Rasa lelah karena hidup prihatin selama beberapa hari terakhir seakan menguap. Ia langsung meraih buku catatannya yang sudah ia siapkan. Ia harus segera membalasnya.
Erencya-ku yang ternyata seorang pejuang,
Ia memulai suratnya, senyum tak lepas dari wajahnya.
Aku yang makasih sama kamu. Suratmu ini... lebih berharga dari apa pun. Jangan pernah minta maaf karena nangis. Kalau perlu, nangis aja. Tapi setelah itu, kita bangkit lagi, ya?
Aku nggak peduli seketat apa pun mereka menjagamu. Kita akan selalu menemukan cara. Aku punya ide gila. Aku tahu aku nggak bisa menemuimu, tapi aku ingin melihatmu, walaupun cuma dari jauh. Besok sore, sekitar jam empat, coba deh kamu lihat ke luar jendela kamarmu. Aku nggak tahu jendela kamarmu menghadap ke mana, tapi aku akan jalan kaki pelan-pelan di jalan utama depan kompleks perumahanmu. Cuma lewat, nggak akan berhenti. Aku cuma pengen berada beberapa meter dari kamu. Biar aku bisa bilang dalam hati, 'dia ada di sana'. Anggap aja ini misi rahasia kita yang pertama.
Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan lupa makan. Jangan biarkan mereka melihatmu sedih. Tunjukkan pada mereka kalau kamu kuat.
Aku di sini. Selalu menunggumu.
Kak Akbar-mu yang makin sayang.
Dia melipat surat itu dengan hati-hati. Kamar kosnya yang sempit dan pengap kini terasa berbeda. Dinding-dinding kusam itu seakan menjadi saksi bisu dari perjuangan mereka. Di antara bungkus mi instan dan tumpukan kertas surat, sebuah pemberontakan kecil sedang direncanakan. Akbar menatap senja yang mulai turun dari jendela kecil kamarnya. Besok, ia akan menjalankan misi rahasia pertamanya. Dan besok, ia berharap bisa melihat sekilas putri yang terpenjara di dalamnya, walau hanya bayangannya di balik jendela.